Waisak 2555: Keyakinan dan Ketulusan

Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Anand Yahya, Dimin, Feranika Husodo, Oktavianus (Rel. Dok. Tzu Chi)
 
 

fotoPerayaan yang selalu diadakan setiap tahun oleh insan Tzu Chi di berbagai negara ini memiliki makna memperingati Waisak untuk membalas budi luhur Buddha, memperingati Hari Tzu Chi Sedunia untuk membalas budi luhur semua makhluk, dan memperingati Hari Ibu Internasional untuk membalas budi luhur orang tua.

Di pagi hari yang cerah, nyanyian dan tepuk tangan relawan di depan tangga Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta Utara penuh dengan semangat menyambut kehadiran para tamu yang hadir. Minggu, 8 Mei 2011 menjadi salah satu hari spesial dan bersejarah bagi Tzu Chi Indonesia karena mengadakan perayaan 3 hari besar sekaligus: Hari Waisak, Hari Tzu Chi, dan Hari Ibu Internasional di “rumah” insan Tzu Chi Indonesia yang hampir selesai pembangunannya.

Perayaan besar yang selalu diadakan setiap tahun oleh insan Tzu Chi di berbagai negara ini memiliki makna memperingati Hari Waisak untuk membalas budi luhur Buddha, memperingati Hari Tzu Chi Sedunia untuk membalas budi luhur semua makhluk, dan memperingati Hari Ibu Internasional untuk membalas budi luhur orang tua.

Lantai 4 Aula Jing Si yang menjadi tempat dilakukannya prosesi upacara pemandian rupang Buddha ini dipadari sekitar kurang lebih 4.000 orang. Biarpun ramai, namun acara ini tetap berlangsung dengan khidmat, tertib, dan indah, diiringi dengan panduan dari pembawa acara yang mengucapkan aba-aba dengan 3 kalimat, yaitu Li fo zu, Jie hua xiang, zhu fu ji xiang.  Kalimat tersebut memiliki makna, membersihkan kekeruhan batin dan kembali pada kemurnian hati bagai anak kecil. Saat mengambil bunga, menerima harumnya keluhuran ajaran Buddha serta membangkitkan keyakinan dan ketulusan dan kalimat terakhir bermakna dengan hati yang murni terjun ke masyarakat untuk berdana dan berbuat kebajikan.

Salah seorang pengunjung yang mengikuti upacara ini, Tatiana Huang, merasa perayaan Waisak di Tzu Chi agak berbeda, namun karena juga memperingati Hari Ibu, ia pun menjadi sedih saat teringat jasa-jasa ibunya yang sempat sakit dan melakukan operasi. “Karena selama ini kadang suka agak keras sama ibu,” ungkapnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Para pengunjung yang datang berbaris rapi menuju Aula Jing Si dan disambut dengan tepuk tangan dan nyanyian dari para relawan. (kiri)
  • Pameran poster ini bertujuan untuk mengenalkan sejarah awal Tzu Chi dan perjalanan Tzu Chi di indonesia hingga saat ini. (kanan)

Pameran Budaya Humanis dan Kunjungan ke Tzu Chi School
Pada perayaan ini juga ditampilkan salah satu pameran budaya humanis Tzu Chi, yaitu berupa pameran poster yang terletak di lantai dua Aula Jing Si. Pameran yang berisi 132 poster ini bertujuan untuk mengenalkan sejarah perjalanan awal mula Tzu Chi berdiri di kota kecil di Taiwan (Hualien) oleh seorang Biksuni bernama Master Cheng Yen hingga akhirnya berkembang luas dan menapakkan langkahnya hingga ke Indonesia. Sebuah rangkaian sejarah Tzu Chi di Indonesia yang bermula sejak tahun 1993 ini terangkum indah dalam poster-poster yang ditampilkan, mulai dari perjalanan awal Tzu Chi di Indonesia hingga memantapkan langkahnya dengan menjalankan misi-misinya: amal, kesehatan, pendidikan, budaya humanis hingga pelestarian lingkungan.

foto  foto

Keterangan :

  • Para pengunjung yang hadir untuk mengikuti perayaan Waisak, Hari Tzu Chi, dan Hari Ibu Internasional ini juga dapat menyaksikan 132 poster yang menggambarkan kisah perjalanan Tzu Chi di Taiwan dan Indonesia. (kiri)
  • Selesai mengikuti prosesi pemandian rupang Buddha dan melihat pameran poster, para tamu yang datang pun dapat mengunjungi Tzu Chi School di area yang sama. (kanan)

Para pengunjung yang hadir pun tampak antusias dan dengan seksama memerhatikan rekaman sejarah yang tertuang dalam poster-poster tersebut. “Kita jadi tahu sejarah Tzu Chi dari awal. Banyak (manfaat) yang bisa kita ambil dan menjadi tahu jika Tzu Chi itu dibangun dengan tidak mudah pada awalnya,” kata Lia, salah seorang pengunjung yang datang bersama keluarga besarnya. Begitu pula dengan seorang pengunjung yang bernama Willy. Walaupun tidak dapat mengikuti prosesi upacara pemandian rupang Buddha karena terlambat datang, namun ia tetap hadir datang untuk melihat pameran poster. “Pameran ini bagus, mendidik, dan positif,” ungkap pria yang sudah menjadi donatur Tzu Chi ini.

Setelah selesai mengikuti upacara pemandian rupang Buddha Rupang dan melihat-lihat di lokasi pameran poster, para pengunjung pun melakukan kunjungan ke Tzu Chi School yang berada di sebelah gedung Aula Jing Si. Antusiasme para tamu pun tampak ketika memasuki ruang sekolah dan berkeliling di dalamnya. Kunjungan ke sekolah yang mengajarkan pendidikan budaya humanis ini juga dilakukan oleh para donatur Tzu Chi, salah satunya, Liu Chien Liang. Ia sudah lama mengenal Tzu Chi sejak tahun 2003. “Upaya untuk memperluas pengaruh Tzu Chi dan cita-citanya untuk membantu mereka yang kurang mampu rasanya di Indonesia sudah cukup berhasil. Setiap kali terjadi bencana, atau upaya membersihkan lingkungan insan Tzu Chi selalu hadir. Dan sekarang, Sekolah Tzu Chi mulai memperluas perlengkapan hardware-nya, serta memberikan career education untuk generasi ke depan,” ungkapnya.

  
 

Artikel Terkait

Berjuang Menaklukkan Kanker Sembari Bersumbangsih

Berjuang Menaklukkan Kanker Sembari Bersumbangsih

30 September 2016
Di tengah perjuangannya untuk sembuh dari kanker usus, Aliong mulai bersumbangsih. Pada 9 Agustus 2016, untuk pertama kalinya ia menyetorkan sumbangannya ke Tzu Chi. Aliong mengaku merasakan kebahagiaan dari bersumbangsih.
Anugerah Jurnalistik Aqua (AJA) untuk DAAI TV

Anugerah Jurnalistik Aqua (AJA) untuk DAAI TV

16 Desember 2015
Liputan yang berkisah tentang perjuangan masyarakat di daerah kaki Gunung Slamet (Tegal, Jawa Tengah) dalam memperoleh air bersih ini mengandung pesan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kelestarian sumber daya alam.
Cahaya yang Telah Kembali

Cahaya yang Telah Kembali

09 November 2009
”Penglihatan saya tidak jelas, kalau kena sinar matahari silau berbayang, kira-kira sudah setahun saya menderita penyakit katarak,” kata Sarno, warga Kabanjahe yang berharap sesudah operasi dapat melihat  kembali dengan jelas.
Kita sendiri harus bersumbangsih terlebih dahulu, baru dapat menggerakkan orang lain untuk berperan serta.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -