Yang Penting Anak Tetap Bisa Sekolah
Jurnalis : Sutar Soemithra, Fotografer : Sutar Soemithra Relawan Tzu Chi melakukan survei terhadap sejumlah rumah di Kelurahan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading untuk mendapat bantuan perbaikan rumah melalui program "Bebenah Kampoeng". | Untuk masuk ke rumah itu, saya benar-benar berhati-hati agar kepala saya tidak terbentur langit-langit yang tingginya hanya sekitar 165 cm, padahal tinggi saya 168 cm. Saya, dan juga relawan Tzu Chi yang lain, harus merundukkan kepala. Bahkan sewaktu relawan melakukan survei awal seminggu sebelumnya, kepala salah seorang relawan sempat terbentur langit-langit rumah. Dari luar, rumah tersebut terlihat seperti sebuah warung makan sederhana, tapi begitu kami masuk ke dalam, rak-rak makanannya ternyata kosong. Tidak ada makanan yang terpajang. “Warung sudah tutup hampir 4 tahun,” kata Narti (55), pemilik rumah. Namun rak-rak tersebut tidak dibongkar padahal menyebabkan ruangan menjadi sempit. |
Narti yang ditemani suaminya, Sungkono (55) bercerita, warung yang semestinya menjadi sumber penghasilan justru terus merugi karena banyak pembeli yang sering hutang sehingga akhirnya ditutup. Rumah Narti adalah salah satu rumah yang disurvei oleh tim survei program “Bebenah Kampoeng” Kelapa Gading yang diadakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Minggu pagi yang cerah itu, 13 Juli 2008, 130 relawan Tzu Chi melakukan survei bagi calon penerima bantuan program “Bebenah Kampoeng” di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sebanyak 90 rumah disurvei masing-masing 64 rumah di Kelurahan Pegangsaan Dua dan 26 rumah di Kelurahan Kelapa Gading Timur. Saya dan beberapa relawan Tzu Chi lain mendapat bagian survei di RT 004 RW 03 Kelurahan Pegangsaan Dua. Kawasan yang kami survei adalah pemukiman padat dan sebagian besar warganya bekerja di Kelapa Gading dengan beragam profesi. Tiap kali kami menghampiri rumah yang disurvei, warga sekitarnya pasti ramai-ramai berkerumun melihat proses survei kami. Beberapa di antaranya bertanya apakah kami dari tim survei acara Bedah Rumah yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta. Banyak rumah yang sepintas layak untuk dibantu, tapi setelah saya mencari tahu, ternyata banyak rumah di daerah tersebut merupakan rumah kontrakan. Hanya rumah yang telah menjadi hak milik yang berhak memperoleh bantuan, dan harus termasuk kategori tidak mampu. Ket : - Pegangsaan Dua adalah wilayah padat di dekat kawasan bisnis Kelapa Gading yang banyak terdiri dari Jika melihat kondisi rumah Narti, mungkin kita mengira Narti hanya mampu menyekolahkan 3 anaknya hanya sampai jenjang yang rendah. Tapi ternyata tidak! Narti bahkan telah berhasil meluluskan anak sulungnya dari bangku SMA yang hampir sebulan ini telah bekerja di toko mainan anak di Kelapa Gading. Masa-masa kenaikan kelas anak sekolah seperti sekarang ini adalah masa yang berat bagi Narti dan Sungkono. Mereka masih memiliki 2 anak yang sekolah. Anak kedua, Suryanto, duduk di kelas 2 SMP dan anak ketiga, Jayanadi, duduk di kelas 4 SD. Untuk kenaikan kelas kali ini, Narti harus mengeluarkan uang sekitar Rp 660 ribu. Padahal selama ini uang yang ia kumpulkan dari hasil menjadi buruh cuci dan suaminya yang menjadi kuli bangunan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi gaji bulan Juli ini juga telah habis. Menurutnya, “Kadang gaji cuma lewat tangan doang.” Maka, ia pun menemui salah seorang pelanggan cuciannya di Kelapa Gading yang ia biasa panggil Oma. Uniknya ia sendiri tidak tahu nama lengkap Oma. “Oma, saya mau minta tolong sama Oma,” kata Narti. Ket : - Narti dan Sungkono melakukan segala hal agar ketiga anaknya bisa bersekolah setinggi-tingginya. (kiri) Narti pun bergegas ke sekolah Jayanadi. Namun uang yang ia bawa tidak cukup untuk sekaligus membayar uang buku. Dengan berat hati ia harus pulang tanpa membawa buku bagi anak keduanya tersebut. Terpaksa Jayanadi harus mengikuti kelas baru tanpa memiliki buku pelajaran. “Mama, kalo nggak punya buku lari ke sono ke sini. Temen kadang ngasih kadang nggak mau pinjemin buku,” keluh Jayanadi. Narti malam harinya tidak bisa tidur memikirkan Jayanadi. Kegelisahan Narti ternyata diketahui oleh Ibu RT. Ia memberitahu Narti, ada salah seorang tetangga yang memiliki buku bekas yang masih bisa dipakai. Narti pun langsung pergi ke sekolah bertanya kepada guru Jayanadi buku pelajaran apa saja dibutuhkan. Akhirnya Narti memilih buku-buku bekas tersebut sesuai informasi buku yang ia dapat dari guru. Hasilnya lumayan, beberapa buku masih bisa dipergunakan. “Mudah-mudahan nanti pas tanggal 5 Juli nanti bisa kebeli semua,” harap Narti menyebut tanggal ia bisa menerima upah mencuci baju. Ket : - Karena kesulitan ekonomi, Sungkono tidak sampai menamatkan bangku SD. Ia tidak ingin anak-anaknya Tapi masalah yang ia hadapi belum selesai sampai di situ, kali ini seragam sekolah. Untuk satu hal ini, ia akhirnya menyerah. Ia terpaksa harus hutang untuk membeli seragam baru Jayadi. Hutang pun terpaksa sering ia harus lakukan demi membiayai sekolah anak-anaknya. “Rasanya udah plong. Biarpun nggak bisa makan yang penting anak bisa tetap sekolah sampai tuntas!” tegas Narti. Sungkono tidak lulus SD, sedangkan Narti malah tidak sempat merasakan bangku sekolah. Mereka tidak ingin anak-anaknya bernasib susah seperti mereka. Tak mengherankan jika warung yang sudah tidak lagi terpakai tersebut belum sempat dibongkar karena mereka lebih memprioritaskan untuk menyekolahkan anak. Kini rumah mereka menjadi salah satu yang disurvei untuk direnovasi melalui program “Bebenah Kampoeng”. Mereka pun telah memiliki rencana jika akhirnya rumah mereka direnovasi. “Rencananya (kami) ingin jualan kembali, buka warung lagi,” mereka bercita-cita. | |