Suara Kasih: Mempraktikkan Enam Paramita
Jurnalis : Da Ai News, Fotografer : Da Ai News Judul Asli: Praktik Enam Paramita Menumbuhkan kebijaksanaan dalam kehidupan | |||
”Hal apa yang paling membuatmu bahagia atau paling berkesan bagimu? Bertambahnya insan Tzu Chi setiap bulan adalah hal yang paling membahagiakan bagi saya. Bulan lalu saya dan ibu saya menggalang 200.000 dolar NT (Rp 60 juta) untuk dana rumah sakit. Saya merasa sangat senang karenanya,” kata Ying Ju, seorang relawan Tzu Chi. Lihatlah relawan Ying Ju. Mungkin banyak insan Tzu Chi telah mengenalnya. Tak ada insan Tzu Chi di Hualien yang tak mengenalnya. Terutama para Bodhisatwa di rumah sakit, pasti lebih kenal dekat dengannya. Tayangan tadi mengingatkan saya pada kejadian 40 tahun lalu. Dari tayangan tadi saya melihat Jing De, ibu Ying Ju. Sejak awal berdirinya Tzu Chi, Jing De telah bergabung menjadi relawan. Ia sangat mendedikasikan dirinya. Teladannya telah membimbing anak-anaknya turut bergabung dengan Tzu Chi. Sepanjang hidupnya ia terus mendedikasikan diri hingga saat ia meninggal dunia. Kini anak serta menantunya pun turut menjadi relawan Tzu Chi. Segala kontribusi mereka telah terdokumentasi. Sejak Rumah Sakit Tzu Chi dibuka, baik di Unit Gawat Darurat, dalam kunjungan bagi saudara se-Dharma, kita dapat melihat partisipasinya. Master Cheng Yen pernah berkata kepada saya bahwa ada 4 hal yang merupakan berkah bagi manusia, yakni tidur nyenyak, makan dengan bahagia, tersenyum gembira, dan bekerja dengan sehat. Empat berkah ini senantiasa saya ingat dalam hati. Manfaat terbesar yang saya rasakan adalah bahwa ajaran Master Cheng Yen telah membuat saya sehat sehingga saya dapat melakukan kegiatan daur ulang di rumah sakit, melakukan kegiatan amal, dan segala kegiatan relawan. Pada hari-hari yang akan datang saya akan terus melayani masyarakat dan tak akan berhenti melakukannya. | |||
| |||
Sejak saat itu ia mendapati kesehatannya kian memburuk. Ia didiagnosis menderita kanker paru-paru stadium lanjut, namun ia tetap dengan berani mengerahkan segala kemampuannya untuk terus bersumbangsih menolong orang yang membutuhkan. Tetes demi tetes kontribusinya telah terekam oleh kamera dan ketika melihat tayangannya, ia bagaikan masih hidup bersama kita. Seperti istri dan ibunya, ia akan selamanya hidup di dalam hati para insan Tzu Chi. Ia mengisi kehidupannya dengan kebijaksanaan, dan terus maju dalam melatih diri. Selama hampir 40 tahun Ying Ju mendedikasikan dirinya untuk Tzu Chi. Setiap sel dalam dirinya senantiasa ia gunakan untuk menumbuhkan kebijaksanaan di dalam Tzu Chi. Dalam menjalani hidup yang penuh makna, ia dan istrinya menjadi teladan nyata untuk mewariskan semangat cinta kasih kepada generasi penerusnya. Pada pagi hari 2 Agustus lalu, anak-anaknya mengunjungi Aula Jing Si. Saya juga mengatakan kepada mereka untuk terus mewariskan semangat cinta kasih dan teladan orang tuanya. Benar, setiap orang harus terus mengembangkan kebijaksanaaannya. Saya berharap dengan ikrar luhurnya, Ying Ju dapat terlahir kembali ke dunia dan terus membimbing mereka yang membutuhkan. Para Bodhisatwa sekalian, kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Seiring berjalannya waktu, kebijaksanaan kita harus terus dikembangkan melalui setiap kontibusi yang kita berikan. Kisah Ying Ju adalah bukti yang terbaik. Sungguh, waktu cepat berlalu, karena itu kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya. Bulan Agustus telah tiba. Dengan penuh cinta kasih, para insan Tzu Chi senantiasa mendedikasikan dirinya setiap hari, setiap menit, maupun setiap detik. Kini kita telah memasuki bulan Agustus. Kemarin saya mengulas kembali bencana-bencana yang terjadi di bulan Agustus. Tanggal 7 Agustus 1959, yakni 51 tahun, banjir besar melanda Taiwan. Pada tanggal 8 Agustus 1994, Topan Doug melanda Taiwan. Pada tanggal 1 Agustus 1996, giliran Topan Herb melanda yang Taiwan. Selanjutnya, pada 8 Agustus 2009 lalu Topan Morakot melanda Taiwan. Hampir 1 tahun berlalu sejak bencana itu. Bencana sekitar 50 tahun yang lalu mungkin sangat jauh dengan kita, namun bencana pada tahun 1994 dan 1996 sangat dekat dengan kita. Kita dapat mengingatnya dengan sangat jelas. Terlebih lagi bencana tahun 2009 yang baru terjadi setahun lalu. Dapatkah kita melupakannya? Kita dapat menjadi saksi atasnya. Kita tak hanya mengetahui dan melihatnya saja. | |||
| |||
Namun, demi menolong para korban bencana kita harus sabar. Kita mempraktikkan Enam Paramita. Yang pertama adalah kemurahan hati. Kita bersumbangsih dengan sukarela. Selain itu, kita harus menjunjung moralitas, yakni menaati segala peraturan, menjauhkan hati dari ego, dan bersumbangsih dengan hati yang murni. Kita juga harus memiliki kesabaran. Mengapa kita harus menghadapi banyak kesulitan? Jika kita tak berhati lapang dan memiliki niat yang murni, apakah kita dapat terus melanjutkannya? Untuk itu, kita harus bersabar. Selain bersabar, kita juga harus bersemangat. Jika kita berhenti melakukannya, para korban bencana akan menderita. Karena itu, kita harus bertahan. Untuk itu, dibutuhkan keteguhan pikiran. Segala hal di dunia ini, baik salah maupun benar, harus kita hadapi dengan sabar. Kita harus tetap fokus membantu para korban agar mereka dapat kembali hidup tenang. Inilah yang harus kita lakukan dengan penuh semangat di dunia ini. Untuk itu, kita harus menguatkan hati kita. Keteguhan hati inilah yang disebut samadhi. Enam hal yang dibabarkan tadi adalah Enam Paramita. Inilah ladang pelatihan kita. Kita semua harus bisa membedakan yang benar dan salah. Saya sering mengatakan bahwa sungguh menyedihkan bila manusia tak dapat suatu melihat masalah dengan jelas. Kita harus memahami kebenaran dengan jelas dan mengembangkan welas asih terhadap semua makhluk. Hanya ketika memahami kebenaran dengan jelas, barulah kita dapat melanjutkan misi ini. Diterjemahkan oleh: Erni & Hendry Chayadi / Foto: Da Ai TV Taiwan | |||