Tak Ada Kata Menyerah dalam Kamus Hidup Nurmalita

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Khusnul Khotimah, Videografer: Chandra S.

“Nurmalita, untuk bantuan biaya hidup karena ada Covid-19, sudah kami kirim langsung ke Nurmalita ya. Semoga memberikan manfaat buat Nurmalita. Tetap semangat ya Nurmalita. Gan En..”

“Selamat siang Nurmalita.. walaupun kita sudah tak bertemu hingga tiga bulan, tapi jalinannya tidak putus. Kami harapkan Nurmalita tetap semangat dalam menghadapi apapun.”


Nurmalita dan ibunya saat menonton kiriman video dari relawan Tzu Chi di He Qi Timur.

Kiriman video berdurasi 1 menit 35 detik itu ditonton oleh Nurmalita (30) bersama ibunya Rosmalia (60) di rumah kontrakan mereka yang sempit di Duren Sawit Jakarta Timur. Video tersebut dikirim oleh Johan Kohar, Wenny, dan Anastasia, relawan Tzu Chi dari Komunitas He Qi Timur untuk Nurmalita yang sudah empat tahun ini dibantu oleh Tzu Chi berupa bantuan biaya hidup.

“Iya saya akan terus semangat,” kata Nurmalita pelan.

“Iya sudah tiga bulan ya, kangen juga sama relawan,” sahut ibu Nurmalita, Rosmalia, yang tak menyadari air matanya sudah menggenang. 


Sudah lima tahun ini Nurmalita yang lulus dari sekolah menengah atas ini mengalami meningioma, yakni tumor di selaput pelindung otak.

Nurmalita mengalami meningioma, yakni tumor di selaput pelindung otak. Nurmalita yang biasa dipanggil Ita ini telah menjalani tujuh kali operasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dengan bantuan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan). Operasi di kepala lima kali, lalu operasi telinga, dan operasi hidung.

Rosmalia bercerita jika anak bungsunya ini terlahir normal. Namun saat berusia dua tahun, kepala Ita agak miring.

“Saya kan tidak mengerti ya, kata orang digini-giniinlah (kepala dielus), tapi ternyata tidak bisa (tetap miring). Begitu Ita berusia 4 tahun saya bawa ke RSCM, waktu itu belum ada BPJS, ya sudah saya pasrah saja,” kenang Rosmalia.

Ita pun tumbuh dengan ukuran kepala yang sedikit lebih besar. Namun Ita tak merasakan sakit kepala dan menjalani hari-harinya seperti biasa. Namun tak jarang Ita dirisak oleh teman-temannya karena ukuran kepalanya ini.

Operasi yang Pertama

Suatu hari, tepatnya lima tahun yang lalu, saat Ita berusia 25 tahun, sang ayah meninggal dunia di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Timur akibat stroke. Ita sangat terpukul dan menangis histeris. Beberapa saat kemudian pandangan Ita buram dan merasakan pusing yang luar biasa.  Diperiksalah Ita oleh dokter di sana dan di situlah diketahui ada sesuatu yang salah di telinga Ita.

“Waktu mau dioperasi telinga ternyata ada massa di otak, ada tumornya. Akhirnya oleh RS Persahabatan, tumor dulu yang ditangani, bukan telinga,” jelas Rosmalia.

Seminggu setelah operasi itu, wajah Ita bengkak sebelah kanan. Karena RS Persahabatan tidak sanggup untuk operasi telinga Ita, mereka pun memberikan rujukan Ita untuk menjalani operasi ke RSCM Jakarta.  

“Meningioma ini menyerang selaput otak. Jadi dia sudah mengevakuasi tulang kepala. Si tumor ini sudah merambat ke tulang yang di sekitar tumor,” Ita menjelaskan. 


Untuk mengisi hari-harinya yang tak bekerja akibat pandemi Covid-19, Ita belajar menjahit dengan tangan, melalui kanal Youtube.  Rosmalia sang ibu ingin sekali membelikan Ita mesin jahit second atau bekas, namun belum sempat karena banyak toko yang tutup.

Tumor di selaput otak Nurmalita sendiri ini ada di sebelah kanan, dekat mata dan mempengaruhi semua organ di wajah. Mulai dari rahang, telinga, hidung dan membuat wajah Ita tidak simetris lagi. Bahkan di dahi Ita seperti ada cekungan. Inilah yang kadang-kadang membuat Ita sedih dan minder. Belum lagi rasa sakit dan tak nyaman yang dirasakannya.

”Kalau tidur aku miringnya ke kiri, atau terlentang. Kalau ke kanan seperti menindih daging. Jadi agak seram juga. Kadang kalau kecapekan jadi pusing,” katanya.

Dalam keadaan seperti ini, Ita masih bekerja. Ia bekerja di sebuah butik di kawasan Mangga Dua Jakarta Utara, memasang manik-manik dan payet untuk sebuah gaun.

“Pernah kena sikut orang. Lagi di busway, tidak sengaja kena sikut orang lagi pegangan. Pusingnya tidak hilang seharian,” katanya.

“Saya selalu minta sama Tuhan, perlindungan saat dia di jalan. Pulang pergi kerja, karena dia mencari nafkah,” tambah sang ibu.

Sama seperti Ita, sang ibu juga bekerja di butik, tapi masih di wilayah Duren Sawit, dengan penghasilan per baju bisa 50 ribu-200 ribu. Namun karena sang ibu bolak-balik meminta izin tidak masuk karena mengantar Ita menjalani proses operasi saat itu, pemilik butik memberhentikannya. Sehingga saat ini hanya Ita yang bekerja. Namun dampak pandemi Covid-19, Ita juga sudah tiga bulan ini tak bekerja.

Di tengah kondisi sulit ini, keduanya bersyukur ada Tzu Chi yang sudah empat tahun lebih ini memberikan bantuan biaya hidup setiap bulannya. Ini bisa menjadi sandaran. Selain itu mereka merasa tak sendirian menjalani cobaan hidup ini karena relawan Tzu Chi sangat menunjukkan kepedulian mereka.

Perkenalannya dengan Tzu Chi


Johan Kohar dan relawan Tzu Chi dari He Qi Timur saat membuat video penyemangat untuk Nurmalita.

Ita mengenal Tzu Chi dari seorang teman di tempat kerjanya. Setelah mengajukan bantuan, relawan dari He Qi Timur, termasuk Johan Kohar, Wenny, dan Anastasia langsung melakukan survei ke rumah Ita. Tak sampai sebulan, permohonan mereka pun disetujui. Setiap bulannya sang ibu dan kadang Ita mengambil bantuan ke Kantor Sekretariat He Qi Timur (komunitas relawan Tzu Chi di wilayah Kelapa Gading dan sekitarnya).

Alhamdulillah banget saya bersyukur Tzu Chi ada. Benar-benar membantu saya, apalagi saya hanya berdua dengan Mama,” kata Ita.

Relawan Tzu Chi di He Qi Timur juga memiliki kesan yang sangat baik kepada ibu dan anak ini. Mereka salut dengan sikap positif keduanya dalam menghadapi cobaan yang bisa dibilang tak ringan ini.

“Nurmalita seseorang yang ulet, rajin. Walaupun dia sakit, dia tetap berusaha mandiri,” kata Wenny yang diiyakan oleh Anastasia.

“Nurmalita sempat down, kami beri semangat ke dia. Down karena dia sakit tidak bisa bekerja. Sempat down juga karena di-bullyorang. Tapi karena dia harus menjalani hidup, jadi dia bertahan terus,” tambah Johan Kohar.  


Di masa pandemi ini, bantuan biaya hidup untuk para penerima bantuan Tzu Chi ditransfer. Adapun bantuan selain biaya hidup seperti bantuan susu ataupun pampers juga DAAI Mi dikirimkan lewat ojek online.


Seorang ojek online membawa bantuan berupa DAAI Mi dan beberapa sembako untuk Nurmalita.

Yakin Akan Akhir yang Baik

Saat ini Nurmalita masih menunggu jadwal operasi selanjutnya.

“Pengennya sih cepat-cepat ditutup pakai tempurung titanium. Tapi kata dokter jangan terlalu cepat takut ada yang infeksi. Makanya saya bingung juga soalnya saya kan mau terus kerja,” kata Ita.


Nurmalita saat menerima kiriman bantuan dari relawan Tzu Chi. Setiap harinya, Nurmalita dan ibunya tak lupa menyisihkan uang ke dalam celengan bambu Tzu Chi.

Di tengah kebingungan, keresahan yang kadang muncul, Nurmalita terus memupuk keyakinan bahwa ia akan sembuh. Ia juga yakin, kesabaran yang dipupuknya akan mengantarkannya pada akhir yang indah.

“Keyakinan untuk sembuh itu harus ada, untuk menemani mama, orang tua saya yang sudah tinggal satu-satunya. Kalau tidak sama saya, sama siapa, dia penyemangat hidup saya,” kata Nurmalita.

“Dia tuh lebih ikhlas. Lebih tegar dari saya, sudah bersahabat mungkin dengan keadaannya sendiri,” kata sang ibu.

Editor: Hadi Pranoto


Artikel Terkait

Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -