Tak Perlu Bisa Berdiri Sempurna, Mursidi Hanya Ingin Membantu Kakaknya
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta WulandariMursidi mengayuh sepeda dengan kuat di gang depan rumahnya yang tak seberapa lebar. Beberapa kali ia berputar, sampai akhirnya ia merasa kelelahan. “Sudah cukup naik sepedanya, sudah lumayan olahraga pagi ini,” katanya.
Bersepeda menjadi salah satu rutinitas Mursidi. Olahraga itu juga merupakan terapi baginya, penderita ankylosing spondylitis (M45).
Mursidi mengayuh sepeda di gang depan rumahnya. Bersepeda merupakan terapi mudah yang dianjurkan oleh dokter untuknya. Tujuannya agar otot tubuhnya bisa aktif dan tetap bekerja.
Penyakit ankylosing spondylitis (M45) adalah penyakit yang mempengaruhi tulang belakang dan sendi-sendi besar yang lebih umum terjadi pada pria. Biasanya penyakit ini dimulai pada awal masa dewasa. Pada Mursidi, penyakit tersebut mulai ia rasakan pada awal usia 20-an.
Melanie dan anak pertamanya, David mewakili Mursidi mengambil bantuan berupa uang bulanan dan ada juga Mi DAAI di Kantor Tzu Chi Tangerang, Rabu (6/1/2021).
Gejala biasanya muncul, yakni berupa kurangnya fleksibilitas di tulang belakang. Pengurangan fleksibilitas ini akhirnya menjadikan postur membungkuk ke depan. Nyeri punggung dan persendian juga umum terjadi. Dan ya, kini punggung Mursidi bungkuk, setelah sebelumnya merasa sering kesemutan dan kram. Berjalan atau melakukan aktivitas sebentar saja membuatnya kelelahan dan tak jarang merasakan sesak napas.
Menderita penyakit langka di usianya yang masih produktif (34) membuat Mursidi sempat putus asa. Anak bungsu dari 13 bersaudara ini merasa tidak bisa membantu keluarganya, malah sebaliknya kerap menyusahkan.
Di depan rumahnya, Melanie membuka warung sederhana untuk menambal kebutuhan hidupnya.
“Ya kata dokter nggak bisa disembuhin. Kemana-mana kayak nggak ada obatnya. Kemana-mana nggak bisa. Ibaratnya nggak ada jalan keluarnya. Jadi setelah berobat, di rumah mikir, frustasi, putus asa,” ungkap Mursidi. Ia juga jengkel karena dulu sempat hanya bisa berbaring di ranjang, sehingga ia mengandalkan kakak pertamanya, Melanie (52), yang sudah terasa seperti orang tuanya sendiri.
“Namanya saudara ya, adik, gimana nggak sayang,” tukas Melanie. Sejak awal adiknya merasakan berbagai keluhan, ia selalu berdiri paling depan. Mulai dari mencari pengobatan di berbagai rumah sakit, hingga ke pengobatan alternatif, semua ia cari. “Rasanya seperti urus anak sendiri,” ungkapnya.
Mursidi menunjukkan hasil
rontgen tulang belakangnya.
Padahal, kehidupan Melanie bisa dibilang berkekurangan. Ia adalah ibu rumah tangga biasa dengan dua anak. Salah satunya menderita down syndrome. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka membuka warung sederhana di rumah. Melanie juga kerap mencari barang-barang rongsokan sebagai tambahan pemasukan.
“Orang mau ngatain apa juga saya masa bodo. Biarin yang penting anak saya nanti sukses walaupun hasil mulung juga. Keluarga saya bisa makan istilahnya,” tuturnya optimis.
Selain bersepeda, Mursidi biasanya memakai alat bantu untuk menopang tulang punggungnya.
Membantu Mursidi yang sempat depresi juga dilakukan oleh Melanie. Ia tahu betul perasaan adiknya tersebut. Makanya, ia benar-benar menaruh perhatian dan memotivasi adiknya untuk kembali bangkit.
“Waktu itu rasa marah juga ada. Maksudnya ya kita hidup di sini, jalani aja apa adanya. Jangan putus semangat. Kalau Tuhan kasih kita hidup, kita jalani. Jangan kita bikin kesel. Akhirnya penyakit datang tambah banyak kalau kita ngedrop sendiri,” ingat Melanie saat menasihati adiknya.
Beruntung pula mereka berjodoh dengan Tzu Chi. Hingga ketika Mursidi mengalami depresi, relawan pun berkesempatan mengunjungi dan memberikan dukungan serta motivasi. “Tzu Chi sudah banyak membantu memberikan dukungannya dan perhatiannya. Saya sangat berterima kasih,” tutur Melanie disambut anggukan oleh Mursidi. Hari itu pun, Rabu (6/1/2021) mereka baru saja menerima bantuan bulanan dari Tzu Chi.
Walaupun belum sembuh seutuhnya, Mursidi tetap ingin bermanfaat bagi keluarga dan membantu kakaknya menjaga warung.
Kini setelah kondisinya semakin membaik, Mursidi tidak memiliki keinginan yang terlalu berlebihan. Ia hanya ingin bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk keluarganya, membantu kakaknya yang sudah susah payah merawatnya.
“Cici…, terima kasih banyak sudah bantuin merawat dari nol sampai sekarang. Cici rela berkorban. Dia lagi sakit juga tetep ngurusin saya, urus ke rumah sakit, apa aja urusin saya. Terima kasih,” ujar Mursidi.
Sebaliknya, Melanie ingin Mursidi tidak lagi putus asa dalam menghadapi penyakitnya karena banyak orang baik yang peduli padanya. “Kamu masih ada masa depan, masih ada harapan untuk sembuh. Umur kan baru 30-an, kalau Tuhan kasih mukzizat, semua bisa terjadi. Kita yakin bisa membaik walaupun tidak 100 persen seperti dulu,” timpal Melanie meyakinkan Mursidi.
Editor: Hadi Pranoto