Titik Balik Kehidupan

Jurnalis : Ivana, Fotografer : Ivana
 

foto
Supardi, Amah, dan ketiga anak mereka mengikuti Baksos Kesehatan ke-97 di RS dr. Suyoto, Bintaro untuk mengobati katarak yang diderita anak mereka sejak lahir.

Apa yang terjadi di atas meja operasi ini, akan menjadi titik balik dalam kehidupan Aep, Ade, dan Ahmad untuk selanjutnya.

 

Kamar operasi itu tidak terlalu besar, ada 2 ranjang masing-masing di sisi kanan dan kiri ruangan. Ibu Amah (38 tahun) memeluk Ade (8 tahun) yang merengek gelisah merasakan menit-menit operasi semakin dekat. Ade telah memakai jubah operasi dan terbaring di ranjang sebelah kanan. Tapi ia tak mau diam, sementara Amah terus membisikkan kata-kata dalam bahasa Sunda dalam usaha menenangkan hati putranya ini. Prosedur pembiusan dimulai, dalam belasan menit kemudian, Ade tertidur dengan tenang dan dr. Mustafa mulai melakukan operasi pada katarak di matanya.

Saat dokter sedang bekerja pada mata Ade, Amah telah berpindah ke ruangan sebelah. Di sana ia menggenggam tangan Ahmad (5 tahun), putra bungsunya yang belum lagi sadar dari bius pascaoperasi yang sama. Diam-diam ia mengusap air mata yang meleleh di matanya, tak tega melihat putra-putranya harus menghadapi rasa takut pada operasi. Namun Amah pun tak kuasa menghindar karena berharap baksos kesehatan ini dapat memberi kesembuhan dan penglihatan pada mereka.

foto   foto

Keterangan :

  • Dalam baksos kesehatan pascabanjir di Karawang yang dilakukan 16 Februari 2014 lalu, relawan Tzu Chi bertemu dengan keluarga Supardi dan merekomendasikan agar Saeful, Ade, dan Ahmad mengikuti baksos operasi katarak Tzu Chi (kiri).
  • Aep (Saeful) mendapat giliran pertama untuk dioperasi. Gangguan penglihatan menyebabkan Aep kurang bergaul dengan teman-temannya dan lebih banyak tinggal di rumah membantu tugas rumah tangga (kanan).

Hidup Ikhlas Sesuai Rezeki
Sudah tiga tahun ini Supardi (42 tahun) bekerja dengan menarik becak di Desa Kertasari, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Pendapatannya dalam sehari tidak menentu, apalagi dengan makin banyaknya warga masyarakat yang memiliki motor sendiri. Pelanggannya kebanyakan tinggal para ibu yang menuju ke pasar di Rengasdengklok untuk berdagang. Bila tidak sedang narik, Supardi sesekali juga menerima permintaan menambal ban di rumahnya, atau bahkan memijat. Soal menambal ban adalah keahlian Supardi yang sebenarnya, sebab sudah belasan tahun ia mengerjakan hal ini di bengkel tempat kerja sebelumnya. Sementara memijat hanya sekadar untuk cari tambahan.

Pekerjaan Supardi yang tidak tetap pemasukannya menjadi masalah dalam rumah tangganya bersama Amah dengan adanya 4 anak yang harus dibiayai. Karena itu Amah ikut bekerja sebagai pembantu toko dan rumah tangga untuk menambah pemasukan. Namun, kemiskinan bukan hal yang merisaukan Supardi dan Amah, sebab mereka sungguh ikhlas menerima rezeki yang datang dari hari ke hari. “Kalau narik saya tidak pernah minta bayaran harus berapa, terserah yang naik aja, nanti sudah sampai dikasi berapa, ya itu memang rezeki saya,” tutur Supardi tulus. Begitu pula kalau ada panggilan mijit, ia tidak memasang tarif dan menerima bayaran sukarela dari pelanggannya.

Hal yang membebani hati Supardi dan Amah justru tentang kesehatan anak-anak mereka. Pernikahan mereka membuahkan 4 anak: Saeful Ahyar (21 tahun), Andri Firmansyah (14 tahun), Ade Ramdani, dan Ahmad Fauzi. Sejak kecil, Saeful, Ade, dan Ahmad mengalami gangguan penglihatan. Sementara Andri, penglihatannya normal, namun sering mengalami gangguan tenggorokan. Kondisi ini mengakibatkan Aep (panggilan Saeful) dan Ade tidak bisa bersekolah. Sehari-hari si sulung, Aep, lebih banyak tinggal di rumah, mengurus adik-adiknya sementara ayah dan ibu pergi bekerja. Dengan penglihatan terbatas Aep dapat mengerjakan berbagai tugas rumah tangga.

foto   foto

Keterangan :

  • Sejak diperiksa oleh dokter untuk persiapan menjalani operasi, Ahmad tak mau lepas dari ibunya karena takut (kiri).
  • Amah menemani Ade memasuki ruang operasi. Ia membisikkan kata-kata untuk menenangkan Ade untuk menghadapi operasi katarak di matanya (kanan).

Keikhlasan Membawa Rezeki
Februari 2014, Desa Kertasari dilanda banjir cukup lama. Saat Tzu Chi mengadakan baksos kesehatan pascabanjir untuk warga, relawan bertemu dengan Supardi, Amah, dan anak-anak mereka yang juga menjadi korban banjir. Dari sana diketahui bahwa mata Aep, Ade, dan Ahmad mengalami katarak sejak lahir. Relawan kemudian merekomendasikan untuk mengikuti baksos katarak Tzu Chi pada tanggal 22 Maret 2014 di Jakarta.

Maka, di sinilah mereka pada hari ini. Relawan Karawang mengatur transportasi untuk keluarga ini dari Rengasdengklok ke RS Dr. Suyoto, Bintaro tempat pelaksanaan Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-97. Meski telah mendengar bahwa Tzu Chi akan membantu pengobatan anak-anaknya, Supardi tidak menduga bahwa penanganan akan langsung dilakukan pada hari itu juga. Kabar bahagia seperti ini bahkan tak berani diimpikannya. “Saya hanya berharap Aep bisa lihat, bisa keluar rumah seperti teman-temannya,” ujarnya. Aep sendiri telah tumbuh menjadi anak yang sangat pemalu dan tertutup, meski senyum terus terukir di wajahnya yang polos. Ia memancarkan kesahajaan dan ketulusan yang menyentuh orang-orang yang melihatnya.

Sementara itu, Ade dan Ahmad telah menjadi gelisah sejak mereka diperiksa kondisi kesehatannya praoperasi oleh dokter. Dalam pemahaman mereka yang terbatas tentang penyakit dan pengobatan, rasa takut terhadap operasi menyergap karena pengertian yang kabur, sekabur pandangan mereka terhadap dunia selama ini. Keduanya tak mau jauh dari Amah yang dianggap sebagai rasa aman bagi mereka. Tanpa persiapan batin, Supardi memantapkan hati menyetujui tindakan operasi untuk ketiga anaknya itu.

foto   foto

Keterangan :

  • Tim dokter bekerja dengan serius melakukan tiga operasi secara berurutan untuk Aep, Ade, dan Ahmad (kiri).
  • Dokter Mustafa rela menunda makan siang demi menyelesaikan operasi pengangkatan katarak di mata Ade. Ia dengan tulus berharap insan Tzu Chi dapat terus mendampingi ketiga anak ini hingga penglihatan mereka pulih (kanan).

Jalan Panjang Menuju Kesembuhan
Dokter Mustafa dan tim dokter dengan penuh konsentrasi menjalankan ketiga operasi mata ini secara berurutan. Pertama-tama mereka mengoperasi mata kanan Aep, kemudian kedua mata Ahmad, dan Ade mendapat giliran terakhir. Suasana ruang operasi jauh dari tegang, namun sungguh serius. Total ketiga operasi membutuhkan waktu sekitar 5 jam, dan tim dokter bahkan tidak berhenti saat jeda makan siang.

Usai menjalankan operasi, dr. Mustafa menerangkan bahwa Aep, Ade, dan Ahmad ketiganya menderita katarak congenital yaitu kelainan mata yang terbawa sejak lahir. Ini mempengaruhi perkembangan syaraf mata mereka, karena katarak yang menutup lensa mata menyebabkan retina tidak pernah terkena rangsang cahaya, yang selanjutnya menghambat perkembangan syaraf mata. Maka, Ade dan Ahmad yang dioperasi dalam umur yang lebih kecil punya harapan lebih besar dapat pulih penglihatannya dibanding Aep.

Pengalaman panjang sebagai dokter mata, serta keterlibatannya yang telah lama sebagai anggota Tzu Chi International Medical Association (TIMA), memperdalam kepedulian dr. Mustafa pada ketiga anak malang ini. “Saya berharap Tzu Chi terus mem-follow up ketiga anak ini dengan baik. Ini sangat perlu. Saya dengar orang tuanya adalah tukang becak, kita berharap anaknya bisa lebih baik dibanding bapaknya,” kata dr. Mustafa. Setelah dioperasi dalam baksos, Aep masih memerlukan pengobatan lanjutan dengan laser di rumah sakit. Begitu pula Ade dan Ahmad yang hasil operasinya lebih memuaskan dibanding Aep, masih membutuhkan perhatian agar syaraf mata mereka berkembang baik sehingga penglihatan mereka berfungsi sepenuhnya.

Bagaimanapun bagi Supardi dan Amah, rasa syukur mereka tak terucapkan. Menit-menit operasi memang berlangsung berat, apalagi tepat setelah pengaruh bius menghilang, Ade dan Ahmad cukup sulit ditenangkan dan terus mencoba melepas penutup mata sementara mereka. Pascaoperasi pasangan ini mulai merajut harapan akan masa depan yang lebih terang bagi anak-anak mereka. “Terima kasih,” ucap Amah yang mulai bisa tersenyum canggung pada relawan.

  
 

Artikel Terkait

Menanam Kebajikan di Usia Dini

Menanam Kebajikan di Usia Dini

12 Februari 2019
Pada kelas Budi Pekerti, pemahaman mengenai membangun moral yang lebih baik diterapkan secara mendalam agar anak-anak mempunyai bekal dalam menjalani kehidupannya di masa mendatang. Kelas Budi Pekerti pada 10 Februari 2019, yang diikuti oleh 23 siswa di Bandung juga mengajarkan hal tersebut.
Sebersit Harapan Melihat Indahnya Dunia

Sebersit Harapan Melihat Indahnya Dunia

24 Maret 2014 He Qi Pusat, He Qi Selatan dan Tzu Chi International Medical Association (TIMA) Indonesia bekerjasama dengan RS. Dr. Suyoto, Pusrehab Kemhan Bintaro, mengadakan bakti sosial bagi penderita katarak dan pterygium.
Upaya Putra Daerah Membangun Pendidikan

Upaya Putra Daerah Membangun Pendidikan

19 Februari 2019

Keinginan untuk meningkatkan pendidikan dengan membangun sebuah sekolah, bagi Pak Pui sudah terukir sejak lama hingga akhirnya ia berjodoh dengan Tzu Chi. “Saya sudah lama bergabung dengan Tzu Chi, tepatnya bertanggung jawab dalam pembangunan sudah 10 tahun. Nah selama ini saya hanya bisa membangun fisiknya, selanjutnya ingin membangun karakter juga melalui sekolah Tzu Chi Singkawang,” kata Pak Pui.

Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -