Tak Patah Arang, Inspirasi dari Orang Tua Elena
Jurnalis : Khusnul Khotimah , Fotografer : Khusnul KhotimahSD
Tzu Chi Indonesia menggelar proses wisuda bagi 172 siswa, Rabu, 6 Juni 2018.
Rabu, 6 Juni 2018 menjadi hari yang paling membahagiakan bagi para orang tua murid SD Tzu Chi Indonesia. Dengan bangga, haru, dan bersyukur, mereka menyaksikan anak-anak mereka menjalani prosesi wisuda di Aula Jing Si lantai 3, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Jikalau ada orang tua yang paling berbahagia, maka orang itu adalah Peggy dan Damianus, orang tua dari Eleanora.
Saat Elena, sapaan Eleanora, dan teman-temannya dari kelas P6 Respect berjalan dengan rapi maju ke atas panggung untuk menerima ijazah dan prosesi pemindahan tali toga, mata Peggy berkaca-kaca. Sekali lagi Peggy membuktikan bahwa kerja keras tak akan pernah sia-sia.
“Senang banget, terharu juga. Memang perjuangannya tidak mudah untuk Elena. Dari awal, dari umur tiga tahun sampai sekarang itu benar-benar suatu usaha yang tidak mudah bagi saya,” ujar Peggy.
Elena adalah anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Sebuah gangguan yang terjadi pada otak, ditandai dengan kurangnya perhatian dan atau hiperaktif serta impulsif yang mengganggu fungsi dan perkembangan otak anak. Menurut National Institute of Mental Health, sebagian besar kasus ADHD terdeteksi pada usia 6 hingga 12 tahun. Anak-anak dengan ADHD cenderung kurang bisa menempatkan diri, sulit berteman, serta memiliki prestasi yang kurang memadai.
Eleanora
(ketiga dari kiri) menjadi salah satu wisudawan.
Peggy sendiri mengetahui jika Elena mengalami ADHD saat anak semata wayangnya ini berusia tiga tahun, saat duduk di kelas nursery. Setelah dua minggu Elena bersekolah, Peggy menerima laporan dari wali kelasnya jika Elena sedikit berbeda dari teman-temannya.
“Dia tidak bisa adaptasi, dia suka memutar-mutar, trus juga tidak bisa duduk diam, tidak konsentrasi, eye contact nya juga tidak lebih dari dua menit. Itu saya dapatkan dari wali kelasnya,” ujar Peggy.
Sebelum itu, sesungguhnya Peggy telah menyadari bahwa jika sedang bermain, Elena tak bisa duduk dengan satu mainan saja. Ia mudah bosan lalu pindah ke mainan yang lain. Tapi saat itu Peggy menganggapnya sebagai hal yang biasa. Setelah mendapat laporan itu, Peggy langsung mencari tahu apa yang sesungguhnya dialami Elena. Ia juga berkonsultasi dengan dokter dan psikolog. Dari situlah ia diberi tahu jika anaknya mengalami ADHD.
Peggy pun membawa Elena menjalani terapi di sebuah pediatric center. Elena menjalani terapi fokus, terapi okupasi, juga speech therapy karena ia kurang lancar berkomunikasi dua arah. Hingga kini, Elena tinggal menjalani terapi social skill.
“Semuanya itu nggak bisa seperti membalikkan telapak tangan dan langsung jadi hasilnya. Itu butuh waktu, butuh proses, jadi tidak cepat,” tutur Peggy. Capek? Sudah tentu, itu diakui Peggy. Apalagi Peggy tak menggunakan jasa suster.
“Semua saya pegang sendiri. Mulai dari dia usia tiga tahun saya harus bolak-balik ke dokter, harus antar jemput les, terapi, ke sekolah, semua saya lakukan sendiri,” kata Peggy.
Untuk bisa tetap semangat, sabar, dan konsisten menjalani semuanya, Peggy mengaku mendapatkannya melalui doa. “Tanpa berdoa sepertinya tidak mungkin. Yang paling penting adalah konsisten sebenarnya. Karena banyak orang yang melakukan hal itu setengah-setengah. Jadi tidak ada hasilnya mereka langsung kecewa, trus sudah,” tambahnya.
Eleanora
mengaku semangat untuk menjadi anak SMP.
Peggy merasa sangat beruntung, suaminya, Damianus mendukung penuh dirinya menjadi seorang ibu rumah tangga yang full bagi Elena. Kesiapan sang suami mencari nafkah seorang diri juga memberikan kenyamanan baginya sehingga ia dapat fokus pada tumbuh kembang Elena.
“Sebenarnya saya itu berhenti bekerja sementara, maksudnya sampai dia tiga tahun, kan itu golden age, habis itu saya akan kembali bekerja di perusahaan sepupu saya. Tapi saya urungkan niat saya karena saya merasa ada yang lebih penting dari pada itu,” tambahnya.
Bagi Peggy, untuk anak dengan gangguan ADHD, orang tua harus benar-benar fokus. Banyak tantangan yang ia dan suaminya hadapi. Namun yang paling penting adalah menghadapi Elena layaknya seorang sahabat sehingga Elena bisa terbuka kepada orang tua.
“Apapun yang dia alami, dia akan cerita kepada kita. Dan Elena dengan saya itu tidak ada rahasia, dia semuanya cerita. Jadi itu akan lebih gampang, lebih mudah bagi saya untuk mengarahkan dia ke arah yang lebih baik,” kata Peggy.
Elena sendiri agak keras kepala, meski begitu jika diberikan penjelasan, ia bisa menerima dan mau menurut. Tapi memang tidak mudah karena Elena berpikir dengan sangat kritis sehingga Peggy harus memberikan suatu jawaban yang benar-benar memuaskan bagi Elena. Jika tidak, Elena akan bertanya terus secara berulang-ulang. Elena adalah anak yang percaya diri, berani tampil di muka umum, juga senang perpidato.
Siap Menjadi Anak SMP
Peggy
dan Damianus tak kuasa menahan haru saat anak semata wayangnya menjalani proses
wisuda.
Elena kini siap melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya di SMP Tzu Chi Indonesia. Elena merasa sangat senang bisa lulus mendapatkan peringkat sembilan.
“Happy sudah lulus. Saya pengen punya banyak teman saja di SMP. Cita-cita ingin jadi pilot. Saya mau jadi lebih baik lagi. Saya English-nya sudah bisa tapi mau kuasai lagi,” kata Elena usai prosesi wisuda.
Banyak hal yang ingin dipelajari Elena saat nanti SMP, diantaranya jago menyampaikan presentasi. “Bisa berpresentasi dengan baik. Mau sukses terus nggak ada yang gagal. Saya ingin lebih nurut sama papa mama, jadi anak yang berbakti. Kalau ke teman, jangan iseng lagi,” tutur Elena dengan nada yang cepat dan tegas.
Naik ke jenjang yang lebih tinggi, Peggy pun ingin anak kesayangannya ini menjadi sosok yang lebih mandiri. “Saya akan buat dia lebih mandiri lagi. Saya juga akan mengarahkan dia ke talenta dia, minat dia. Kalau yang saya observe sih dia lebih condong ke bahasa, dia segala bahasa itu bisa. Tapi kalau yang matematika dan logika sepertinya kurang. Jadi saya tidak akan paksa dia untuk ke arah sana,” kata dia.
Peggy sangat bersyukur, meski Elena hiperaktif, toh tetap dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Karena itu Peggy sangat berterima kasih kepada jajaran guru-guru di SD Tzu Chi Indonesia.
“Untuk dia bisa sekolah di Tzu Chi dengan prestasi dia juga ya walaupun bukan termasuk lima besar, bagi saya dia bisa konsisten untuk mempertahankan prestasinya,” ujarnya.
Peggy
sebagai perwakilan orang tua menyampaikan rasa terima kasihnya kepada para guru
yang dengan sabar mendidik putra-putri mereka.
Secara khusus Peggy merasa sangat berterima kasih kepada wali kelas Elena, yakni Irene Adreles yang sangat mendukung Elena menjalani hari-hari Elena di sekolah.
“Miss Irine sangat membantu, orangnya sangat perhatian, disiplin banget. Saya senang Elena bisa di bawah bimbingan dia. Walaupun begitu, dia tidak mengistimewakan anak saya, tidak. Dia menyamakan tapi dia memberikan perhatian khusus dengan lebih ke karakter Elena, jadi kita sangat bekerja sama dengan baik,” ujarnya.
Usai prosesi wisuda, para wisudawan berbaris untuk kembali ke tempat duduknya masing-masing. Wali kelas P6 Respect, Irene Adreles mengatur barisan murid-muridnya. Senyumnya mengembang ketika melihat wajah Elena.
“Saya senang Elena sudah lulus. Dia sangat sangat berkembang sejak awal. Saya percaya dia akan memiliki masa depan yang cerah di masa mendatang. Secara akademis dia bisa mengejar, saya percaya di SMP, dia bisa menyesuaikan, dia akan tetap mendapatkan bimbingan di sana, saya percaya dia bisa mengikuti standar yang ada,” kata Irene.
Irene menambahkan, di SMP, Elena harus dapat lebih mandiri. Ia pun percaya guru-guru di SMP Tzu Chi Indonesia siap membantu Elena.