Tak Ada Kata Susah
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Anand Yahya dan Budi (Tzu Chi Singkawang ) Tju Lie Tjin merasa terharu melihat putrinya mencucikan kakinya. |
| ||
Setelah saling memandang, Sera mendekati wanita itu dan memulai sebuah percakapan sederhana. Tju Lie Tjin nama wanita itu. Ia berusia 58 tahun dan berasal dari Pakunam, sebuah desa ladang yang berbukit yang berjarak 3 kilometer dari rumah sakit. Hari itu ia datang bersama tetangganya yang juga mendaftarkan diri sebagai pasien mata di baksos kesehatan Tzu Chi ke-94. Kepada Sera, ia mengaku kalau penglihatannya sebelah kiri mengalami gangguan sejak sepuluh tahun yang lalu. Penyebabnya karena ada segumpalan lemak putih yang disebut ptrygium menutupi sebagian kornea matanya. Namun kemiskinan membuat Tjin tak sanggup untuk berobat. Dan jikalau ada uang lebih pun Tjin lebih suka menggunakannya untuk kebutuhan keluarga. "Kalau ada duit lebih ya, dibuat makan yang enak sama anak-anak," kata Tjin dengan nada lirih. Namun yang membuat kami tertegun adalah keihlasan hatinya untuk berbagi di tengah hidupnya yang penuh himpitan. Tjin memiliki 3 orang anak kandung dari pernikahannya dengan Akiong. Tapi selain itu ia juga merawat dan membesarkan enam orang anak dari adik Akiong. Alasannya tak lain adalah Tjin tak pernah sampai hati melihat keponakan-keponakan suaminya menderita dan tak memiliki masa depan yang baik. Akhirnya dengan kasih sayang seorang ibu, Tjin mengangkat keponakan-keponakan suaminya dan membesarkan mereka laiknya anak sendiri. Tjin memang tegar. Ketika matahari kian meninggi, Tjin menerima secarik kertas berwarna kuning yang menyatakan Ia diperbolehkan untuk menjalani operasi mata dengan diagnosis Ptrygium. Wajah Tjin langsung sumringah. Senyumannya yang seulas tali seolah menghapus kemuraman di wajahnya yang penuh dengan perjuangan hidup. "Jika sudah selesai kami akan mengantar ibu pulang ke rumah," kata Sera kepada Tjin. Tapi kata Tjin, rumahnya jauh, tiga kilometer dari rumah sakit, jalanannya berbatu dan bergubuk kayu. Tjin mengungkapkan rasa sungkannya kepada kami. "Tidak mengapa," jawab saya. Tjin pun mengangguk setuju. Setelah semua urusan administrasi Tjin selesai, dua orang relawan pria langsung mendampingi kami untuk mengantar Tjin ke rumahnya nun di tengah bukit berbatu. Selama dalam perjalanan Tjin memang tak banyak bicara. Sesekali ia berkata kalau rumahnya buruk dan kurang layak untuk menjamu kedatangan kami. Tapi saya justru melihat kerendahan hati Tjin dalam menerima kedatangan kami. Dan di tengah ladang di antara rerimbunan pohon, di situlah pondok kayu Tjin berdiri. Saat kami masuk, Akiong, suami Tjin sedang beristirahat di sebuah pojokan dapur. Lelaki itu berusia 52 tahun, 6 tahun lebih muda dari Tjin. Postur tubuh Akiong tak bedanya dengan Tjin – kurus, berotot kering, dan berkulit cokelat. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Akiong berkata, inilah rumahnya dan ini pula kehidupannya dengan nada Hakka yang melengking tinggi. Tjin pun ikut menjelaskan kalau di tempat inilah mereka membangun kehidupan, membesarkan anak-anak kandungnya dan anak-anak angkatnya dengan perhatian dan kasih sayang yang sama.
Keterangan :
Berani Meski Susah Bahtera kehidupan Tjin dimulai sejak 35 tahun yang lalu ketika Akiong yang belum genap 20 tahun jatuh hati pada Tjin yang telah berusia di atas 20 tahun. Kendati demikian perbedaan usia tak membuat mereka menjadi asing. Justru kelebihan usia Tjin membuatnya menjadi sosok wanita yang penuh keibuan. Lalu setelah mereka menjalani pernikahan secara sederhana, Akiong membagi tugas kepada Tjin. Ia menjalani tugas mencari nafkah dan Tjin yang menjalani tugas rumah tangga. Maka untuk menghidupi keluarganya, Akiong bekerja sebagai buruh tani menggarap lahan orang lain. Meski penghasilannya tidak besar, tapi Akiong dan Tjin tak merasa ragu untuk memiliki banyak anak. Maka atas dasar keberanian itu satu –persatu buah cinta mereka pun lahir. Bahkan di tengah kemiskinannya Tjin justru semakin berani mengadopsi anak-anak dari adik Akiong yang tak mampu merawatnya. "Hidup boleh susah, tapi hati tidak boleh ikut susah. Saya tak tega melihat saudara terlantar," kata Tjin. Setelah berbincang-bincang, Akiong mengajak saya untuk menaiki sebuah bukit kecil di depan pondoknya. Di balik pepohonan pepaya, di puncak bukit yang datar itulah ladang Akiong. Ketika itu tanaman kacang tanah yang ditanam Akiong mulai bertunas dan begitu juga dengan tanaman kacang panjang yang ia tanam telah berbuah lebat. Jika cuaca baik maka dua bulan ke depan Akiong akan mendapatkan penghasilan yang baik. Tapi sayangnya cuaca zaman sekarang sulit untuk ditebak. "Jika cuaca baik, kami mendapatkan penghasilan yang lumayan. Tapi lebih sering, kami gagal panen," kata Akiong. Menurut saya ini merupakan bagian dari pengaruh pemanasan global. Tapi ketika saya membahas hal ini kepada Akiong, ia justru tak begitu paham soal pemanasan global. Menurutnya setiap orang sudah memiliki garis kehidupan sendiri-sendiri. Maka kehidupannya pun sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Lalu saya balik bertanya tak adakah keinginannya untuk menjadi kaya atau hidup lebih makmur? Sambil menatap saya, ia tersenyum lebar seraya berkata, "Tidak ada. Sekarang yang terpenting adalah anak-anak saya bisa hidup lebih baik, dan istri sehat." Akiong memang terlihat sangat menyayangi Tjin. Maka ketika penglihatan Tjin terganggu karena Ptrygium, hati Akiong turut menjadi susah. Beruntung setelah sepuluh tahun menderita, akhirnya Tjin mendapatkan kabar dari seorang kerabat kalau Tzu Chi mengadakan pengobatan mata secara gratis. Bermodalkan harapan dan dukungan dari Akiong, Tjin pun akhirnya mendaftarkan diri sebagai pasien baksos. Pada Jumat 8 November 2013, tepatnya seminggu setelah ia menjalani screening, Tjin bersama Lusiana anak perempuannya yang ke-5 dan pasien-pasien lainnya yang berasal dari Kota Singkawang datang menuju Kota Pontianak, guna menjalani operasi mata. Ketika baru turun dari bus, Tjin memang terlihat gembira. Guratan diwajahnya seolah pudar oleh senyumannya yang lebar. Bahkan begitu menjalani pemeriksaan tekanan darah tinggi, tensi Tjin masuk dalam kategori normal. Maka Tjin pun bisa melanjutkan ke tahap berikutnya. ketika lewat tengah hari, nama Tjin pun dipanggil. Dan Lusiana mendapatkan tugas mencuci kaki ibunya. Luar biasa rasa haru yang dipancarkan oleh Tjin. Karenanya sebelum menjalani operasi dengan senyuman yang lebar ia berkata kepada saya kalau hatinya begitu senang. Cita-citanya jika telah sembuh ia akan lebih banyak lagi membantu orang lain laiknya Tzu Chi yang berbuat bajik demi membahagiakan orang lain. "Saya mau membantu Tzu Chi. diminta bantuan pun saya mau," kata Tjin. Tepat pada pukul 17.00 WIB, Tjin sudah memasuki kamar operasi. Ketika itu wajah Tjin terlihat begitu tenang seakan tak ada lagi keraguan. Demikian pula dengan Lusiana. Senyumannya yang lembut khas seorang anak seolah menjadi energi yang mendampingi Tjin. | |||
Artikel Terkait
Gigi Sehat, Belajar pun Giat
13 Maret 2015 Selain itu, wanita yang akrab disapa Yuni ini merasa bersyukur atas kehadiran relawan dalam baksos gigi ini. Menurutnya kehadiran relawan ini dapat membantu mengurangi rasa cemas anak-anak. “Bagus sekali, relawan membantu jalannya pengobatan serta memotivasi anak-anak karena kan banyak yang takut,” tambahnya.Kaya Budaya, Satu Bangsa
30 Oktober 2017Untuk memperkenalkan kenakeragaman budaya bangsa Indonesia, Taman Kanak-kanak (TK) Tzu Chi Indonesia mengadakan kegiatan Indonesia Heritage Week yang diadakan dari tanggal 23–27 Oktober 2017. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan budaya Indonesia, mulai dari makanan, kesenian, dan seni budaya khas Indonesia lainnya.