Tidak Hanya Berpangku Tangan

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
foto

Relawan Tzu Chi menyurvei rumah Tarmudi yang atapnya terbang terbawa angin .

Kebahagiaan, derita, dan musibah silih berganti mengiringi kehidupan manusia. Apapun yang terjadi, manis ataupun pahit, kehidupan harus tetap berjalan seperti biasa. Karena di antara setiap kesulitan, selalu terdapat kemudahan lainnya.

Malang benar nasib Tarmudi. Belum genap 3 bulan ditinggal pergi istri tercinta untuk selama-lamanya, kini pria 32 tahun ini mesti menghadapi ujian lainnya. Di wajahnya kini terdapat dua luka—pelipis dan bawah kelopak mata—yang akan menjadi kenangan sepanjang hidupnya. Sebagian atap rumahnya yang ditutupi terpal plastik seolah menjadi penanda dahsyatnya kekuatan angin yang menerpa Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu Utara pada tanggal 5 Januari 2008.

Berdiri tepat menghadap lautan, rumah Tarmudi sepintas memang mirip rumah perahu. Bedanya, terdapat tiang-tiang beton dan kayu yang dipancangkan ke bawah permukaan laut. Sempitnya pulau seluas 13,9 hektar yang mesti dihuni 5.543 keluarga ini membuat beberapa warga nekad mendirikan rumah di bibir pantai ataupun menjorok ke laut. Beberapa perahu ukuran sedang maupun kecil tertambat di sisi rumah penduduk, menjadi penegas sebuah komunitas kampung nelayan yang bersahaja.

foto  foto

Ket : - Tarmudi (32) yang mengalami luka di pelipis dan bawah kelopak matanya akibat terkena pecahan asbes
           sedang membuat keramba untuk menangkap ikan di karang-karang. Saat ini Tarmudi tak bisa bekerja dan
           hanya mengandalkan kebaikan teman-temannya untuk memenuhi kebutuhan. (kiri)
         - Tarmudi saat mendatangi posko Tzu Chi untuk mengambil santunan. (kanan)

Tertimpa Pecahan Asbes
Sambil merakit ‘bubu’ (jala kawat) di rumahnya. Tarmudi menceritakan pengalaman pahitnya. Tidak seperti tetangga-tetangga yang sempat menyelamatkan diri saat angin puting beliung menyergap kampungnya, Tarmudi masih tertidur lelap selepas melaut malam harinya. “Tidak ada yang membangunkan saya, semua orang juga sedang panik,” kenangnya. Ia mahfum, mengingat angin sangat ‘menakutkan’ bagi kebanyakan orang. Terlebih gubuknya berada tepat di pinggir laut yang beresiko tinggi tersapu angin.

Dalam hitungan menit—pukul 07.00 sampai 07.15 WIB—angin secara acak menyisir rumah-rumah warga dan bahkan merobohkannya. Belum sadar akan bahaya yang mengintai, tiba-tiba pecahan asbes jatuh dan menimpa wajahnya. Pecahan asbes yang tajam melukai pelipis dan satu sentimeter di bawah matanya “Saya bangun dan panik! Darah sudah bercucuran di wajah,” kenangnya. Beruntung saat kejadian, Ufidah (7), putri semata wayangnya sedang menginap di rumah neneknya. “Saya lari keluar dan oleh tetangga-tetangga langsung dibawa ke klinik,” terang Tarmudi. Akibat lukanya yang dalam, Tarmudi harus menerima 4 jahitan di pelipis dan 2 jahitan di bawah kelopak matanya. “Beruntung tidak mengenai mata saya,” kata Tarmudi.

foto  foto

Ket : - Relawan Tzu Chi menyurvei rumah Tarmudi yang atapnya terbang terbawa angin. (kiri)
          - Akibat angin puting beliung, tidak hanya atap dan rumah warga saja yang hancur, pohon-pohon besar pun
           ikut terangkat. (kanan)

Tidak Bisa Melaut
Dua hari kemudian, Tarmudi pun memeriksakan lukanya yang menurut dokter terinfeksi. “Tadi baru dibersihkan dan ganti perban,” katanya ketika Buletin Tzu Chi menemuinya pada suatu sore di tanggal 8 Januari 2008. Dengan kondisi lukanya itu, Tarmudi tidak bisa mencari nafkah. “Untuk makan aja sih ada, bantuan dari posko dan teman-teman,” ujarnya ringan. Kehidupan di pulau yang diapit lautan ini memang masih kental nuansa kekeluargannya. Terlebih mata pencaharian Tarmudi adalah sebagai nelayan ‘bubu’—mencari ikan di karang-karang yang mengharuskannya menyelam sampai kedalaman 30-35 meter. Dengan alat-alat selam sederhana dan minim keselamatan, ia harus berjuang menahan rasa sakit dari tekanan air yang kuat. Tidak seperti penyelam profesional, tabung oksigen Tarmudi adalah sebuah mesin kompresor yang terletak di atas kapal. Tarmudi menyelam hanya menggunakan masker dan selang oksigen yang terulur panjang sejauh ia menggapai dasar laut.

Sedikit sekali manusia yang bisa bertahan di kedalaman laut seperti itu. “Awalnya sih takut bukan main, tapi bagaimana lagi? Lagipula kalau sudah biasa, rasa sakit itu hilang dengan sendirinya,” tegas Tarmudi. Dengan resiko kecelakaan yang tinggi, nyatanya penghasilan Tarmudi tidaklah begitu menjanjikan. “Kadang bisa dapat 200-500 ribu tapi kadang juga nggak dapat apa-apa,” terangnya. Penghasilannya pun mesti dibagi lagi dengan 4-5 orang temannya. “Kalau ada kerjaan lain sih, maunya juga kerja di darat,” katanya berharap.

Tarmudi pasrah menghadapi bencana yang berturut-turut menimpanya. “Ya diterima saja, namanya Tuhan yang mengatur. Sudah takdir,” kata Tarmudi pasrah. Di tengah kesedihannya, matanya berkaca-kaca saat menerima santunan dari relawan Tzu Chi. “Sebagian akan saya pakai untuk makan sehari-hari dan sisanya untuk betulin atap rumah,” ujar Tarmudi haru.  

foto  foto

Ket : - Rabu, 9 Januari 2008, relawan Tzu Chi memberikan santunan tunai kepada 277 warga Pulau Kelapa,
           Kec. Kepulauan Seribu Utara yang terkena angin puting beliung pada hari Badan penyalur bantuan korban.
           (kiri)
         - Muhidup (60) Warga yang terluka akibat tertimpa genteng rumah menerima santunan dari relawan Tzu Chi.
           (kanan)

Tim Tanggap Darurat Tzu Chi
Tiga hari pascamusibah, Tim Tanggap Darurat Tzu Chi menyurvei sekaligus memutuskan bantuan yang paling tepat diberikan pada para korban. “Karena lokasinya cukup sulit, maka bantuan kemungkinan dalam bentuk santunan,” kata Jemmy Setiawan, anggota Tim Tanggap Darurat. Setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat, tim tanggap darurat segera menuju lokasi bencana. “Setelah melihat langsung, kami yakin bahwa warga memang sangat butuh bantuan,” kata Abdul Muis, ketua rombongan Tim Tanggap Darurat Tzu Chi.

Menurut Camat Kepulauan Seribu Utara, Junaidi, sebanyak 295 rumah di Pulau Kelapa dan Harapan rusak akibat angin puting beliung. “Dari 44 rumah yang rusak parah, 18 diantaranya merupakan warga tidak mampu,” sambungnya. Dalam kesempatan itu, Junaidi juga menyampaikan bahwa bantuan sembako ataupun material sudah tersedia di posko. “Yang dibutuhkan sekarang adalah dana untuk tenaga tukangnya,” kata Junaidi menjelaskan.

Meringankan Derita Korban
Rabu, 9 Januari 2008, relawan Tzu Chi memberi santunan kepada 295 warga Pulau Kelapa dan Pulau Harapan yang rumahnya mengalami kerusakan, baik berat ataupun ringan. “Besarnya tentu berbeda bagi 44 warga yang mengalami kerusakan parah,” kata Abdul Muis. Tzu Chi juga berencana menanggung upah kerja sebanyak 20 tukang bangunan untuk memperbaiki rumah warga selama 20 hari kerja.

foto  

Ket : - Warga saat berkumpul untuk menerima santunan dari Tzu Chi di SDN Pulau Kelapa. Sebelum diberi
           santunan, warga juga diberi penjelasan dan pengenalan tentang Tzu Chi oleh relawan.

Meski mendapat bantuan perbaikan, warga tidak hanya menunggu dan berpangku tangan. Beberapa warga, termasuk Tarmudi berinisiatif memperbaiki rumahnya. “Sebenarnya kalau benerin sendiri sih bisa, cuma butuh waktu sangat lama,” ujar Tarmudi yang tetap berusaha mencari nafkah dengan keahlian lainnya, merakit bubu kawat. Ia sadar, semakin cepat pulih keadaan, semakin cepat pula babak kehidupan baru dimulai.

 

Artikel Terkait

Bazar Amal Tzu Chi: Membagi Waktu Bersumbangsih

Bazar Amal Tzu Chi: Membagi Waktu Bersumbangsih

29 Oktober 2014 Kegiatan bazar amal Tzu Chi di hari kedua, Minggu 26 Oktober 2014, tidak kalah ramainya dibandingkan dengan kegiatan bazar di hari pertama, Sabtu 25 Oktober 2014. Sejak pagi mulai dari jam 08.00 WIB, kesibukan para relawan dan para peserta bazar mempersiapkan gerai-gerai sudah nampak.
Suara Kasih :  Tiga Perayaan Besar

Suara Kasih : Tiga Perayaan Besar

14 Mei 2010
Dunia kita diliputi Lima Kekeruhan. Saya berharap di tengah dunia yang kacau ini, hati setiap orang dapat menjadi bagaikan bunga teratai yang tetap tak ternoda meski tumbuh di lumpur.
Ada tiga "tiada" di dunia ini, tiada orang yang tidak saya cintai, tiada orang yang tidak saya percayai, tiada orang yang tidak saya maafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -