Waisak 2016: Mengingat Jasa Orang Tua
Jurnalis : Lo Wahyuni (He Qi Utara), Fotografer : Lo Wahyuni, Yusniati (He Qi Utara)Dalam perayaan Tiga Hari Besar Tzu Chi ini ada tiga makna yang terkandung. Hari Waisak kita membalas budi luhur Buddha, Hari Ibu Internasional kita membalas budi luhur orang tua, dan Hari Tzu Chi kita membalas budi luhur semua makhluk.
Minggu, 8 Mei 2016, bertempat di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara berlangsung peringatan Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia. Sejak pukul 17.00 WIB, ribuan orang yang terdiri dari para relawan, staf badan misi Tzu Chi, dan masyarakat umum berbaris rapi membentuk angka 50, sebagai penanda usia Tzu Chi yang sudah mencapai setengah abad. Dalam rangka lima dasawarsa Tzu Chi, sehari sebelumnya (7 Mei 2016) juga telah dibuka Pameran Foto 50 Tahun Napak Tilas Tzu Chi oleh Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei.
Kisah Inspirasi
Diantara para peserta barisan Waisak, tampak seorang murid Kelas Budi Pekerti Tzu Chi. Dia adalah Violin Hubayana (16) yang biasa dipanggil Mei Mei. “Saya sudah tiga kali ikut acara ini, dan langsung teringat akan peristiwa kelahiran. Hari ini diperingati juga sebagai Hari Ibu. Saya sangat berterima kasih pada Mama yang telah mempertaruhkan jiwa raganya untuk melahirkan dan bekerja keras membesarkan kami,” kata bungsu dari tiga bersaudara ini. Mama Violin adalah Nia, seorang relawan Komite Tzu Chi. “Mei Mei anak yang mandiri dan tidak manja, meskipun dia putri bungsu. Dia yang paling rajin bantu beresin kerjaan rumah,” kata Nia, sembari memeluk sang putri tercinta. Mei Mei mengecup pipi sang bunda dengan mengucapkan, “I love you Mom.” Mei Mei mengaku terkesan dengan pesan Master Cheng Yen bahwa di dunia ini ada dua hal yang tidak boleh ditunda, berbakti kepada kedua orang tua dan berbuat kebajikan. “Saya berusaha untuk menjalankan keduanya,” pungkas remaja yang bercita-cita menjadi seorang psikolog ini.
Violin (Mei Mei) selalu teringat pesan Master Cheng Yen untuk menghormati kedua orang tua dan berbuat kebajikan.
Fendry (berkacamata) sangat mengagumi Tzu Chi dan perjuangan ibu dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Peserta lainnya, Fendri (24), sudah empat kali ikut serta dalam barisan Waisak Tzu Chi. Sebagai seorang donatur dan simpatisan Tzu Chi, karyawan swasta ini mendapatkan pencerahan setiap kali berpartisipasi. “Tahun lalu aku mendapatkan pencerahan tentang disiplin diri sewaktu melihat kerapian dari ribuan orang yang berbaris,” katanya. Di tahun 2016, berbagai bencana terjadi di Indonesia, salah satunya di Bangka yang menjadi kota kelahirannya. “Dari prosesi Waisak ini, aku kembali diingatkan bahwa kehidupan di dunia ini tidak kekal dan kita harus lebih banyak berbuat baik,” kata pemuda berkaca mata ini.
Terlahir sebagai anak sulung dari keluarga yang sederhana, Fendri kini menjadi tulang punggung keluarga. Orang tuanya sudah berusia lanjut. “Sekarang aku yang bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Tetapi ini tidak seberapa dibandingkan dengan perjuangan kedua orang tua dalam membesarkan kami dulu. Mama setiap hari bekerja keras membuat kue-kue untuk dititip jual ke pasar, dan Papa harus bekerja dari pagi sampai malam sebagai buruh pabrik,” ungkapnya.
Menurut Fendri, orang tua adalah sosok yang harus dihormati dan hargai. “Kasih sayang orang tua sepanjang masa dan kita tidak akan pernah bisa membayar budi luhur mereka,” pungkasnya. Perayaan Tiga Hari Besar Tzu Chi ini (Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia) ini menjadi momentum untuk kembali meyakinkan bahwa ajaran Buddha hendaknya bisa menjadi bagian dari kehidupan, dan kita harus dapat mempraktikkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari dan berbakti kepada orang tua.
Artikel Terkait
Menyucikan Batin Dalam Perayaan Waisak
13 Mei 2016Waisak 2016 : Menjadi Bodhisatwa Dunia
23 Mei 2016Pada tanggal 07 Mei 2016, Tzu Chi Kantor Penghubung Makassar mengadakan perayaan Waisak 2016. Kegiatan ini memberikan pembelajaran bahwa setiap manusia bisa menjadi Bodhisatwa di dunia.