Waisak 2556: Satu Kesatuan dalam Waisak

Jurnalis : Metta Wulandari, Hadi Pranoto, Teddy Lianto, Fotografer : Anand Yahya, Aris Widjaya, Iea Hong (He Qi Utara), Dimin, Jhonny Tani (He Qi Barat)
 
 

fotoWaisak Tzu Chi tahun ini dilaksanakan di lapangan Aula Jing Si yang dimulai jam 6 sore hingga jam 8 malam.

Peringatan Hari Waisak biasa memang diperingati oleh umat Buddha untuk mengingat tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama. Lahirnya Pangeran Sidharta, Pangeran Sidharta mencapai Buddha dan Buddha Gautama mencapai parinibbhana. Begitulah ketiga peristiwa ini berlangsung di bulan dan tanggal serta waktu yang sama. Waisak yang pada tahun ini yang jatuh pada tanggal 6 di bulan mei ini juga dijadikan sebagai momen yang sangat membahagiakan bagi masyarakat umat Buddha Indonesia.

 

Tidak jauh berbeda dengan insan Tzu Chi Indonesia yang juga merayakan Hari Waisak beserta dua hari besar lainnya yang antara lain adalah Hari Ibu Internasional dan Hari Tzu Chi Sedunia. Bagi insan Tzu Chi, waisak tahun ini merupakan waisak yang mempunyai makna begitu agung. Selain karena makna waisak sendiri, makna lain adalah karena gedung yang menjadi rumah bagi insan Tzu Chi Indonesia telah berdiri dengan kokoh hingga perayaan waisak dapat dilaksanakan di tempat ini (lapangan Aula Jing Si).

Begitu banyak tamu yang datang pada acara ini, tamu-tamu tersebut terdiri dari yang terdiri dari para Bhiksu, Gubernur DKI Jakarta, tokoh-tokoh masyarakat , relawan Tzu Chi, staf misi Tzu Chi (kesehatan, pendidikan, amal, dan budaya humanis), donatur, dan masyarakat umum, semua berbaur dalam satu upacara Waisak yang khidmat.

foto    foto

Keterangan :

  • Tamu undangan terdiri dari Bhiksu, Gubernur DKI Jakarta, tokoh-tokoh masyarakat, relawan Tzu Chi, staf misi Tzu Chi (kesehatan, pendidikan, amal, dan budaya humanis), donatur, dan masyarakat umum, semua berbaur dalam satu upacara Waisak yang khidmat (kiri).
  • Perayaan Waisak yang dilaksanakan pada malam hari menambah keheningan dan keagungan suasana (kanan).

Bhiksu Gunabadra, perwakilan dari Sangha Mahayana Indonesia, saat ditemui dalam acara yang sama memberikan penjelasan mengenai makna hari Waisak sendiri yang menyatakan bahwa inti dari Waisak yang perlu diingat adalah bahwa manusia hidup penuh dengan penderitaan, sehingga perlu adanya hal yang digunakan untuk bisa melenyapkan atau paling tidak mengurangi penderitaan tersebut. “Bagaimana kita mengingat kembali ajaran-ajaran sang Buddha guru kita yang mengajarkan tentang hakikat manusia melihat sisi dari kehidupan yaitu penderitaan, karena penderitan merupakan awal dari semua yang terjadi pada kehidupan manusia dan Buddha telah menemukan jalan tersebut serta telah merealisasi jalan pencerahan, melalui penderitaan inilah roda-roda samsara diputuskan dan seyogyanya waisak ini seluruh umat Buddha kembali mengingat ajaran-ajaran Sakyamuni Buddha. Oleh Tzu Chi, nilai-nilai universal ini telah diadakan dan dikembangkan bagi seluruh umat,” jelas Bhiksu Gunabadra.

Bhiksu Gunabadra juga memberikan kesannya terhadap Waisak yang baru saja berlangsung malam ini. “Sangat baik, sangat menggugah dan sangat agung yang seharusnya pernghormatan seperti ini diberikan pada guru junjungan kita,” ujar beliau.

foto   foto

Keterangan :

  • Bhiksu Gunabadra, Perwakilan Sangha Mahayana Indonesia, dalam momen Waisak ini mengingatkan bahwa manusia hidup penuh dengan penderitaan, sehingga perlu adanya hal yang digunakan untuk bisa melenyapkan atau paling tidak mengurangi penderitaan tersebut (kiri).
  • Para umat melakukan prosesi pemandian Buddha Rupang dalam rangkaian acara Waisak 2556 Tzu Chi (kanan).

Satu Kesatuan
Diantara begitu banyak pengunjung, terlihat salah satu relawan Tzu Chi, Dyan Aryani yang kali ini tidak mengenakan seragamnya dalam mengikuti prosesi Waisak Tzu Chi. Relawan yang menganut muslim ini tidak merasa asing atau tabu dalam menjalankan prosesi Waisak yang memang kental dengan upacaya agama Buddha. Menurutnya, bukan masalah keyakinan yang dianut, melainkan adalah persatuan yang perlu diusung. “Waisak memang merupakan hari besar umat Buddha, namun bukan masalah keyakinan berbeda melainkan adalah persatuan yang diusung,” ujarnya. Waisak tahun ini dirasa luar biasa bagi Dyan, pasalnya tempat Waisak kali ini mengambil posisi di lapangan Aula Jing Si dan langsung dilakukan di outdoor tanpa ada batasan atap sama sekali. “Waisak kali ini menurut saya luar biasa, karena mengambil posisi di luar ruangan sehingga tidak monoton seperti tahun-tahun lalu yang dilaksanakan di dalam ruangan. Selain itu, dengan gedung aula Jing Si yang telah berdiri dengan kokoh ini menambah suasana yang berbeda,” ungkap Dyan.

Selain Dyan Aryani, hadir pula dr. Yoke Yulian, tim medis RSKB Tzu Chi. “Upacara waisak kali ini berjalan lebih khidmat karena suasanya lebih mendukung pada waktu malam hari,” ungkap dr Yoke. Beliau juga memaknai arti hari raya Waisak sebagai hari untuk berkumpul memanjatkan doa, melafalkan bait-bait sutra dan kembali ke jati diri yang hakiki. “Biasa kita sehari-hari disibukkan oleh pekerjaan sehingga untuk pergi ke vihara sangatlah kurang. Tetapi dengan adanya hari waisak ini, kita dapat berkumpul bersama dan berdoa,” ujarnya.

Kisah lain juga datang dari Setia Damayanti, Dosen salah satu unversitas ini dengan senang hati meluangkan waktu untuk datang dalam perayaan Waisak kali ini. “Aku baru pertama kali datang dan ikut di perayaan waisak ini, setelah tiga kali mendapatkan undangan dan dua kali aku gak datang, tahun ini aku nyempetin waktu buat datang,” ujarnya. Maya, begitu panggilan akrabnya, yang juga merupakan pemeluk muslim ini mengaku tidak merasakan adanya perbedaan selama mengenal Tzu Chi. “Saya kenal Tzu Chi dulu karena adik saya bekerja di DAAI TV, dan kebetulan saya tertarik dengan Tzu Chi. Dari ketertarikan saya itu, saya akhirnya mengambil penelitian mengenai keberlanjutan pembangunan rumah susun Tzu Chi untuk desertasi saya,” ceritanya. “Nah dari penelitian desertasi saya itu, saya sempat pergi ke Taiwan dan bertemu dengan Master Cheng Yen membahas hal-hal ini. Dari sanalah saya belajar menghargai orang lain dan juga kepercayaan yang mereka anut. Masalahnya, saat di sana saya ingin menjalankan sholat, saya benar-benar disediakan tempat yang terbaik. Itu kesan yang luar biasa bagi saya,” tambah Maya.

  
 

Artikel Terkait

Melihat, Merasakan, dan Menyebarkan Cinta Kasih

Melihat, Merasakan, dan Menyebarkan Cinta Kasih

11 Desember 2018

Sebelum relawan Tzu Chi di Medan Timur membagikan 8 ton beras pada 16 Desember 2018 di Tanjung Morawa, relawan terlebih dahulu melakukan pembagian kupon beras cinta kasih. “Karena ini merupakan pembagian beras untuk pertama kalinya di Tanjung Morawa dan relawan Tanjung Morawa juga hanya ada 7 orang, maka relawan Tzu Chi Medan datang mendampingi dan mengarahkan,” tutur Imelda, koordinator pembagian beras.

Secercah Harapan Opa Oma

Secercah Harapan Opa Oma

04 Januari 2017
Kunjungan kasih ke panti wreda memberikan kebahagiaan tersendiri bagi para opa dan oma yang menghuni panti tersebut. Relawan mengajak bercanda, bergerak, bernyanyi, dan bercengkrama dengan mereka. Kegiatan dilakukan pada 29 Desember 2016 sekaligus pemberian bantuan berupa perlengkapan tidur dan sembako.
Kerisauan dalam kehidupan manusia disebabkan dan bersumber pada tiga racun dunia, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -