Tzu Ching Camp VII: Pengalaman Menjadi Mentor

Jurnalis : Rosaline Laksana (He Qi Selatan), Fotografer : Rudy Darwin (Tzu Ching)
 
 

fotoTzu Ching membentuk formasi daun bodhi setelah menempelkan ikrar tentang vegetarian di sebuah bola ikrar dan mereka bersama-sama berseru, “We Are Vegetarians & Earth Saviors”.

Ini adalah pertama kalinya saya menjadi mentor dalam Tzu Ching Camp. Kesediaan saya menjadi mentor karena saya mau mendukung apapun kegiatan yang dilakukan Juliana Santy, relawan yang saya kenal sejak pertama kalinya dia bergabung di Tzu Chi. Diawali searching website, ikut kegiatan komunitas yang rata-rata usia relawannya seusia papa-mamanya, maka atas inisiatif seorang Shixiong, Juliana didaftarkan ikut Tzu Ching Camp ke-3, karena memang di sanalah dunianya.

 

Setelah mendapat briefing mentor, saya pun berkesimpulan tugas mentor Tzu Ching tidaklah beda dengan mentor pada training relawan Abu Putih dan Biru Putih lainnya, hanya saja saya akan mendapat panggilan “Shigu”. Namun apa yang terjadi dalam 3 hari camp itu? Saya mendapat 8 anak secara instan. Mereka memanggil saya mami, “emak” dengan logat betawi yang kental. Terkadang lucu sekali kedengarannya. Mulailah saya menjalankan peran sebagai seorang ibu, memperhatikan kebutuhan mereka, mendorong mereka agar terlibat aktif dalam camp ini. Dan apa yang terjadi pada hari ke-3? Mereka memberi “surprise” dengan hadiah kaos Da Ai Tech yang dibelinya di Jing Si Books & Cafe, PIK. Sempat-sempatnya mereka merencanakan ini. Sayapun tidak mau kalah, membuat kejutan balik untuk mereka. Sewaktu makan siang, saya bagikan satu per satu sendok makan Jing Si di mangkok makan mereka. Dengan pesan agar kita bisa saling mengingat.  Bukan “surprise” ini yang membuat saya terharu, tetapi ikatan jodoh yang mereka jaga. Seusai dari Camp, mereka masih sering SMS untuk menanyakan kabar atau sekedar bilang “Hi..Mommy”. Mungkinkah ini, mereka ingat kata-kata senior Tzu Ching,  “Sekali Tzu Ching, selamanya Tzu Ching; Sekali Mama Tzu Ching selamanya mama Tzu Ching”.

Tiga hari mengikuti Tzu Ching Camp, saya katakan Camp ini “LUAR BIASA”. Panitia menyiapkan acara dan materi secara apik dan mengemasnya dengan cantik. Mulai dari tema, topik, slogan dan gaya bicara pembicara disesuaikan dengan jiwa anak muda. Rangkaian acara mulai hari pertama sampai hari terakhir, terasa sekali bukan dibuat asal jadi melainkan hasil kerja keras dan komitmen team agar acara ini sukses.

Berkumpul dengan 200an Tzu Ching, saya tidak merasa sebagai mentor tetapi satu dari mereka. Mengambil tema “Bergandengan Tangan Merangkul Dunia dengan Welas Asih”, panitia mengajak peserta untuk menjadi vegetarian dan melakukan pelestarian lingkungan. Dikeluarkanlah istilah WAVES – We Are Vegetarians dan Earth Saviors. Istilah yang mereka ciptakan sendiri, namun kegiatan ini mereka adaptasi dari rekan Tzu Ching dari negera tetangga seperti Taiwan, Malaysia, dan Singapura.

foto   foto

Keterangan :

  • Di sebuah sesi break Tzu Ching memberikan saya sebuah “surprise”, namun bukan “surprise” ini yang membuat saya terharu, tetapi ikatan jodoh yang mereka jaga (kiri).
  • Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia memberikan pesan cinta kasih kepada Tzu Ching (kanan).

“One set complete menu” mereka berikan ke peserta. Menu berupa materi Tzu Chi yang dikelompokan dalam 4 topik – “Tong Xin” (Satu Hati), “Tong Gen” (Satu Akar), “Tong Dao” (Satu Jalan), dan “Tong Yuan” (Satu Tekad). Tidak ada materi yang di korupsi, sampai-sampai saya pun kaget, karena beberapa materi belum pernah saya dapatkan dalam training-training yang saya ikuti seperti cara duduk, cara tidur, cara melipat selimut. Mereka tidak hanya memperlihatkan slide tetapi mempraktikkan dan mengajak peserta untuk melakukannya. Benar-benar kerja yang serius dan penuh kesungguhan hati.   

Panitia memberi pelayanan terbaik ke peserta. Kemasan acara yang dipersiapkan memang khusus untuk anak muda. Materi yang tidak monoton, banyak video dan gambar-gambar yang menarik. Pembicara dengan gaya bicara “ABG” sehingga menyatu dengan pesertanya. Permainan mendidik yang bikin heboh peserta, dan diakhiri dengan foto kelompok. Ada satu momen dimana peserta berdiri dan membentuk rangkaian daun bodhi. Momen ini adalah yang tercantik menurut saya.  

Di balik kesuksesan acara, tentu ada aktor intelektualnya. Siapa mereka ? Tidak lain adalah para senior Tzu Ching yang saat ini mereka membaktikan waktu dan pikiran mereka untuk Tzu Chi. Tim muda ini, sudah menunjukkan jati mereka sebagai “leader”. Memiliki potensi, kemampuan dan di atas semuanya itu, mereka memahami Tzu Chi, baik visi maupun misinya.

Melihat hasil kerja mereka, tidaklah heran bila Camp ini mendapat perhatian besar dari Ketua dan Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Su Mei Shijie dan Aguan Shixiong. Diakhir Camp, saya melihat senyum Su Mei Shijie yang selalu mengembang dibibirnya, wajahnya sangat ceria. Berbeda sekali, sewaktu menjelang pembukaan Jing Si Tang, 7 Oktober 2012 lalu. Saat itu, berpapasan dengan Su Mei Shijie, wajahnya begitu serius, terlihat sekali beban pikirannya. Membayangkan senyum Su Mei Shijie dan berharap kita bisa melihat senyum itu sepanjang hari. Mungkin ada baiknya kita belajar dari adik-adik Tzu Ching kita, bagaimana mereka mampu membuat senyum dan wajah ceria itu.

  
 

Artikel Terkait

Menyayangi Bumi dengan Cara yang Fun

Menyayangi Bumi dengan Cara yang Fun

25 April 2017
Hari Bumi jatuh pada tanggal 22 April. Namun di Sekolah Tzu Chi Indonesia, Hari Bumi telah diperingati sejak awal bulan ini. Berbagai kegiatan menyenangkan digelar. Semua itu menambah kecintaan dan kepedulian siswa kepada lingkungan.
Menghargai Berkah Melalui Pelatihan Diri

Menghargai Berkah Melalui Pelatihan Diri

08 Mei 2018 Memulai bulan Mei, Tzu Ching Medan mengadakan acara pelatihan dan pelantikan bagi anggota baru. Peserta yang ikut dalam pelatihan dan pelantikan Tzu Ching terdiri dari 23 orang di antaranya 8 orang yang akan dilantik menjadi anggota Tzu Ching.
Ladang Berkah Menciptakan Rasa Syukur

Ladang Berkah Menciptakan Rasa Syukur

25 Maret 2022

Bertahun-tahun menyaksikan sendiri perubahan yang sedikit demi sedikit tercipta di Kamal Muara, bukanlah satu hal yang mudah, tapi juga bukan yang melelahkan untuk Teksan Luis. Ia mengaku lebih banyak menerima pelajaran berharga. Seperti itu pula rasa syukurnya.

Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -