Tak Seperti yang Kita Kira
Jurnalis : Himawan Susanto, Fotografer : Siladhamo Mulyono Theresia berjalan beriringan seraya bersenda gurau bersama Shahadah. Meski hidup dalam keterbatasan, Shahadah terus tersenyum menatap dunia. Di matanya, dunia ini tetap indah dan penuh kebahagiaan. | Rumah megah, harta berlimpah, dan fasilitas yang serba lengkap mungkin menjadi ukuran kebahagiaan kita dalam hidup ini. Namun, materi ternyata tidak selalu identik dengan kebahagiaan hidup. Kita dapat memetik sebuah pelajaran dari seorang nenek bernama Nur Shahadah (70) yang tinggal di Sungai Larangan, Desa Harapan Jaya, Muara Gembong, Bekasi yang hidup berbahagia meski hidup penuh keterbatasan. |
Shahadah tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, bahkan dapat dikatakan seperti sebuah gubuk. Sehari-hari ia hanya ditemani oleh bekas anak tirinya dan kambing-kambing peliharaan milik majikannnya. Bahkan tak jarang ia tinggal sendirian karena anak tirinya pergi mencari nafkah di tempat lain. Awalnya Shahadah tinggal di Sungai Larangan bersama Nurpan, suaminya. Namun sejak Nurpan meninggal dunia, ia tetap menetap dan tak mau kembali ke Muara Gembong, tanah kelahirannya. Untuk lauk pauk, ia mencari kangkung yang banyak tumbuh di rawa-rawa di sekeliling rumahnya. Nasi putih dan kangkung rebus adalah menu utama sehari-hari. Kangkung tersebut direbus menggunakan air hujan. Tinggal di tengah rawa yang airnya payau membuat air hujan menjadi barang berharga. Semua kebutuhan mulai dari memasak, mencuci hingga mandi, semua mempergunakan air hujan yang ditampung. Tak heran beberapa jerigen yang penuh dengan air hujan berderet di dalam rumahnya. Saat malam menjelang, hanya kilatan lampu minyak tanah kecil yang menyinari sudut-sudut ruangan rumahnya. Sehari-hari ia menggembala kambing-kambing milik majikannya. Dengan perahu kecil, ia mencari rerumputan di tepian sungai kecil yang membentang di depan rumahnya. Rerumputan itu untuk kambing-kambingnya yang dengan setia pulang ke kandang jika sore mulai menjelang. Ket : - Bambang, seorang relawan Tzu Chi sedang membantu membawakan beras milik seorang penerima Dua minggu lalu banjir setinggi pinggang orang dewasa menggenangi rumahnya. Terpaksa ia tinggal di panggung yang telah dibuat di dalam rumah. Sisa-sisa banjir itu masih ada dan membekas di dinding-dinding bambu yang kini belum kering benar. Lantai rumahnya yang dari tanah masih becek dan berlumpur. Dengan alat masak ala kadarnya ia menatap kehidupan dengan senyum dan rasa syukur. Rumah berdinding bambu yang berukuran 5x7 meter ini seperti noktah kecil di antara luasnya hamparan rawa-rawa. Sebuah luka masih membekas jelas di telapak tangan kirinya. Luka yang ia dapatkan saat ia sedang mencari rerumputan di tepian sungai ketika banjir datang. Saat itu ia sedang berperahu di tepian sungai dan tanpa sengaja telapak tangannya terluka oleh pedang yang dibawanya. Dalam kondisi berdarah-darah, ia siram luka itu dengan minyak tanah yang kemudian diikat dengan kain seadanya. Selama beberapa hari, ia tak pernah membuka ikatan itu karena takut lukanya belum kering benar. Saat luka itu dipencet sudah keras, ia baru berani membuka ikatan lukanya. Ia menggunakan minyak tanah untuk memasak, menyalakan lampu tempel, dan juga obat saat keadaan mendesak seperti waktu telapak tangan terkena pedang. Dalam dua hari, ia biasanya menghabiskan 1 liter minyak tanah. Jika minyak tanah habis dan tak terbeli, ia biasanya memasak dengan kayu bakar yang dicari di sekeliling rawa. Saat itu pula, hanya gelap gulita dan bintang-bintang yang gemerlapan di angkasa saja yang senantiasa menemani malamnya karena lampu tempelnya kehabisan minyak tanah. Suasana gelap gulita ini sering kali dirasakannya berhari-hari hingga anak tirinya atau orang lain memberinya uang untuk membeli beras dan minyak tanah. Jika kehabisan beras, ia biasanya berkunjung ke rumah ketua RT dan bahkan kadang Lurah. Di sana ia meminta beras agar ia tetap dapat memasak. Dengan berperahu, ia menyusuri sungai kecil di depan rumahnya dan juga sungai besar menuju rumah kedua aparat desa tersebut. Biasanya ia mendapat 2-5 liter beras dari mereka. "Syukur dikasih, namanya juga minta," tuturnya. Ket : - Beginilah keadaan dalam rumah Shahadah, berlantaikan tanah dan lumpur. Tanpa mengenakan alas kaki, Siang itu, tanggal 2 Maret 2008, dengan memegang 2 buah kupon miliknya dan anak tirinya, ia menuju posko pengambilan bantuan. Tanpa mengenakan alas kaki ia berjalan dari ujung sungai yang besar ke tempat pembagian bantuan. Ia tak merasakan panas sedikit pun di telapak kakinya karena yang ada di pikirannya adalah ia harus mendapatkan beras untuk memasak. Saat survei, ketua RT mengatakan bahwa setiap pemegang kupon harus mengambil sendiri barang bantuan mereka. Karenanya, ia menumpang sebuah perahu yang ia tak kenal siapa mereka agar dapat mengambil langsung barang bantuan miliknya. Bersama ratusan penduduk lainnya ia menuju rumah Lurah Idrom. Ratusan orang memadati rumah Idrom yang menjadi titik pusat pemberian bantuan. Dalam baksos tanggap darurat ini, 2100 keluarga mendapatkan paket sembako yang terdiri dari 1 karung beras cinta kasih, 1 liter minyak goreng, dan 20 bungkus mi instan. Baksos yang didukung oleh 77 relawan Tzu Chi ini berlangsung selama 3 jam lebih. Shahadah yang telah renta ini dengan sabar menunggu giliran. Ia terlihat berdiri terdesak-desak di antara himpitan ratusan manusia yang antri. Relawan Tzu Chi yang mengetahui Shahadah tinggal di tempat yang jauh akhirnya turut mengantarkannya ke rumah. Shahadah diajak naik mobil bersama 3 relawan Tzu Chi dan 2 aparat desa Harapan Jaya. Karena jalan yang rusak dan berlubang, beberapa kali mobil yang mereka tumpangi bergerak miring ke kanan dan ke kiri. "Naik mobil takut terbalik, deg-degan," lanjut Shahadah yang baru pertama kalinya naik mobil. Setibanya di tepi sungai besar, mereka segera naik perahu yang telah tersedia. Kini perahu itu mulai menyusuri sungai yang lebarnya lebih dari 5 meter. Dalam rombongan juga ikut beberapa penerima bantuan yang hendak pulang ke rumah. Di tepi sungai, tampak berderet beberapa rumah yang ditinggali oleh para warga. Di satu tepi sungai, perahu mulai menepi dan menurunkan penumpang dan juga barang bantuan yang dibawa. Dua kali perahu menepi dan menurunkan barang bantuan sebelum akhirnya memasuki sebuah sungai kecil yang di kiri kanannya tumbuh berbagai macam rerumputan dan tumbuhan. Perahu terus menyusuri sungai kecil ini. Tampak beberapa ikan kecil berlompatan di tepian sungai, demikian pula beberapa burung terlihat beterbangan dengan riangnya menikmati kebebasan mereka. Ket : - Dengan peralatan dapur seadanya Shahadah memasak nasi dan lauk untuk makan sehari-hari. Tak lama, di kejauhan tampak sebuah rumah kecil yang sangat sederhana diapit sebuah kandang kambing dan 2 rumah tetangga. "Itu rumah saya, minggirnya di sebelah sana aja, ga bisa ke dermaga, soalnya ada yang masang bagang (tempat orang memasang jaring untuk menangkap ikan -red) ," tuturnya kepada tukang perahu. Perahu perlahan menepi dan saat itu Theresia, Atiam, dan Mao Hua segera menemani Shahadah dan membawakan barang-barang miliknya. Di dalam rumah, Theresia berbicara panjang lebar dengannya. Shahadah bahkan menawarkan relawan untuk menginap di rumahnya. "Sudah sore, nginep aja ya?" ajaknya. "Nanti kita makan apa?" tanya Theresia bercanda. "Khan berasnya sudah banyak," jawabnya. Rumah itu memang sangat sederhana, disusun dari potongan kayu dan beratapkan asbes namun tidak membuat Shahadah sedih apalagi bermuram durja. Saat Theresia mengajaknya tinggal di kota, ia menolak dengan berkata, "Enak tinggal di sini, di hutan. Di kota takut banyak mobil," jawabnya polos. Hidup dalam keterbatasan tidak membuat Shahadah sedih dan meratapi nasibnya, ia malahan selalu tersenyum dan bahagia. Senyum itu tetap menghiasi wajahnya saat relawan Tzu Chi meninggalkan rumahnya. Inilah pengalaman hidup betapa kebahagiaan hidup tak bisa diukur dengan materi semata, tak seperti yang kita kira. | |