Tiga Profesi, Satu Hati
Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Juliana SantySuasana di ruang operasi pada saat Bakti Sosial Kesehatan ke-83 di Pekanbaru, Riau. |
| ||
Menjadi Dokter yang Bahagia Profesi dokter mengemban tanggung jawab yang besar sekaligus mengemban misi yang mulia karena dapat mengobati mereka yang sakit. Baginya menjadi seorang dokter adalah panggilan jiwa yang ia idamkan sejak masih kecil. Sebuah kegembiraan yang besar jika ia dapat membantu para pasien yang mengalami gangguan kesehatan mata seperti katarak, dapat melihat lagi dengan jelas, “Kita merasa mereka juga memberikan pelajaran kepada kita, tidak hanya kita memberikan kepada mereka, tetapi mereka juga memberikan kepada kita sesuatu yang bisa kita contoh, seperti, begitu gigihnya mereka dengan kesesengsaraan, bayangkan tidak bisa lihat itu seperti, kok dia bertahun-tahun bisa bertahan? Itu karena sebuah kesabaran yang luar biasa. mereka kok bisa ya, kita belajar dari situ. Kalau kita punya sengsara sedikit kita jangan mengeluh,” tuturnya. Baginya seorang dokter harus memiliki semangat untuk berbagi supaya bisa membantu mereka yang membutuhkan dan profesi dokter bukanlah tempat untuk memperoleh keuntungan pribadi. Ia pun menceritakan sebuah ucapan Master Cheng Yen tentang profesi dokter dan ucapan tersebut pun membuatnya terkesan, “Master Cheng Yen bilang saat bertanya kepada mahasiswanya yang mau masuk kedokteran, ‘Tanya pada dirimu sendiri, apa yang membuat kamu ingin masuk sekolah dokter. kalau kamu ingin menjadi kaya, maka kamu akan menjadi dokter yang tidak bahagia, bisa kaya, tapi kamu tidak akan memperoleh kebahagiaan dari kamu menjadi dokter.” “Master tidak melarang dokter menjadi kaya (karena profesinya), tapi Master bilang bahwa kamu tidak akan memperoleh kebahagiaan di situ. Makanya Master berkata untuk ‘renungkan kembali’. Kalau itu yang menjadi tujuan kamu, maka bersiaplah kamu untuk menjadi tidak bahagia. Kalau kamu ingin menjadi dokter yang bahagia, maka kamu jangan pikirkan kekayaan,” jelasnya yang juga berharap kedepannya TIMA dapat semakin menjangkau ke daerah-daerah yang tak terjangkau dari pelayanan kesehatan.
Keterangan :
Melayani Dengan Sungguh-sungguh Sejak tahun 2001 ia pun bergabung dengan TIMA dan mengikuti berbagai kegiatan baksos, ia hampir selalu hadir dan hanya hitungan jari saja ia tidak hadir, “Pernah absen di baksos Serang. Saya screeningnya ikut, operasinya ada halangan, sama di Bantul, Yogyakarta, screeningnya ikut, operasinya tidak bisa ikut. Cuman 2 kali,” ucapnya sembari mengingat masa lalu. Menjadi seorang perawat dan bergabung dengan TIMA menjadi kebanggaannya tersendiri, “Senang, kerja sama bagus sekali di TIMA. Kita bisa menolong orang susah, kita ikut merasa senang juga. Kalau orang susah itu sudah sembuh, terutama di bagian mata, yang tadinya tidak bisa melihat sudah jadi bisa melihat, dia senang saya pun ikut senang, jadi saya merasa terhibur,” ucap suster yang selalu terlibat di bagian bakti sosial kesehatan mata ini. Setiap baksos yang ia ikuti selalu meninggalkan kesan yang berbeda baginya, namun setiap baksos selalu berkesan di hatinya. Meskipun sudah berusia 69 tahun, ia tidak merasa lelah sedikitpun untuk berkontribusi di setiap kegiatan pelayanan kesehatan. “Dulu pernah sakit sekali lutut saya, waktu menjelang pensiun. Dokter menyuruh pakai tongkat atau di terapi. Akhirnya sembuh bukan pada saat diterapi, saya pikir saya harus membalas kesembuhan saya ini dengan menolong orang lain,” tuturnya dengan penuh keyakinan. Satu hal yang selalu ia lakukan saat mengikuti baksos dimanapun, ia pasti akan mencari lokasi gereja terdekat dengan penginapannya. Setiap hari ia pun pergi ke gereja walaupun belum mengenal tempat tersebut. Namun profesinya sebagai perawat tetap ia utamakan,”Ikut baksos kemanapun saya pasti cari gereja, tetapi saya tidak menganggu pekerjaan, kalau saya pergi gereja tergantung kerjaan saya, saya utamakan kerjaan dulu. Saya merasa kalau ke gereja itu, bagaimana orang lapar, jadi rasanya kalau masuk gereja itu aman, tentram, enak sekali, enggak capek walaupun habis baksos,” ucapnya yang merasa bahwa prinsip pelayanan di gereja dan Tzu Chi hampir sama.
Keterangan :
Penjaga Batin Pasien Di setiap kegiatan baksos maupun kegiatan lainnya, relawan Tzu Chi selalu telah mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya dan saat telah usai, mereka pun selalu menjadi barisan terakhir yang pulang. Semua mereka lakukan agar baksos dapat berjalan baik sehingga setiap pasien dapat menjalani pengobatan dengan tenang dan nyaman. Tak jarang waktu istirahat pun tetap mereka gunakan untuk bersumbangsih, salah satunya adalah Saud Eduard Simorangkir, yang ikut serta jaga malam menemani pasien-pasien yang beristirahat di rumah sakit usai pengobatan. Ia hanya mengenakan rompi relawan karena seragam abu putihnya yang kotor usai beraktivitas. Sejak kecil ia telah terbiasa terjun dalam pelayanan karena orang tuanya adalah seorang majelis gereja, sehingga saat ada kegiatan pelayanan ia selalu diajak serta. Dan kini, tanpa ragu ia pun ikut serta menjadi relawan Tzu Chi. Di sela-sela obrolan, ia menceritakan arti “plesetan” dari kata relawan yang ia buat, “Satu, “rela” dan “wan” itu dalam ucapan bahasa inggris adalah satu. Saat rela dua kata itu jadi satu, maka penderitaanmu juga adalah penderitaanku.” “Menjadi relawan adalah bentuk pelayanan juga, melihat orang yang sakit, dengan menyentuh tangannya saja, dengan kita mendekati saja, itu sudah satu rasa kekeluargaan, dan merasakan bahwa yang dialami dalam operasi ini, atas datangnya kita, tanpa memikirkan hal lain, tapi kita mau hadir, itu sudah menjadi dorongan bagi pasien, keluarga,” tutur pria kelahiran Medan ini. Master Cheng Yen berkata bahwa dokter dan perawat melindungi kehidupan dengan penuh cinta kasih, sedangkan para insan Tzu Chi harus menjaga batin setiap orang agar jiwa kebijaksanaan setiap orang bertumbuh. Walaupun mereka memiliki profesi yang berbeda-beda, namun mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu mengobati. Mereka tak dapat bekerja dengan baik jika kekurangan salah satu pihak saja, oleh karena itu mereka pun berusaha untuk bekerja sama dengan harmonis dan sepenuh hati, agar semakin banyak sakit yang dirasakan oleh banyak tubuh dan hati dapat segera sembuh dan membuat banyak orang yang sakit tersebut kembali tersenyum. | |||
Artikel Terkait
TIMA Global Forum 2023: Layanan Paliatif di Indonesia
22 Juni 2023Perawatan paliatif menjadi materi terakhir yang dibawakan dalam TIMA Global Forum 2023 ini. Ada 4 pembicara di sesi ini: Prof. DR. Liem An Liong, DR. dr. Maria Astheria (praktisi perawatan paliatif di Tzu Chi Hospital), MPALLC, Dr. Lin Shin Zong & Dr. Ho Tsung-Jung dan Dr. Liu Keng Chang.