Suara Kasih: Senantiasa Menjadi Pemberani

Jurnalis : Da Ai News, Fotografer : Da Ai News
 

Judul Asli:

 

Senantiasa menjadi pemberani bagi kehidupan

 

Memanfaatkan kehidupan untuk memberi manfaat bagi orang lain
Mengembangkan kebijaksanaan setelah menyadari kebenaran
Tetap mendoakan para silent mentor meski merasa kehilangan
Mewariskan misi Tzu Chi dari generasi ke generasi

“Suatu hari, tiba-tiba saya merasa tangan saya sangat sakit. Setelah diperiksa, baru diketahui ada kanker sepanjang 13cm di hati saya,” ucap Wei-xiang. Kanker di hati Paman Wei-xiang telah mempengaruhi sisi kanan hatinya. Karena itu, tim medis memutuskan untuk memotong bagian yang telah terinfeksi, yakni sekitar 65 persen dari hatinya. ”Master pernah berkata kepada saya, “Jangan menganggap diri Anda adalah seorang pasien. Selagi bisa bekerja, maka bekerjalah,” tutur Wei-xiang dengan semangat.

Melihat orang menjadi tua, sakit, dan mati, saya sungguh merasa tak sampai hati. Lihatlah, mereka menggunakan kehidupan untuk memberi manfaat bagi orang lain dan mengembangkan jiwa kebijaksanaan setelah menyadari kebenaran. Meski telah meninggal dunia, namun makna kehidupan mereka sangat luas dan dalam. Bukankah kehidupan seperti itu sangat bermakna? Meski merasa kehilangan, namun saya turut berbahagia untuk mereka. Insan Tzu Chi hidup demi memberi manfaat kepada orang lain dan bersumbangsih demi menumbuhkan jiwa kebijaksanaan. Jadi, janganlah kita merasa kehilangan, melainkan harus mendoakan mereka.

 

Lihatlah Relawan Wu Wei-xiang yang bertekad untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Demikian pula Relawan Lin Ying-ju. Mereka berdua selalu saling mendukung dan menyemangati. Selama beberapa tahun ini, mereka menjadi relawan di ruang gawat darurat. Setiap hari sebelum matahari terbit, mereka sudah pergi ke ruang gawat darurat untuk menolong pasien, menghibur keluarga pasien, atau membantu melakukan pekerjaan lainnya. Saat anggota TIMA mengadakan baksos kesehatan di wilayah pegunungan atau daerah terpencil, mereka juga selalu ikut serta. Mereka selalu saling mendukung.  

 

Pascaoperasi, Relawan Wu terus bersumbangsih tanpa beristirahat. Dia tetap mendedikasikan dirinya untuk mengikuti berbagai kegiatan relawan serta berpatisipasi dalam baksos kesehatan. Akan tetapi, kesehatannya semakin memburuk. Pada pertengahan bulan November lalu, dia berkunjung ke Griya Jing Si untuk bertemu saya. Pada saat itu, dia sudah mengetahui bahwa waktunya tak lama lagi. Saya sendiri juga mengetahuinya. Kami memiliki ikatan batin. Saya berkata kepadanya, “Anda telah lama bergabung dengan Tzu Chi, pasti memahami kelahiran dan kematian. Makna kehidupan Anda begitu luas dan dalam. Jalinan jodoh akan membawa Anda kembali pada kami.” Setelah mendengar perkataan saya, ia pun menjawab sambil tersenyum, “Master, jangan khawatir saya tahu. Saya datang agar Master bisa melihat saya dan saya bisa melihat Master.” Saat itu, dia sudah sangat lemah sehingga harus dipapah oleh istri dan anak-anaknya. Saat tengah melakukan perjalanan, saya menerima kabar bahwa dia telah meninggal dunia. Saya turut mendoakannya.

Sewaktu masih hidup, Wu Wei-xiang selalu bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Ying-ju. ”Dahulu Relawan Ying-ju pernah berkata kepada saya bahwa setelah bergabung dengan Tzu Chi, kita jangan berpikir terlalu banyak. Cukup lakukan saja. Kita cukup mengikuti langkah Master Cheng Yen. Dia juga mengajarkan banyak cara kepada saya, yaitu bagaimana cara melakukan kunjungan kasih dan memerhatikan lansia yang memiliki keterbatasan dalam bergerak. Dia mengajarkan banyak cara kepada kami. Mereka berdua selalu saling mendukung dan menyemangati untuk menapaki jalan Bodhisatwa dari kehidupan ke kehidupan.” Mereka sungguh Bodhisatwa yang berteman baik.

Ada pula Relawan Ying-ju dan keluarganya. Jalinan jodoh mereka dengan Tzu Chi bermula dari Ibu Ying-ju, yaitu Mei-yu. Dia adalah relawan senior Tzu Chi. Kesungguhan hatinya telah menginspirasi menantu dan putranya untuk bergabung dengan Tzu Chi. Jadi, ia mewariskan misi Tzu Chi kepada anak dan menantunya. Keluarga ini telah lama bergabung dengan Tzu Chi. Saat saya ingin mendirikan rumah sakit, mereka bekerja sama dengan harmonis membantu saya menyelesaikan proyek pembangunan. Saat saya hendak berpergian, tak peduli baik melakukan baksos kesehatan atau mencari lahan, Ying-ju dan istrinya selalu mengantar saya.  

Usai rumah sakit dibangun, sepasang suami istri ini bertekad untuk menjadi relawan di rumah sakit. Mei-yue adalah istri Ying-ju. Setiap hari kita dapat melihatnya di ruang relawan rumah sakit. Mereka adalah relawan senior yang terus bersumbangsih bagi Tzu Chi hingga menghembuskan napas terakhir. Meski tak dapat menentukan lamanya kehidupan, namun setiap orang dapat menentukan kedalaman makna hidup mereka. Makna kehidupan mereka sangat dalam dan kebijaksanaan mereka telah bertumbuh.

Melihat hal itu, saya merasa sangat tenang. Jadi, daripada merasa kehilangan, saya lebih ingin mendoakan mereka. Saya mendoakan sekelompok murid saya yang telah bersungguh hati mengembangkan jiwa kebijaksanaan. Semoga mereka meninggal dengan damai Semoga mereka meninggal dengan damai dan cepat terlahir kembali. Semoga kelak dunia ini Semoga kelak dunia ini penuh dengan Bodhisattva dunia yang membimbing semua makhluk. Hal ini sungguh membuat orang tersentuh.

Beberapa hari yang lalu, di tengah hujan rintik-rintik, dan disertai lantunan nama Buddha para mahasiswa mengantar kepergian para Silent Mentor. Satu semester telah berakhir. Para Silent Mentor telah membantu para siswa mempelajari misteri dari tubuh manusia. Kita juga bisa melihat sekelompok siswa dan dokter dari Beijing mengikuti kelas simulasi bedah. Mereka sangat tersentuh melihat para Silent Mentor yang bersedia mendonorkan tubuhnya demi membantu orang lain. Saat masih hidup, mereka menggunakan kehidupan untuk memberi manfaat bagi orang lain. Setelah meninggal dunia, mereka mengembangkan jiwa kebijaksanaan dengan mendonorkan tubuh mereka demi kepentingan medis.

Dalam kelas simulasi kali ini terdapat 8 orang Silent Mentor. Di antaranya ada Relawan Lin Ying-ju. Dahulu dia pernah berkata, “Saya ingin membantu para siswa agar dapat lebih banyak belajar. Bila tidak, mereka hanya bisa belajar dari buku dan gambar-gambar. Meski kesehatan saya tidak baik, namun kelak saya akan mendonorkan tubuh saya kepada para siswa agar mereka dapat melakukan kelas simulasi bedah.” Mereka adalah orang yang berani dan menapaki Jalan Bodhisatwa dari kehidupan ke kehidupan. Saya sangat berterima kasih dan mendoakan mereka. Sumbangsih mereka yang penuh cinta kasih. Sumbangsih mereka sungguh memperkaya makna kehidupan mereka. Banyak sekali relawan yang seperti itu. Saya sungguh tersentuh melihatnya.Diterjemahkan oleh: Karlena Amelia.

 

 

 
 

Artikel Terkait

Baksos Donor Darah

Baksos Donor Darah

03 Juni 2013 Setelah para dermawan mendonorkan darah, mereka akan dilayani oleh sukarelawan yang akan membawakan makanan, minuman dan suplemen untuk memulihkan kondisi fisik para pendonor. Relawan Tzu Chi juga akan mendatangi mereka untuk menjelaskan misi yang dijalankan Tzu Chi.
Bersiap Melayani Sesama

Bersiap Melayani Sesama

05 Juni 2009 Pagi, 3 Juni 2009, Bandara Hang Nadin Batam baru saja usai diguyur hujan. Matahari di Pulau Batam yang biasanya terik, pagi itu seakan bersembunyi sesaat. Udara pun terasa sejuk saat 15 relawan Tzu Chi Jakarta dan 4 staf medis Tzu Chi mendaratkan kaki di pulau yang berbatasan langsung dengan negeri tetangga Singapura ini.
Sukacita di Usia Senja

Sukacita di Usia Senja

22 Februari 2017

Kebahagiaan nenek usia 80 tahun di Tegal Alur, Jakarta Barat ini bukan tanpa alasan. Pasalnya di usia senjanya ini, ia seperti mengalami titik balik kehidupan. Siti Waspiah yang akrab disapa Bu Dul hidup seorang diri sejak anaknya, Siti Rahayu meninggal pada tahun 2005 silam. Beruntung ada Ferdinand Timotius Hariyadi (57 tahun) dan istri yang membantu merawat Bu Dul sepeninggal Siti Rahayu.

Kita hendaknya bisa menyadari, menghargai, dan terus menanam berkah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -