Sumber Kebahagiaan itu Berasal dari Rumah

Jurnalis : Sutar Soemithra, Fotografer : Sutar Soemithra
 
foto

Djunarto, relawan Tzu Chi mewawancarai Solihin untuk mensurvei kelayakannya menerima bantun perbaikan rumah program 'Bebenah Kampoeng'.

Minggu pagi, 16 Maret 2008, dua mobil yang dikendarai relawan Tzu Chi menyusuri jalan-jalan di Pademangan Barat, Jakarta Utara yang sempit di tengahnya padatnya pemukiman. Ketika berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan, kedua mobil harus berjalan dengan sangat berhati-hati agar tidak sampai bersenggolan. Ini masih ditambah dengan banyak motor, pedagang keliling, ataupun pejalan kaki yang berlalu-lalang.

Akhirnya mobil relawan sampai di pos polisi Pademangan Barat dan akhirnya menumpang parkir. Sepuluh relawan segera berlalu menembus gang-gang kecil di RW 02 yang dijepit rumah-rumah bertingkat. Mereka hendak melakukan survei terhadap calon penerima bantuan program Bebenah Kampoeng di Pademangan Barat tahap kedua ditemani oleh Ustadz Agus Yatin. Hampir semua selokan penuh dan tinggal menunggu hujan sedikit saja untuk menjadi penyebab banjir. Setelah menembus sebuah gang sempit yang gelap, langkah kaki relawan terhenti oleh sebuah gang buntu namun pada ujungnya berdiri sebuah lubang yang ternyata merupakan pintu rumah!

Pemilik rumah tersebut adalah Solihin. Laki-laki 56 tahun tersebut segera menyambut relawan Tzu Chi dan mempersilahkan masuk. Relawan harus menunduk ketika memasuki rumahnya karena tinggi langit-langit rumahnya hanya 175 cm! Keadaan yang berantakan dan gelap segera terekam di pandangan walaupun sebuah lampu pijar telah menerangi ruangan. Rumah tersebut tidak memiliki tembok sendiri, memanfaatkan tembok rumah di sisi kanan-kirinya. Tidak ada kamar di ruangan tempat Solihin menerima relawan Tzu Chi karena kamar-kamar berada di lantai 2 yang dihubungkan oleh sebuah tangga kayu yang sangat memerlukan kewaspadaan ketika menaikinya. Sudut elevasi tangga sangat miring dan tanpa pegangan. Benar-benar membahayakan bagi anak-anak dan orangtua.

Di lantai atas terdapat? 4 kamar yang masing-masing terbuat dari kayu. Empat kamar tersebut dihuni oleh Solihin dan istrinya bersama 4 anaknya yang 3 diantaranya telah menikah, cucu, dan saudara dari menantu Solihin. Semuanya berjumlah 10 orang! "Pengen misah cuma kasihan orangtua belum tentu ada penghasilan," ujar Erwin, satu tertua Solihin yang telah memiliki seorang anak dan bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi di Roxy, Jakarta Pusat. Solihin memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Selama ini ia menerima jasa perbaikan mebel, tapi tidak menentu.

foto  foto

Ket : - Meskipun hidup dalam keterbatasan, namun Solihin berhasil menyekolahkan 4 anaknya hingga lulus
           bangku SLTA. (kiri)
         - Usman memperlihatkan surat kepemilikan rumah kepada relawan ketika sedang disurvei. (kanan)

Rezeki yang Diperoleh Bukan untuk Memperbaiki Rumah
Rumah tersebut Solihin tempati sejak tahun 1969 ketika itu ia masih ikut kedua orangtuanya. Pada awalnya rumah tersebut dihuni bersama-sama dengan saudara-saudaranya yang lain, namun sebagian dari mereka telah meninggal dunia sehingga kini hanya Solihin dan keluarganya yang menempati rumah tersebut. Solihin belum pernah melakukan perbaikan besar pada rumah tersebut sejak menempatinya. "Sudah perbaiki, tapi tambal sulam. Rezeki belum sampai ke situ," terang Solihin.

Rupanya Solihin lebih mendahulukan hal lain dalam menggunakan uang yang telah ia dan anak-anaknya kumpulkan, yaitu untuk biaya pendidikan anak. Meskipun dalam kondisi yang serba susah, namun keempat anaknya mampu menyelesaikan pendidikan bangku SLTA! "Kewajiban mendidik manusia dari buaian sampai liang kubur, walaupun penghasilan kecil," kata Solihin dengan tegas sambil mengutip salah satu bunyi Al Quran. Solihin sendiri merasakan bangku sekolah hanya sampai tingkat Sekolah Dasar sehingga tidak mau anak-anaknya bernasib sepertinya. Meskipun penghasilannya kecil, namun Solihin tidak pernah merasakan kesulitan yang berarti selama menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya. Menurutnya, beban hanya untuk menghidupi keluarga dibandingkan harus ditambah menyekolahkan anak-anaknya, rasanya sama saja. "Yang penting ada kemauan dan usaha disertai doa," ungkap Solihin.

Ia pun selalu menekankan kepada anak-anaknya untuk tidak pernah menyerah, "Yang penting usaha, jangan jadi pengangguran." Kini beban yang ia rasakan semakin kecil karena anak-anaknya yang telah bekerja ikut membantu meringankan beban keluarga. "Dulu banting tulang demi anak sampai lupa ke masjid," ujar Solihin. Di usianya yang kini sudah tidak muda lagi, ia ingin mengabdikan hidupnya pada masyarakat, dan itu ia buktikan ketika warga memilihnya menjadi wakil ketua RW 02 Pademangan Barat

Minggu pagi itu sekitar 50 relawan Tzu Chi yang dibagi melakukan survei terhadap 50 warga untuk diseleksi sebagai calon penerima bantuan pembangunan rumah "Bebenah Kampoeng" hasil kerja sama Tzu Chi dengan Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) dan Pemerintah Daerah Jakarta Utara. Pada tahap pertama yang dimulai tanggal 14 Februari 2008, sebanyak 25 keluarga telah menempati rumah baru mereka.

foto  foto

Ket : - Dengan dibantu relawan Tzu Chi, Jafar memindahkan perabotan rumah tangganya yang selama rumahnya
           direnovasi, ia titipkan pada tetangganya.(kiri)
         - "Ini adalah rumah terindah," ujar Jafar mengenai rumah barunya. Ia bersyukur dan berharap masa tuanya
           bisa dilewatkan dengan lebih bahagia. (kanan)

Rumah yang Paling Indah
Salah satunya adalah Jafar (60). Ia kini bisa kembali menempati rumahnya setelah 20 hari menumpang di rumah tetangga ketika rumahnya sedang diperbaiki dalam program "Bebenah Kampoeng" tahap pertama. Rumahnya dulu yang lebih tepat dibilang sebagai gubuk kayu kini telah berubah menjadi rumah bertembok warna putih yang kokoh dan berlantaikan keramik. Rumah baru Jafar berwarna putih dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan ruang tamu. Semua rumah dalam program "Bebenah Kampoeng" ini memang berwarna putih. "Usia (saya) sudah lanjut, tak mungkin bisa bangun rumah seindah ini," ucapnya kepada para relawan Tzu Chi.

Dibantu 7 relawan Tzu Chi, Jafar dan putranya, Kukuh (24) mulai menempati rumah barunya tanggal 6 Maret lalu. Beberapa tetangganya berkerumun menyaksikannya. Sebagai orang yang masih memegang teguh tradisi Jawa, Jafar mengucapkan kata 'Bismillah' ketika hendak memasuki rumah untuk pertama kalinya. "Ini yang bangun Buddha Tzu Chi, yang punya rumah Buddha Tzu Chi. Sekarang diserahkan pada saya, ya saya ucapkan Bismillah supaya saya tenang dan dimurahkan rezeki. Sama saja seperti masuk rumah baru," terang Jafar. Tradisi lain yang ia lakukan adalah memilih kompor sebagai barang yang pertama kali dimasukkan. "Api, air, makan ataupun laparnya ada di kompor. Biarpun rumah belum diatapin, tapi kalo sasaran harinya pas untuk kejayaan penghuni rumah, biarpun belum rapet, syaratnya hari itu harus kompor ataupun air (dan) kendi ditanam di situ," jelasnya.

Tidak terlalu jauh dari rumah Jafar, Supena (51) juga telah menempati rumah barunya dan isi rumahnya pun telah tertata rapi. Rumahnya terdiri dari 2 lantai dengan 3 kamar tidur, kamar mandi, dan ruang tamu. Di halaman rumah yang sempit, sebuah pohon jambu berdiri memberikan sedikit kerindangan.

foto  foto

Ket : - Supena terus menerus menebar tawa bahagia ketika relawan mengunjungi rumah barunya. Ia merasa
           sangat bangga karena kehidupannya berubah dari tidak layak kini menjadi layak. (kiri)
         - Halaman depan rumah Supena terasa rindang oleh sebuah pohon jambu dan beberapa oleh sebuah pohon
           jambu dan beberapa macam tanaman bunga. (kanan)

Ketika relawan Tzu Chi mengunjungi rumahnya, ia menyambut dengan terus menebar senyum dan sering tertawa bahagia. Wajahnya berbinar-binar walaupun sebenarnya kondisi badannya sedang tidak sehat. Sejak rumah mulai dibangun tanggal 14 Februari 2008, penyakit sesak nafas Supena kambuh sehingga ia tidak bisa bekerja. Ia telah berobat ketika Tzu Chi bekerja sama dengan KOSTRAD mengadakan bakti sosial kesehatan saat peletakan batu pertama, tapi perkembangannya kesehatannya tidak terlalu menggembirakan. Alhasil, selama hampir sebulan ini ia sering berhutang kepada tetangganya. Supena bekerja sebagai petugas kebersihan jalan raya di sekitar Sekolah Strada, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

"Kami tinggal di sini tahun 1982, kami tidur di alas kardus yang sangat tidak layak. Sedikit demi sedikit dibangun bahkan sekarang ini dan dibantu orang (Tzu Chi -red). Saya menangis karena terharu," jelas Supena sambil menahan tangis haru. "Kami merasa bangga. Bagaimana kita nggak senang, dari rumah yang kumuh jadi seperti ini? Ketawa saya ketawa gembira. Dari kehidupan yang kurang layak menjadi layak, itu yang kami rasakan," tandas Supena.

 

Artikel Terkait

Suara Kasih: Sifat Hakiki Manusia

Suara Kasih: Sifat Hakiki Manusia

25 April 2012 Sifat hakiki manusia adalah bajik dan murni. Akan tetapi, akibat pengaruh lingkungan, manusia terus memupuk berbagai kebiasaan buruk sehingga kita semakin menjauh perlahan-lahan dari sifat hakiki ini.
Belajar Budi Pekerti Melalui Seni

Belajar Budi Pekerti Melalui Seni

07 Maret 2017
Minggu, 5 Maret 2017, sebanyak 36 relawan Tzu Chi komunitas He Qi Utara 1 berkumpul di aula Rusun Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke untuk berpartisipasi dalam kelas budi pekerti. 
Suara Kasih : Menebar Benih Kebajikan

Suara Kasih : Menebar Benih Kebajikan

28 Juli 2010
Demikianlah cara kita bersumbangsih. Selain membantu orang lain, kita juga membimbing dan menyucikan batin manusia agar dapat menjadi orang yang mampu membantu orang lain. Kita harus menginspirasi banyak orang tanpa membedakan keyakinan, ras, maupun status sosial.
Cinta kasih tidak akan berkurang karena dibagikan, malah sebaliknya akan semakin tumbuh berkembang karena diteruskan kepada orang lain.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -