Tzu Chi, Jalan Bodhisatwa

Jurnalis : Juniwati Huang (He Qi Utara), Fotografer : Momo Candra Maswedji
 

fotoYabin, Program Manager DAAI TV Indonesia saat membawakan tema "Tzu Chi, Jalan Bodhisatwa" dalam acara bedah buku di Aula Jing Si, Pluit, Jakarta Utara.

 

”Shantideva adalah seorang pangeran di India. Saat Raja hendak mewariskan tahta kerajaannya, beliau tidak ingin menerima tahta kerajaan tersebut karena merasa bahwa ada sesuatu hal yang lebih penting untuk dicari dalam kehidupan ini,” cerita Yabin, Program Manager DAAI TV Indonesia mengenai Shantideva, inspirator buku The Way of the Bodhisattva yang menjadi topik bedah buku pada Kamis malam, 17 Desember 2009 tersebut. Malam itu, Yabin berbagi wawasan spiritual yang sangat berharga, sebagai landasan jalan Tzu Chi, yaitu jalan Bodhisatwa.

 

 

 

 

Langkah Awal Jalan Bodhisatwa
“Mereka yang ingin mengatasi penderitaan hidup mereka, dan menghalau kesedihan serta penderitaan makhluk hidup, mereka yang ingin mendapatkan kebahagiaan agung sebesar itu,seyogianya tidak mengabaikan Bodhichitta.

Sebagian kutipan yang mengawali bedah buku tersebut menekankan pentingnya Bodhichittadalam diri seseorang sebagai langkah awal untuk menapaki jalan Bodhisatwa. ”Bodhichitta terdiri dari kata Bodhi yang artinya pencerahan, citta artinya pikiran, jadi bermakna pikiran pencerahan, yaitu pikiran yang ingin membebaskan semua makhluk di dunia ini dari penderitaan,” jelas Yabin, menjawab rasa penasaran peserta terhadap istilah yang tidak berlaku umum tersebut. Bodhichitta memiliki dua aspek: bodhichitta dalam niat dengan beraspirasi dan bodhichitta secara aktif yaitu praktik pelaksanaan. ”Pada saat relawan berikrar untuk mengikuti jejak langkah Master Cheng Yen, sebenarnya insan Tzu Chi sudah menumbuhkan Bodhichitta dengan beraspirasi, dan praktik pelaksanaannya menjadi Bodhichitta yang aktif. Niat yang ada harus diwujudkan,” ungkap Yabin memberikan contoh.

Dengan menyadari bahwa kehidupan ini tidak pasti dan tidak kekal, seorang Bodhisatwa kemudian akan mengakui kesalahan yang pernah dilakukan ataupun kebencian yang dipendam dalam diri.

Komitmen Bodhisatwa
Untuk semua yang sakit di dunia,
Hingga setiap penyakit mereka tersembuhkan,
Semoga diriku sendiri
Menjadi dokter, perawat, dan obat bagi mereka...

Bait tersebut menggambarkan mulianya komitmen seorang Bodhisatwa untuk membebaskan penderitaan makhluk di dunia. Bagi seorang Bodhisatwa, diri sendiri bukan lagi menjadi yang utama. ”Bagi mereka yang ingin menyeberangi air, semoga aku menjadi perahu, rakit, dan jembatan.” Dari kutipan bait tersebut, kita dapat memahami bahwa hal terpenting bagi seorang Bodhisatwa adalah untuk menolong orang lain terlepas dari cara apapun yang perlu ditempuhnya. Tentunya bukan sekadar kata-kata manis belaka, namun berasal dari ketulusan hati yang terdalam dan atas dasar welas asih yang luar biasa.  

Kesadaran, Kewaspadaan, dan Kesabaran

”Yang demikian telah memegang teguh Bodhichitta ini. Seyogianya tidak berpaling darinya, melainkan terus berusaha menjaga kedisiplinannya.”

”Ikrar yang telah diniatkan perlu dipupuk, dijaga, dan dikuatkan,” tegas Yabin mengungkap makna di balik bait tersebut. Dengan menyadari bahwa kehidupan sebagai manusia ini sulit dan langka untuk didapatkan, kita perlu menghargai dan menjaga tubuh ini dengan baik. ”Banyak orang yang kita lihat karena kesalahan tertentu, menyesali diri dan larut dalam penyesalannya, sehingga lalai menjaga tubuhnya,” jelas Yabin mengingatkan agar kita tidak lupa menyadari dan menghargai berkah yang telah kita peroleh.

“Ketika melakukan perbuatan bajik, tiada cela, Untuk menolong diri sendiri, atau demi makhluk lain. Mari ingatlah selalu bahwa kita tak berhakikat diri, bagaikan bayangan.”

”Seorang Bodhisatwa tidak terlena dengan kelima panca inderanya, merasa bahwa diri tidak memiliki hakikat diri sejati, maka pada saat dirinya sudah menolong orang lain, Bodhisatwa tidak akan merasa diri ’luar biasa’, hanya melihat penderitaan orang lain seperti juga penderitaan dirinya,” ujar Yabin mencoba menjelaskan makna bait yang mendalam tersebut.

“Pekerjaan bajik yang dikumpulkan dalam seribu masa waktu, seperti tindakan kemurahan hati, atau persembahan kepada para Buddha, sekejap kemarahan saja akan menghancurkannya.”

”Pahala kebajikan menjadi hilang atau kurang sempurna karena tiga hal: pertama, apabila kita menyesali kebajikan yang pernah kita perbuat. Misalnya, dahulu kita berbuat baik kepada seseorang, namun saat ini orang tersebut menjahati kita, kita mengingat perbuatan baik kita terhadapnya dan menyesali, ’Tahu gitu nggak saya bantu’, maka hal tersebut akan mengurangi pahala kebajikan,” kata Yabin.

”Kedua, apabila kita menyombongkan kebajikan yang sudah kita lakukan. Oleh karena itu, ada perumpamaan kalau tangan kiri memberi, tangan kanan tidak perlu tahu. Sedangkan yang ketiga, jika berkah kebajikan hanya digunakan untuk hal-hal duniawi, misalnya berbuat baik dengan harapan ingin panjang umur, sehat, kaya dan sebagainya,” tutur Yabin dengan runtun mencoba meluruskan pemahaman bait tersebut. Bait tersebut mengingatkan pentingnya belajar memupuk kesabaran dalam diri di jalan Bodhisatwa.

“Penderitaan juga memiliki kegunaannya, melalui kesedihan, kesombongan dibuang. Dan rasa kasihan kepada mereka yang mengembara di samsara; Kejahatan terhindarkan, kebajikan tampak menggembirakan.”

Bagi seorang Bodhisatwa, penderitaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, namun pasti akan dialami. ”Yang berbeda adalah cara menghadapi penderitaannya, kalau dulu menderita mungkin merasa stres, takut, marah, depresi, kalau sekarang akan melihatnya sebagai bagian latihan bagi dirinya untuk teguh di jalan Bodhisatwa,” ungkap Yabin seraya menyimpulkan penderitaan dapat dipandang sebagai berkah.

foto  foto

Ket : - ”Bodhichitta terdiri dari kata Bodhi yang artinya pencerahan, citta artinya pikiran, jadi bermakna pikiran                pencerahan, yaitu pikiran yang ingin membebaskan semua makhluk di dunia ini dari penderitaan,”                jelas Yabin.(kiri)
             - Di penghujung acara, Posan, relawan Tzu Chi menyimpulkan, ”Di Tzu Chi, kita tidak hanya mendapatkan                jalan, tapi kita juga melakukan dan merasakan. Dengan mengikuti aktivitas Tzu Chi, kita pun dapat                          melatih diri untuk menimbulkan Bodhichitta dalam diri kita.” (kanan)

Ketekunan dan Meditasi
”Ketika mendaki gunung, semakin ke atas, semakin tidak mudah. Semakin ke atas, angin semakin kencang. Begitu juga ketika berikrar menjadi Bodhisatwa banyak rintangan yang akan dihadapi,” ungkap shixiong memberikan perumpamaan beratnya perjalanan seorang Bodhisatwa. Oleh karenanya seorang Bodhisatwa perlu memiliki ketekunan untuk mencapai tujuannya sebagaimana tergambarkan dalam bait tegas berikut, “Aku akan menjadi pemenang atas segalanya; Tidak ada yang kuat yang akan menjatuhkan diriku! Keturunan pemberani dari Penakluk, seyogianya terus berdiam dalam kebanggaan diri ini.”

Setelah melangkah lebih lanjut dalam jalan Bodhisatwa, seseorang akan terus menjaga pikirannya dengan murni dari waktu ke waktu, dengan pikiran yang terkonsentrasi untuk menapaki jalan tersebut. Demikianlah yang dimaksudkan dengan meditasi, yang bukan hanya sekedar duduk diam dengan mata tertutup.

”Kehidupan Master Cheng Yen dalam kesehariannya diawali dengan bangun jam 3 pagi, berdoa, lalu semua aktivitasnya berupaya untuk menolong orang lain, sampai dengan Master Cheng Yen tidur. Semua yang dilakukan Master Cheng Yen dikonsentrasikan untuk menolong orang lain,” cerita Yabin menyimpulkan contoh seorang Bodhisatwa yang agung dan nyata.

Dalam bedah buku malam itu, Yabin sempat mengajak para peserta untuk melakukan praktik meditasi sejenak untuk melatih menjaga pikiran dalam kesadaran. Dengan pikiran yang tenang, perenungan, konsentrasi dan kesadaran, maka kebijaksanaan akan muncul.

Kebijaksanaan dan Pelimpahan Jasa
Terdapat dua jenis kebenaran, yaitu relatif dan hakiki. Kebenaran relatif terkait dengan intelektualitas seseorang. Sedangkan kebenaran hakiki membutuhkan kebijaksanaan. Saat kebijaksanaan meningkat, seseorang tidak lagi terikat dengan kelima panca inderanya. Hal ini menjelaskan seorang Bodhisatwa yang walaupun tubuhnya sakit, namun tidak tampak sakit karena sudah melepaskan kemelekatan panca inderanya.

”Seorang Bodhisatwa sejati memiliki kebijaksanaan diri untuk melepaskan ego dan tidak berpikir untuk kebahagiaan dirinya saja, serta welas asih yang sangat besar sehingga sangat ingin membantu orang lain,” jelas Yabing. Bodhisatwa sejati pun tidak akan memikirkan mengenai berkah yang akan diterimanya, namun penting untuk merealisasikan kekuatan dirinya dengan harapan bahwa semakin kuat dirinya, semakin mampu dirinya untuk menolong orang lain.

Kebajikan yang telah dilakukan seorang Bodhisatwa pun akan dilimpahkannya demi kebahagiaan semua mahluk. ”Setelah melakukan baksos ataupun kebajikan lainnya, kita dapat limpahkan jasa kepada semua makhluk, berkahnya tanpa kita sadari akan berlipat ganda dan memberikan kekuatan yang lebih besar untuk menolong orang lain,” saran Yabin.

“Semoga semua makhluk di mana pun yang menderita
Tersiksa dalam pikiran dan tubuh mereka
Melalui kebajikan pahala kebajikanku,
Memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan dalam ukuran yang tidak   terbatas.”

“Dan sepanjang adanya ruang,
 Sepanjang adanya makhluk hidup,
 Semoga aku terus berdiam demikian pula
 Untuk melenyapkan penderitaan di alam semesta.”

Demikian mulia dan berharga tapak jalan Bodhisatwa. Namun ada juga sudut pandang duniawi yang beranggapan bahwa jalan Bodhisatwa ’sangat kasihan’ karena tidak pernah memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Pandangan dan kebijaksanaan seseorang akan menentukan pilihan jalannya. Saat merenungkan keberuntungan kita yang telah mendapatkan ajaran yang baik dan benar, dan menyadari ketidakkekalan hidup, kita hendaknya menghargai dan menapaki jalan yang sudah terbuka bagi kita. ”Dulu saya sudah ikrarkan, tapi saya tidak jalankan; dulu saya sudah jalankan, tapi tidak saya lanjutkan, hal itu akan terlambat nantinya,” urai Yabin. Kesadaran bahwa Bodhichitta sangatlah berharga merupakan titik awal bagi jalan Bodhisatwa. Tanpa Bodhichitta, kita tidak akan merasakan kebahagiaan hakiki.

Di penghujung acara, Posan, relawan Tzu Chi yang bertindak sebagai moderator acara bedah buku ini menyimpulkan, ”Di Tzu Chi, kita tidak hanya mendapatkan jalan, tapi kita juga melakukan dan merasakan. Dengan mengikuti aktivitas Tzu Chi, kita pun dapat melatih diri untuk menimbulkan Bodhichitta dalam diri kita.” Sebuah sarana refleksi sekaligus motivasi bagi diri kita bahwa dunia Tzu Chi yang telah kita kenal adalah lahan pembinaan diri di jalan Bodhisatwa.   

 

 

 
 

Artikel Terkait

Rumah untuk Tzu Chi Indonesia

Rumah untuk Tzu Chi Indonesia

10 Mei 2009 Pencanangan Pembangunan Aula Jing Si Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dimulai pada tanggal 10 Mei 2009. Aula Jing Si memiliki makna khusus bagi Tzu Chi sebab akan menjadi pusat kegiatan yang merekam jejak perjalanan misi kemanusiaan Tzu Chi. Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi berujar, “Saya berharap penampilan luar maupun berbagai isi bagian dalam Aula Jing Si secara keseluruhan, dapat menjadi ’Pembabaran Dharma tanpa kata-kata’.
Ketegaran Sumiati Merawat Kedua Putranya

Ketegaran Sumiati Merawat Kedua Putranya

19 April 2023

Relawan Tzu Chi mengunjungi dan memberi perhatian kepada Sumiati yang kedua putranya mengalami gagal tumbuh kembang dan TBC paru. Relawan juga membawakan paket sembako untuk Sumiati dan keluarga.

Tuang Celengan Bambu di Palm Spring Golf & Country Club

Tuang Celengan Bambu di Palm Spring Golf & Country Club

13 Juni 2023

Bertempat di Palm Spring Golf & Country Club, Tzu Chi Batam menggelar Penuangan Celengan Bambu pada 6 Juni 2023. Kegiatan ini dihadiri lebih dari 50 peserta yang sebelumnya telah mengikuti Sosialisasi Misi Amal Tzu Chi (SMAT).

Saat membantu orang lain, yang paling banyak memperoleh keuntungan abadi adalah diri kita sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -