Suara Kasih: Mempertahankan Hati Yang Murni

Jurnalis : Da Ai News, Fotografer : Da Ai News

Judul Asli:

 

  Mempertahankan Hati Yang Murni

 

Bencana melenyapkan kesenjangan sosial
Setiap orang hendaknya sadar dan memiliki hati yang murni
Janganlah terbelenggu oleh ketamakan
Menjadi kaya secara spiritual dengan turut membantu orang lain

Tanggal 3 Agustus lalu, tim bantuan Tzu Chi untuk Jepang datang ke Griya Jing Si untuk melaporkan kegiatan pembagian bantuan. Saya sungguh merasa sedih sekaligus tersentuh. Contohnya seorang kakek yang datang untuk mengambil bantuan dana tunai. Bantuan dana tunai yang harus ia terima adalah sebesar 70.000 yen, namun saat datang mengambilnya ia berkata pada relawan Tzu Chi, "Ini ada kesalahan. Yang harus saya terima bukan 70.000 yen, melainkan 50.000 yen." Namun, yang tercatat adalah sebesar 70.000 yen. Hampir saja terjadi keributan di antara mereka. Sang kakek sangat bersikeras bahwa bantuan yang harus ia terima adalah 50.000 yen. Ia menjelaskan bahwa keluarganya hanya beranggotakan dua orang, bukan tiga atau empat orang. Hanya dua orang.

Setelah mencari tahu lebih rinci, barulah diketahui ternyata ada kekeliruan di catatan kita. Lihatlah kondisi pascabencana ini. Meski bantuan dana tunai itu adalah bantuan pertama yang ia terima, namun ia tetap berhati murni dan tidak tamak. Saat mendengar kisah ini, saya sungguh merasa tersentuh. Sungguh, orang yang berhati murni akan disukai oleh semua orang. Meski merasa tidak tega atas penderitaan yang dialaminya, namun kita sungguh menghormati dan mengasihinya. Kita mengubah rasa empati menjadi rasa hormat dan cinta kasih. Hal ini sungguh tidak mudah.

Kita juga dapat melihat siaran berita CTI tentang salah seorang korban bencana, yakni Tuan Ishimori. Ia berkata bahwa ia dan istrinya selamat. Saat tsunami menerjang, mereka tidak sempat membawa semua harta milik mereka. Demi menyelamatkan diri, mereka terus berlari ke pegunungan dan mengungsi di sebuah hotel yang tidak beroperasi lagi. Beruntung ada hotel tersebut sehingga sekitar puluhan warga dapat mengungsi ke sana. Hotel tersebut tak ada aliran listrik dan air. Mereka mengalami kelaparan di sana selama beberapa hari. Ia berkata bahwa suatu hari saat melihat sebuah lemari es terapung di laut, mereka pun bekerja sama untuk membawanya ke darat. Makanan di lemari es tersebut menjadi bahan pangan mereka selama 3 hari. Setelah itu, lebih dari seminggu kemudian, barulah mereka ditolong dan dibawa ke tempat penampungan.

 

Sebulan kemudian, barulah ia menceritakan pengalamanannya kepada media massa. Kita dapat membayangkan kondisi mereka. Sepasang suami istri ini adalah keluarga berada. Biasanya mereka berkeliling dunia. Sang istri sangat gemar membeli perhiasan. Namun kini mereka tidak memiliki apa pun. "Dahulu, saya gemar membeli batu berharga dan kalung. Saya membeli banyak barang. Kini saya kehilangan semuanya. Saya menyadari bahwa sesungguhnya saya tak membutuhkan itu semua," ungkapnya.

Kesenjangan sosial antara orang berada dan orang kurang mampu sangatlah besar. Orang yang berada selalu meremehkan orang kurang mampu. Pascabencana, semua status sosial menjadi sama. Lihat, di manakah perbedaan antara orang kaya dan orang miskin? Apakah makna kemakmuran yang sesungguhnya? Banyak orang yang masih belum sadar. Bumi terus mengirim sinyal darurat, namun manusia masih belum sadar dan mengambil hikmah dari bencana yang terjadi. Mereka masih hidup dalam ketersesatan.

Saudara sekalian, melihat begitu banyak penderitaan di dunia, kita sungguh harus membangkitkan cinta kasih universal. Lihatlah Kenya. Pagi tadi, saya melihat laporan berita tentang Kenya dan merasa sangat tersentuh. Wilayah Kenya berbatasan dengan Somalia. Selain bencana alam dan bencana akibat ulah manusia, Somalia juga menghadapi bencana kelaparan.

Somalia menghadapi 3 bencana sekaligus. Saya sungguh tidak tega melihatnya. Namun, kondisi setempat mengakibatkan organisasi kemanusiaan sangat sulit untuk menyalurkan bantuan ke tangan orang yang sungguh-sungguh membutuhkan. Namun, sekelompok muda-mudi Kenya yang meski hidup dalam kondisi minim, merasa tak tega melihat warga Somalia yang berisiko meninggal karena kelaparan. Karena itu, sekelompok muda-mudi tersebut mulai menggalang dana di jalan-jalan dan mengajak setiap orang untuk membangkitkan cinta kasih dengan menyisihkan sedikit dari yang mereka miliki.

Mereka berharap dapat mengantar cinta kasih dan secercah harapan kepada warga Somalia. Belakangan ini, saya sering berkata bahwa kita cukup makan 80 persen kenyang saja. Sisa 20 persennya dapat digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan. Bukankah ini yang dilakukan oleh warga Kenya? Meski hidup dalam kondisi sulit, namun mereka tetap berusaha untuk berkontribusi. Sungguh membuat orang tersentuh melihatnya.

Lihatlah kakek di Jepang yang penuh rasa syukur meski telah dilanda bencana. Ia sungguh mengagumkan. Orang seperti itu sungguh menyayangi dirinya sendiri. Mereka tidak memiliki ketamakan dan mampu membangkitkan cinta kasih. Sungguh, setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi orang lain. Karena itu, kita sungguh harus berpengertian. Saat berinteraksi dengan orang lain, kita harus membangkitkan pengetahuan nurani. Dengan demikian, barulah kita dapat merasakan penderitaan orang lain. Artinya, kita dapat memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan dengan orang lain. Inilah yang harus kita miliki.

Pengetahuan nurani adalah kebijaksanaan. Orang yang bijaksana dapat merasakan penderitaan orang lain. Perasaan tidak tega atas penderitaan orang lain dapat membangkitkan cinta kasih kita. Jadi, janganlah kita bersikap konsumtif. Apakah yang kita dapatkan setelah berekreasi dengan biaya yang mahal? Tidak ada. Kita hanya merasakan kesenangan selama beberapa hari. Yang terbaik adalah hidup rajin dan hemat agar dapat menampilkan sifat bajik kita. Inilah yang terpenting. Dengan hidup hemat, kita dapat membantu orang lain. Jadi, sebagai praktisi Buddhis kita harus memerhatikan orang-orang di seluruh dunia.

Dunia ini sudah penuh dengan bencana. Banyak orang yang berisiko meninggal akibat kelaparan. Kita sungguh harus membangkitkan welas asih. Intinya, Bodhisatwa sekalian, kita sungguh harus merenungkan masa lalu. Melihat betapa banyak orang yang menderita akibat bencana, kita harus lebih meningkatkan kewaspadaan di masa depan.

Di Laut Karibia telah terbentuk sebuah topan yang mengarah ke Haiti dan Dominika. Di Taiwan, peringatan atas topan Muifa telah dikeluarkan pada malam hari kemarin. Kita sungguh harus meningkatkan kewaspadaan. Kita harus berdoa dengan tulus untuk masa depan, bertobat atas kesalahan masa lalu, dan bervegetarian pada masa sekarang. Saudara sekalian, ini semua berawal dari sebersit niat. Waktu terus berlalu, kita harus lebih bersungguh-sungguh dan berhati tulus. Diterjemahkan oleh: Karlena Amelia.


Artikel Terkait

Tanggap Bencana Gempa Tasikmalaya

Tanggap Bencana Gempa Tasikmalaya

03 September 2009 Setelah menempuh jarak kurang lebih 130 km (Bandung-Tasikmalaya), para relawan Tzu Chi Kantor Perwakilan Bandung segera berkoordinasi dengan Kodim 0612 Tasikmalaya untuk mengetahui dan mengecek dahulu kondisi di daerah bencana.
Peduli Merapi : Ikhlas Menatap Masa Depan

Peduli Merapi : Ikhlas Menatap Masa Depan

18 November 2010
Masa depan yang belum jelas terlihat di depan mata tak merampas kemurahan hati para warga tersebut. Mertojiwo, nenek berusia 70 tahun itu tak henti-hentinya menawarkan salak dan teh manis hangat kepada para relawan Tzu Chi yang mendatangi sudut barak yang ditempatinya.
Ladang Cinta Kasih yang Subur

Ladang Cinta Kasih yang Subur

13 Maret 2015 Selain mengajak untuk bersumbangsih membantu sesama,  Tzu Chi juga memberikan perhatian kepada anak-anak dengan menanamkan jiwa bersumbangsih pada diri anak-anak. Maka dari itu, Tzu Chi Tanjung Balai Karimun melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk mengajak bersama-sama bersumbangsih setiap hari berbuat kebajikan melalui celengan bambu.
Saat membantu orang lain, yang paling banyak memperoleh keuntungan abadi adalah diri kita sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -