Ceramah Master Cheng Yen: Cinta Kasih Sebesar Gunung Sumeru

Kemarin, saya melakukan telekonferensi dengan insan Tzu Chi Myanmar. Janganlah kita melupakan tahun itu, yakni 12 tahun lalu. Terjangan Badai Nargis pada 12 tahun lalu membawa jalinan jodoh bagi Tzu Chi dan Myanmar yang terus berlanjut hingga kini. Saya yakin jalinan jodoh ini akan bertahan selamanya.

Saat itu, insan Tzu Chi bergerak untuk memberikan bantuan. Setelah melakukan survei bencana, para relawan kita membagikan barang kebutuhan sehari-hari dan bibit padi. Kita juga melihat banyak gedung sekolah yang mengalami kerusakan. Setelah relawan kita melakukan evaluasi dan memberikan laporan, kita memikirkan bagaimana memberikan bantuan secara bertahap yang mencakup bantuan darurat, bantuan jangka menengah, dan bantuan jangka panjang.

Kita juga membantu pembangunan kembali beberapa sekolah dasar dan menengah yang berukuran menengah ke atas. Kita juga melihat sebuah biara yang menampung banyak anak. Anak-anak sangat menggemaskan. Setiap hari, mereka keluar untuk mengumpulkan makanan. Makanan yang mereka terima belum tentu makanan vegetaris. Di sana, mereka tidak ada kebiasaan menerapkan pola makan vegetaris. Apa yang diterima, itulah yang dimakan.

Setelah bertahun-tahun, kemarin saya melihat bahwa para sramaneri di biara tersebut yang dahulu masih kecil, kini sudah tumbuh dewasa. Saat melakukan telekonferensi dengan mereka, saya juga mendengar bahwa ada banyak anak yang sudah bisa berkuliah. Mereka menerima pendidikan dari SD hingga kini. Saya sangat terhibur mendengarnya.

 

Kepala biara tersebut sangat menyayangi anak-anak dan mengirimkan mereka ke universitas. Universitas itu juga tersentuh dan menganugerahkan gelar doktor kehormatan kepada kepala biara tersebut. Dalam telekonferensi kemarin, kita mendengar dan melihat bahwa kepala biara itu sangat bersyukur. Beliau bersyukur kepada Tzu Chi. Kini mereka juga menerapkan pola makan vegetaris. Saya sangat gembira mendengarnya.

Inilah yang saya dengar dalam telekonferensi kemarin. Selain itu, kita juga melihat isi celengan beras yang dikumpulkan setiap bulan. Akumulasi segenggam demi segenggam beras bisa melebihi 3.000 kilogram setiap bulan. Inilah yang dipraktikkan di desa ini.

Dalam telekonferensi kemarin, seorang relawan bertanya, “Apakah praktik segenggam beras ini harus diteruskan?” Menurut kalian, apa jawaban saya? Itu tentu harus diteruskan. Niat baik tidak boleh terputus. Menyisihkan segenggam beras setiap hari tidak akan membuat siapa pun kelaparan. Namun, dengan adanya lebih dari 3.000 kilogram beras yang terkumpul, orang kurang mampu, pengangguran, lansia sebatang kara, dan orang yang mengalami keterbatasan di desa itu dapat memperoleh makanan.

Jika orang yang membutuhkan di desa itu sudah tertolong dan masih ada sisa beras, mereka bisa menolong warga desa lain. Karena itu, praktik ini harus diteruskan. Praktik ini hendaknya terus dijalankan hingga selamanya. Praktik yang baik harus terus diwariskan. Contohnya praktik celengan beras.


Ada pula sebuah keluarga yang membuat saya sangat tersentuh. Kepala keluarga itu mencari nafkah dengan meramal. Di kawasan kumuh, sulit untuk menghasilkan uang dengan meramal. Namun, mendengar bahwa segenggam beras dapat menolong sesama, dia secara langsung menyisihkan segenggam beras dari panci. Berhubung menderita lumpuh otak, tangannya tidak bisa menggenggam banyak beras. Dia berkata, “Saya sudah berusaha untuk menyisihkan beras ke dalam toples. Saya sudah berusaha semampu saya.”

Komite kita berkata padanya, “Segenggam berasmu ini sebesar Gunung Sumeru.” Dia sangat gembira mendengarnya. Kata-kata yang bijaksana memberi pria muda ini kekuatan. Dia menderita lumpuh otak dan hidup dalam kondisi sulit.

Meski kekurangan secara materi, dia bisa membangkitkan kekayaan batin. Dia merasa, “Saya adalah orang yang bisa menolong sesama. Meski menderita lumpuh otak dan mengalami keterbatasan fisik, tetapi saya berusaha semampu saya untuk menyisihkan segenggam beras. Segenggam beras saya sebesar Gunung Sumeru. Saya telah berusaha semampu saya.” Karena itu, dia dipenuhi sukacita.

Dalam telekonferensi kemarin, saya berkata, “Benar, saya menyaksikan bahwa segenggam berasmu sebesar Gunung Sumeru.” Ini merupakan telekonferensi yang penuh kehangatan dan sukacita. Dengan berdisiplin, tekun, hemat, dan mengatasi segala kesulitan, mereka bisa menyisihkan segenggam beras setiap hari untuk menolong sesama.


Tentu saja, saya bersyukur kepada relawan setempat atas dedikasi mereka. Ada sepasang kakak beradik yang memiliki gedung belasan lantai. Mereka menyumbangkan satu lantai kepada Tzu Chi untuk dijadikan ladang pelatihan dan tempat berkumpul insan Tzu Chi. Ini sungguh tidak mudah. Saya sangat bersyukur pada mereka.

Ada pula Bapak Wen, pengusaha Taiwan, yang menyumbangkan sebuah rumah yang sangat luas kepada Tzu Chi dan dapat dijadikan sebagai ladang pelatihan. Saya juga sangat bersyukur kita bisa memiliki jalinan jodoh seperti ini di Myanmar. Pada masa-masa wabah, insan Tzu Chi setempat juga sangat berani. Menghadapi wabah kali ini, mereka melindungi diri sendiri dengan baik dan membagikan lebih dari 20.000 paket bantuan secara bertahap. Mereka berencana membagikan lebih dari 30.000 paket bantuan dan masih terus mengadakan pembagian bantuan.

Ini berkat cinta kasih orang-orang. Asalkan ada orang yang bersedia menjalankannya, praktik segenggam beras dapat diteruskan. Pada masa-masa wabah, kita melihat Bodhisatwa yang penuh kemurahan hati, keberanian, cinta kasih, dan welas asih agung bersumbangsih di tengah masyarakat bagi orang-orang yang menderita. Ini sangat menyentuh.

Terjangan badai mematangkan jalinan jodoh untuk menanam benih kebajikan di Myanmar
Himpunan segenggam demi segenggam beras memperpanjang jalinan kasih sayang
Orang yang miskin secara materi menjadi kaya batin berkat adanya cinta kasih
Bodhisatwa bersumbangsih dengan welas asih, kebijaksanaan, kemurahan hati, dan keberanian

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 7 Juni 2020 
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, Stella
Ditayangkan tanggal 9 Juni 2020
Bila kita selalu berbaik hati, maka setiap hari adalah hari yang baik.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -