Waisak Tzu Chi 2018: Dari Satu Menjadi Tak Terhingga (Bag. 2)

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Indarto Zhang (He Qi Barat 1), Johnsen Widjaja (He Qi Utara 2), Markus Kusuma Putra (He Qi Barat 2)


Sebanyak 120 relawan Tzu Chi per sesinya membawa persembahan berupa air, pelita (lilin), dan bunga dengan khidmat.

Sejak Yayasan Buddha Tzu Chi berdiri hingga kini berusia 25 tahun, Chia Wenyu selalu mendapatkan tanggung jawab sebagai pemandu acara atau master of ceremony (MC) di berbagai kegiatan dan acara-acara besar Tzu Chi. Hal itu karena, sejak lulus kuliah dari National Chengchi University, Taipei, Wenyu yang mengambil jurusan jurnalistik ini, memang sudah sering diminta untuk menjadi pembawa acara dalam acara-acara pertemuan alumni. Karakternya yang ceria dan talkative memang pas untuk peran ini.

Namun pemandangan berbeda ada di Waisak Tzu Chi 2018. Wenyu kali ini tidak lagi ada di depan panggung, dirinya duduk dengan anggun di barisan pembawa persembahan bersama 120 relawan Tzu Chi lainnya di sesi kedua Waisak Tzu Chi. “Selama 25 tahun Tzu Chi Indonesia berdiri. Baru kali ini saya tidak menjadi MC,” tuturnya penuh canda.


Berbeda dari biasanya, Chia Wenyu kali ini tidak lagi ada di depan panggung sebagai MC. Dirinya duduk dengan anggun di barisan pembawa persembahan bersama 120 relawan Tzu Chi lainnya di sesi kedua Waisak Tzu Chi di Aula Jing Si, Jakarta.

Dalam kesempatan itu pula, Wenyu mengaku senang dan bersyukur bisa mengikuti prosesi Waisak dengan sangat khidmat. “Hari ini saya senang sekali karena bisa menjadi barisan pembawa persembahan. Saya membawa pelita (lilin) dan memaknainya sebagai penerang yang menunjukkan jalan terang bagi saya dan masyarakat semua. Pelita ini juga layaknya Dharma, menunjukkan jalan terang dan kebenaran,” ucapnya.

Selain perasaan yang senang, Wenyu juga memendam keharuan ketika prosesi Waisak dilaksanakan. Berbeda dari biasanya dimana dirinya memandu prosesi Waisak, sebagai peserta kali ini ia bisa merasa lebih hanyut dalam khidmatnya prosesi.

“Ketika seluruh ruangan bersama berdoa dan berikar dengan lagu Cheng Xin Qi San Yuan, perasaan hening, hangat, dan haru menyelimuti saya. Dalam hati saya berdoa dengan tulus untuk masyarakat damai tenteram, supaya tidak ada peperangan. Dan saya juga teringat dengan negara kita sendiri. Semoga Indonesia tetap aman tenteram dan masyarakat selalu damai,” harapnya.


Pada kesempatan tersebut, Chia Wenyu berkesempatan membawa pelita (lilin). Wenyu memaknai pelita tersebut sebagai penerang.

Wenyu menambahkan riuhnya peserta Waisak tahun 2018 ini seharusnya menjadi penyemangat bagi seluruh relawan. Apalagi mereka juga membentuk formasi aksara Wu Liang yang menjadi tema 25 tahun Tzu Chi Indonesia.

“Kalau ingat dulu (ketika Tzu Chi baru menginjakkan kaki di indonesia), hanya ada beberapa benih saja. Sekarang menjadi banyak pepohonan hingga menjadi rimba, hutan. Bu Su Mei (Ketua Tzu Chi Indonesia) juga tidak menyangka bisa ada Tzu Chi Indonesia yang saat ini menjadi butterfly effect (perubahan sekecil apapun yang dibuat akan berdampak ke masa depan),” kata Wenyu.

Ribuan peserta yang hadir juga membuat Kittina Nagari sangat terharu. Pasalnya mereka bisa dengan harmonis, indah, dan penuh budaya humanis dalam melakukan ritual pemandian Buddha Rupang. Kitti yang pada Waisak Tzu Chi 2018 sesi 2 ini bertugas sebagai pembawa pelita, sempat meneteskan air mata. Tak jauh berbeda dengan Wenyu, relawan Komite Tzu Chi yang bergabung sejak awal Tzu Chi berdiri di Indonesia ini teringat masa awal Tzu Chi.

“Dulu kami berkegiatan Tzu Chi siang malam, sampai ada supir dan pembantu saya juga ikut menjadi relawan karena kami belum banyak,” cerita Kitti, “sekarang sudah begini besar,” lanjutnya. Keharuan Kitti itu juga disaksikan oleh adiknya dari Jakarta dan Surabaya, serta mamanya yang ia ajak untuk datang ikut dalam prosesi Waisak di sesi pertama.

Berbakti Pada Orang Tua


Kittina Nagari (kiri) sangat terharu dengan prosesi Waisak yang berlansung dengan khidmat.

Walaupun sudah tidak begitu aktif dalam berkegiatan Tzu Chi, namun ketika dibutuhkan Kitti selalu berusaha hadir. Seperti pada kesempatan tersebut. Dirinya bukan ingin vakum dalam berkegiatan Tzu Chi. Kitti mempunyai alasan lain, yakni ingin merawat orang tua. Maka ketika ia bisa berkegiatan Tzu Chi sekaligus merawat orang tuanya, ia sangat bahagia. “Hari ini saya sangat bahagia karena bisa membawa serta mama bersama saya,” ucapnya.

Bagi Kitti, merawat sang mama adalah wujud ungkapan terima kasih atas budi luhur orang tua, wujud bakti pada orang tua, yang juga merupakan praktik dari Dharma Master Cheng Yen. “Dulu saya sangat aktif di Tzu Chi karena orang tua saya masih sehat. Mama masih bisa merawat papa. Lalu mama sempat stroke kecil dan mulai tidak bisa merawat papa, akhirnya saya yang merawat mereka,” akunya.

Saat itu Kitti langsung menjemput orang tuanya di Medan dan membawanya ke Jakarta. Walaupun ada suster dan pembantu, anak keempat dari 12 bersaudara ini tetap mendampingi orang tuanya. “Saya ingin orang tua saya betul-betul merasa nyaman dan disayangi oleh anaknya,” tuturnya.


Pada perayaan tiga hari besar: Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia ini, Kittina Nagari mengajak adik dan mamanya untuk bersama mengikuti prosesi Waisak di Tzu Chi.

Sepeninggal papanya 5 tahun lalu. Kitti semakin dekat dengan sang mama. Ia mengaku tak ingin membiarkan mamanya merasa kesepian. “Saya selalu ajak mama, atau kalau tidak pasti ada adik saya yang menemani mama,” ucapnya. “Seperti lilin yang menjadi penerang, saya juga ingin menerangi masa senja mama,” lanjutnya.

“Sebisa mungkin ketika mama masih ada, saya ingin membuat mama merasa nyaman dan merasakan kasih sayang dari anak-anaknya. Itu sangat penting. Maka saya sangat bersyukur bisa ajak mama datang ke sini. Mama pun sangat bahagia,” imbuh Kitti.

Selesai.

1.      Sebanyak 120 relawan Tzu Chi per sesinya membawa persembahan berupa air, pelita (lilin), dan bunga dengan khidmat.


Artikel Terkait

Dengan keyakinan, keuletan, dan keberanian, tidak ada yang tidak berhasil dilakukan di dunia ini.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -