Yang Muda, Yang Humanis
Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika Usha Kepedulian kepada sesama yang membutuhkan harus terus ditumbuhkan dalam jiwa muda-mudi penerus bangsa. | Enam puluh empat tahun yang lalu, tetesan darah dan keringat para pemuda-pemudi telah membanjiri negeri ini. Semangat perjuangan mereka dalam membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, adalah bukti nyata akan rasa cinta tanah air yang sangat mendalam. Sekarang setelah bangsa ini merdeka, semangat itu harus tetap berkobar dalam jiwa para penerus bangsa. Bukan dengan desingan senapan atau strategi gerilya yang terkenal, namun cukup menjadi pribadi yang humanis dan bersahaja.
|
Bagaimana nasib mereka? Mahasiswi Universitas Bina Nusantara ini, mengaku prihatin melihat kondisi kehidupan para pasien tersebut. “Seperti Bong Bu Jang yang tadi kami kunjungi, karena ketidaktahuannya maka penyakitnya jadi lebih berat karena salah pengobatan,” keluh Juliana prihatin. Kondisi kesehatan Bong Bu Jang memang semakin memburuk. Tumor yang berada di lehernya kini semakin membesar dan membusuk. Tidak hanya itu, menurut diagnosa dokter, sebuah tumor juga sudah mulai bersarang di perut sebelah kirinya. “Sebelum tumor di lehernya itu pecah, kami sudah sering kali menasihati dia untuk segera ke dokter, sayang dia tidak segera mendengarkan. Ia justru pergi ke pengobatan alternatif dan hasilnya bukannya sembuh malah semakin memperburuk keadaannya. Tapi sekarang ia sudah mau mendengarkan nasihat kami dan mulai berobat ke dokter,” jelas Johny Chandra, yang menjadi pendamping dalam kunjungan kasih kali ini. Ket : - Dengan melihat penderitaan orang lain, para peserta Tzu Ching Camp diharapkan dapat senantiasa “Oleh sebab itu, kita sebagai generasi muda harus segera mulai membuka mata dan hati kita untuk lebih aware terhadap penderitaan mereka. Dan yang pasti, segera berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Jangan sampai, mereka semakin menderita,” tegas Juliana yang mengaku akan segera melaksanakan niatnya, mengajar anak-anak tidak mampu secara gratis. Tidak hanya Juliana, Albert Indrawan juga terlihat aktif berinteraksi dengan seluruh pasien kunjungan kasih. Bahkan pria berusia 18 tahun ini tanpa segan-segan menawarkan diri untuk memandikan Agus Triadi, seorang bocah keterbelakangan mental dan menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. “Jujur, awalnya saya merasa jijik melihat seluruh badannya yang kotor dan dihinggapi lalat. Tapi bukannya menjauh, hati saya kok jadi iba dan ingin membersihkan badan Agus,” ucapnya. Dengan dibantu beberapa peserta lainnya, akhirnya Albert memandikan Agus dengan penuh sukacita. Agus yang mendapatkan perhatian tersebut tampak sangat bahagia. Gelak tawa dan gumaman tidak henti terlontar dari bibir bocah tersebut. “Rasanya bahagia sekali, melihat mereka tertawa dan senang,” tambah Albert. Kepedulian akan penderitaan sesama, harus terus kita tingkatkan. Seperti yang terlontar dari bibir Johny, “Kalau bukan kita yang peduli sama mereka, lalu siapa lagi?” Ket : - Jing-Si Books and Cafe membuka stan kecil sebagai display produk-produk buah karya Master Cheng Yen Kunjungan Kasih Sebelum terjun ke lapangan, Lulu memberikan informasi singkat mengenai etika dalam menerapkan semangat kepedulian kepada lebih kurang 144 peserta kamp, “Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat kita melakukan kunjungan kasih kepada pasien. Bagaimana pun kondisi pasien ataupun tempat tinggalnya, kita tidak boleh mengeluh dan menunjukkan mimik muka jijik. Karena salah-salah niat baik kita untuk menghibur dan memberi semangat, malah akan melukai hati mereka.” Ket : - Dalam sesi sharing, para peserta didampingi pendamping mengutarakan keluh kesahnya dalam menjalani Satu hal yang pasti, dalam kegiatan kunjungan kasih, para peserta Tzu Ching Camp diingatkan untuk jangan pernah menunda dalam melakukan kebajikan. “Jangan tunda lagi. Selama kita bisa, kenapa tidak kita lakukan,” tegas Lulu mantap. Titik Balik Aku Berubah “Master tidak pernah menggunakan uang yang disumbangkan ke Tzu Chi untuk memenuhi kebutuhannya. Beliau dibantu murid-muridnya membuat beberapa produk seperti: lilin, susu kedelai bubuk, nasi instan, dan lain-lain untuk membiayai kehidupan mereka,” ucap Livia. Pada kesempatan yang sama, Livia dan beberapa karyawan dari Jing-Si Book and Café Pluit juga mengenalkan secara langsung produk tersebut beserta alat-alat makan Tzu Chi melalui sebuah stan kecil Jing-Si Book and Café. Dalam materi bantuan internasional, semangat kerelawanan peserta perlahan mulai dipompa melalui kegiatan tanggap darurat dalam pembangunan tenda. Tidak hanya itu, semangkuk nasi instan cair pun juga harus dihabiskan para peserta sebagai simbol pertahanan hidup. “Rasanya seru sekali. Ternyata nggak mudah menjadi seorang relawan di tengah bencana,” ucap Hamdani, salah satu peserta dari Universitas Taruma Negara. Bagi Margareth, titik puncak acara Tzu Ching Camp hari kedua juga menjadi titik balik perubahannya. Sepanjang penayangan video sutra bakti seorang anak, air mata Margareth tidak henti-hentinya mengalir. Sambil terisak, bayangan sang bunda seolah muncul tepat dalam kelopak matanya. “Hari ini rasanya lengkap semuanya,” ucapnya lirih. Ket : - Melalui Tzu Ching Camp, Margareth berjanji untuk menanggalkan sisi buruknya dan mulai mengisi hidupnya Margareth mengaku, hati kecilnya yang beku perlahan mencair ketika mengikuti kegiatan kunjungan kasih. “Kami mengunjungi seorang anak yang sakit. Anak tersebut awalnya tidak mau peduli dengan orangtuanya, tapi sekarang ketika ia sakit, hanya orangtuanya yang menemani perjuangannya lepas dari belenggu penyakit,” tambah Margareth. Belum selesai menenangkan kegelisahan hatinya selepas kunjungan kasih, tayangan video sutra bakti kembali mengoyak ketenangan ego perempuan berusia 22 tahun ini. “Rasanya seperti ditampar. Semua yang ada di video itu seperti refleksi dari kehidupan saya,” jelas Margareth. Selama ini Margareth mengaku tidak bisa menghargai kasih sayang yang diberikan oleh sang bunda. Selama sekolah di luar negeri, ia sering berbohong kepada ibunya. “Kalau dimarahi, saya selalu melawan dan merasa yang paling benar. Padahal seharusnya tidak begitu, apalagi sekarang Mama single parents, jadi semua beban ada di pundaknya,” tuturnya lemah. Karena terlalu sering bermain, akhirnya Margareth gagal dalam pendidikannya, “Setelah gagal, Mama akhirnya menarik saya untuk kembali ke Indonesia. Hari ini saya sadar, begitu besar kesalahan yang saya buat sama Mama.” Dengan tekad yang bulat, Margareth pun berjanji untuk berubah. “Setelah sampai di rumah saya pasti langsung minta maaf kepada sama Mama, dan berjanji untuk selalu berbakti dan tidak lagi mengecewakan beliau.” Kepedulian terhadap penderitaan sesama, selalu bersyukur dalam kehidupan, maupun berbakti kepada orangtua adalah sebuah jalan menjadi pribadi yang humanis. Semangat ini harus terus menyala dalam hati setiap generasi muda. “Selama masih memiliki kesempatan, kita sebagai generasi muda harus bisa berbuat sesuatu yang berarti,” tegas Robby Cahyadi, selaku koordinator acara Tzu Ching Camp 2009. | |
Artikel Terkait
Suara Kasih: Menginspirasi Sesama
09 November 2012 Saya sangat berterima kasih kepada para pengusaha Taiwan yang bertanggung jawab atas kamp kali ini. Mereka berharap para pengusaha di seluruh dunia bisa terinspirasi untuk berbuat baik.Kisah Pilu Bayu Menderita Tumor Nasofaring
09 Juni 2023Bayu Aldrian menderita tumor nasofaring sejak 2018. Sempat menjalani kemoterapi empat kali dan terhenti karena tak ada biaya. Kini Bayu dengan dibantu Tzu Chi untuk kembali menjalani kemoterapi.
Impian Kami Terwujud, Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tondo
26 Mei 2020Senin 18 Mei 2020 di Perumahan Cinta Kasih Tondo Palu. Terik matahari sore itu tak terasa menyegat dari biasanya. Yusuf, warga penerima bantuan hunian tetap dari Tzu Chi tampak begitu semangat membersihkan rumah barunya. Ia lalu menata setiap sudut ruang di dalam rumah yang ia huni bersama istri dan dua anaknya. Usai lebaran, rumah itu akan mereka tempati.