Tzu Ching Camp 2015: Menjadi Penyaring di Zaman Serba Kekinian
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta WulandariDharmawati, relawan Tzu Chi He Qi (komunitas) Timur memeluk Bagya, anaknya dalam acara Tzu Ching Camp 2015. Dharmawati yang bertugas sebagai mentor di kelompok 20 merasa terharu dan tidak menyangka bahwa Bagya akan mengungkapkan perasaan sayang pada acara tersebut.
Banyak orang tua merasa khawatir terhadap perkembangan anak mereka. Terutama ketika anak beranjak dewasa dan dalam proses mencari jati diri. Kekhawatiran yang timbul akhirnya memaksa para orang tua menerapkan cara mendidik yang tegas, kadang penuh batasan dan kekerasan demi nilai-nilai positif yang nantinya dapat diambil oleh sang anak. Seperti Liwan, salah seorang relawan Tzu Chi yang mengaku menerapkan pola didik tegas pada ketiga anak lelakinya. “Dulu saya menerapkan pola didikan yang keras kepada mereka,” katanya. Namun ia mengakui bahwa semakin keras pola didik yang ia terapkan, semakin keras juga penolakan dari sang anak. “Padahal ujung-ujungnya itu karena kami sangat menyayangi mereka,” tambah relawan Tzu Chi He Qi (komunitas) Utara ini.
Begitu menjadi relawan Tzu Chi, pola didik yang ia terapkan berbeda. Ia lebih banyak menerapkan pola didik dengan memberikan contoh. “Saya punya prinsip kalau diri saya sendiri harus berbuat baik karena anak pasti lihat, anak pasti mencontoh orang tua mereka,” jelas Liwan. Contoh baik tersebut akhirnya membuat ketiga anaknya juga berjalan di dunia Tzu Chi dengan ikut dalam Tzu Ching (muda mudi Tzu Chi) dan Tzu Shao (kelas budi pekerti untuk siswa SMA). “Melalui Tzu Ching, sifat anak saya sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih baik,” tutur Liwan. Ia merasa bahwa Tzu Ching bisa dijadikan filter dari pergaulan anak muda yang sekarang sudah sangat modern, konsumtif, dan lain sebagainya. Liwan juga berharap dengan mengetahui bagaimana budi pekerti, peduli sesama, lingkungan, berbakti pada orang tua, anak muda menjadi punya batasan dan tahu tata krama. “Tzu Ching membuat orang tua menjadi merasa tenang,” ucapnya.
Liwan, relawan Tzu Chi He Qi (komunitas) Utara memberikan semangat kepada salah satu peserta Tzu Ching Camp 2015 dalam sesi bakti orang tua. Liwan menganggap Tzu Ching bisa menjadi filter dalam keseharian para muda mudi di zaman yang serba modern.
Para peserta Tzu Ching Camp 2015 diajak menulis surat ungkapan cinta pada orang tua mereka dalam sesi bakti orang tua. Dalam sesi ini diharapkan para muda mudi bisa berbakti pada orang tua dan tidak lagi malu untuk mengungkapkan rasa sayang pada orang tua.
Ketenangan yang dirasakan Liwan ternyata juga dirasakan oleh Dharmawati, relawan Tzu Chi He Qi Timur. “Saya selalu menganggap anak saya sebagai anak kecil. Saya selalu khawatir dengan apa yang dia lakukan. Saya sering berpikir, memang dia bisa melakukan hal ini dan hal itu?” ucapnya. Sikap Bagya yang dulu sangat pendiam juga menjadi salah satu sumber kekhawatiran Dharmawati. Ia bahkan pernah memaksa anaknya untuk ikut serta dalam kegiatan Tzu Chi, namun hanya mendapat jawaban yang selalu sama. “Iya, nanti.”
Dharmawati menuturkan jawaban dari sang anak akhirnya terealisasi pada satu waktu saat anaknya bersedia menjadi relawan pelayanan di Tzu Ching Camp yang waktu itu masih diselenggarakan di Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng. “Sepulang dari sana, saya lihat dia senang, raut wajahnya beda,” kata Dharma. Ia kemudian selalu memberikan dorongan positif bagi sang anak untuk ikut Tzu Ching. Dharmawati tahu bahwa Tzu Chi nanti akan memberikan pengaruh positif bagi orang lain maka dari itu dia selalu menyebarkan hal baik tentang Tzu Chi kepada semua orang termasuk sang anak.
Para peserta memberikan ungkapan terima kasih kepada panitia yang telah menyiapkan seluruh acara dengan sehingga semua dapat berjalan dengan lancar.
Ketua Tzu Ching, Hasan Basri memberikan suvenir bagi peserta Tzu Ching Camp 2015.
Melalui Tzu Ching, Dharmawati bermimpi satu saat nanti anaknya bisa menjadi relawan layaknya relawan senior Tzu Ching yang ia nilai mempunyai kepribadian positif. “Mereka mandiri, enerjik, memiliki wawasan luas, dan menjadi pemuda yang peduli sesama,”terang Dharma. Namun perubahan yang dialami Bagya setelah ikut dalam Tzu Ching pun membuatnya bangga. “Kepercayaan dirinya meningkat sekali, ia sudah tidak malu untuk bergaul dan mengungkapkan perasaannya, ia bisa bekerja sama dengan teman-temannya. Ini membuat saya percaya bahwa Tzu Ching membawa nilai positif bagi anak saya,” ucap Dharmawati.
Sama dengan Liwan dan Dharmawati yang tengah bahagia melihat bagaimana perkembangan positif dalam diri anak-anak mereka setelah ikut dalam barisan Tzu Ching. Wie Siong, relawan Tzu Chi He Qi Timur juga merasakan perasaan senang karena anaknya akhirnya bisa bergabung dalam Tzu Ching Camp 2015. “Untuk bisa ikut Tzu Ching, anak saya menunggu waktu sekitar 5 tahun,” katanya. Usia yang tanggung menjadi sebab Nicholie harus menunggu untuk masuk menjadi Tzu Ching. Wie Siong menuturkan bahwa lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu berbuat kebajikan melalui Tzu Ching. Maka dari itu, ia kerap mengajak anak pertamanya itu untuk mengikutinya melakukan kegiatan Tzu Chi.
Wie Siong juga menganggap Tzu Ching bisa menjadi penyaring pergaulan anak muda di zaman yang serba modern, sama seperti penuturan Liwan. “Pertama dia bisa menambah teman, kedua wawasan, ketiga pasti nggak jauh budi pekerti. Dan Tzu Ching ini menjadi filter di tiga hal ini,” katanya. Di samping bisa menjadi filter, baik Liwan, Dharmawati, dan Wie Siong yang menjadi mentor dalam Tzu Ching Camp 2015 ini juga menggantungkan mimpi bahwa nantinya barisan muda mudi Tzu Chi ini bisa menjadi generasi penerus Tzu Chi yang melanjutkan tongkat estafet untuk mewujudkan visi misi Tzu Chi.