Ceramah Master Cheng Yen: Estafet Cinta Kasih Menolong Sesama bagai Perahu yang Kukuh
Bencana banjir di Tiongkok kali ini sungguh membawa penderitaan yang dalam dan luas. Setelah bencana ini berlalu, tidak mudah bagi warga untuk memulihkan kehidupan. Kesedihan ini mungkin berlangsung lama. Kapankah bencana ini akan berakhir?
Saat ini dibutuhkan kemurahan hati dan cinta kasih dari banyak orang. Tindakan penuh cinta kasih bagaikan sebuah perahu. Saat ada sebuah perahu yang kukuh, perahu ini dapat berlayar di atas air untuk segera memberi pertolongan. Ia dapat mengangkut berbagai barang kebutuhan ke mana pun dibutuhkan. Namun, kali ini entah sampai kapan bencana akan berlangsung.
Di tengah lautan penderitaan, dibutuhkan perahu yang kukuh. Perahu yang kukuh ini membutuhkan keteguhan tekad para Bodhisatwa dunia. Tekad pelatihan diri bagaikan sebuah perahu. Kapan pun kita harus siap untuk terjun ke tengah penderitaan demi menyelamatkan orang-orang yang dalam bahaya. Untuk itu, kita semua harus bersungguh hati.
Sebagian orang sudah melangkah, ada pula sebagian orang yang tengah bersiap. Dibutuhkan kekuatan dukungan dari belakang agar mereka yang berada di garis depan tidak khawatir. Jadi, beberapa hari ini saya terus mengatakan bahwa kita harus sering menghubungi mereka untuk memberi semangat. Namun, saya juga harus mengingatkan mereka untuk berhati-hati. Keselamatan diri sendiri harus dijaga. Kita yang berada di belakang harus membuat mereka percaya diri. Inilah estafet cinta kasih para Bodhisatwa dunia.
Kemarin saya kembali mengadakan sambungan telekonferensi dengan relawan di Fujian. Saya mendengar dan melihat bahwa mereka benar-benar bersungguh hati dan penuh cinta kasih. Meski berada di tempat yang berbeda-beda, hati mereka tetap bertautan dan bersatu. Mereka berbagi tentang bagaimana mereka melindungi bumi serta mengembangkan cinta kasih demi melindungi umat manusia dan alam.
Kita melihat bagaimana mereka menjaga kelestarian tempat wisata alam dengan berjalan kaki. Mereka perlahan-lahan memunguti dan mengangkut sampah-sampah di sana. Saya sungguh tidak tega melihatnya. Mereka sudah berusia lanjut. Begitulah Bodhisatwa.
Mereka perlahan-lahan memindahkan, mengumpulkan, dan memikul sampah-sampah itu ke tempat pengumpulan. Di beberapa daerah, setelah beberapa waktu, mereka harus pindah dan kembali mencari tempat baru sebagai posko daur ulang. Melihat mereka, saya sungguh tak sampai hati. Mereka tidak takut terhadap kesulitan dan masalah.
Saat pindah ke tempat baru, mereka harus kembali membersihkan atau memperbaikinya. Para relawan perempuan dapat melakukan pekerjaan laki-laki. Para laki-laki harus menjadi manusia super. Mereka tidak takut untuk bekerja keras. Melihat mereka membersihkan tempat itu, saya sungguh terharu, juga merasa tidak sampai hati. Namun, mereka saling mendukung dan sangat sukacita.
Kita juga melihat Relawan Qiu. Matanya hampir tak dapat melihat, tetapi dia sangat tekun dan bersemangat mengikuti ceramah pagi setiap hari. Dia juga sangat berdedikasi dalam pelestarian lingkungan. Dia memilah barang daur ulang dengan meraba. Saat musim dingin, kulit tangannya terkelupas.
“Saya menyuruhnya memakai sarung tangan, tetapi dia tidak mau karena sudah terbiasa,” kata Lin Jingzhi Istri Qiu Yundun.
Dia mengandalkan tangannya untuk merasakan. Meski karton-karton sangat tebal, dia tetap bisa melipat semuanya dengan rapi hingga ukurannya seragam, lalu menumpuk dan mengikatnya dengan sangat kencang. Dia mampu menumpuk setiap ikatan dengan rapi. Asalkan ada hati, tidak ada yang sulit.
Meski matanya tak dapat melihat, dia mengandalkan kedua tangannya dan mata hatinya. Dengan perasaan, dia dapat merapikan semua itu. Inilah yang saya lihat kemarin.
Seorang relawan lansia lain memberi tahu saya, "Master, saya tidak bisa membaca. Namun, saya senang melakukan daur ulang. Saya senang dan gembira sekali."
Dia mengaku sangat senang dan gembira. Kita pun turut merasakan kegembiraannya.
"Saya sangat senang meski tak dapat membaca. Kini saya juga menyalin Kata Renungan Jing Si." Kemudian, dia mengambil selembar kertas dan membacakan isi tulisan pada kertas itu. Dia sungguh luar biasa.
Meski tak dapat membaca, dia dapat melakukan daur ulang di Tzu Chi dan saling mendukung antarsesama relawan. Setiap hari dia sangat gembira. Para relawan bersama-sama menyalin Sutra dan Kata Renungan Jing Si. Kini dia dapat membaca tulisannya sendiri. Sungguh, tiada hal yang tak mungkin dilakukan. Asalkan ada tekad, akan ada kekuatan dan ikrar. Dengan adanya ikrar, akan ada berkah. Inilah suara hati mereka. Jadi, kita harus bersungguh hati.
Ini juga termasuk ketekunan dan semangat. Ini juga disebut menjalankan praktik keras.
Meski para relawan ini memiliki keluarga yang bahagia, tetapi pada awalnya anak dan menantu mereka menentang kegiatan mereka. "Kalian bisa menikmati hidup, kenapa tidak mau?"
Kemudian, melihat orang tua mereka begitu gembira, anak-anak ini akhirnya mendukung dan bergabung untuk turut bersumbangsih. Seluruh anggota keluarga dapat sama-sama bersumbangsih. Ini sangat luar biasa. Jadi, mendengar cerita mereka, kita tahu mereka bertekad untuk bersumbangsih, kemudian menginspirasi orang lain. Inilah yang saya dengar lewat telekonferensi kemarin.
Interaksi lewat telekonferensi ini bagi saya adalah sebuah wujud kekuatan batin. Apakah mereka yang datang untuk berbicara kepada saya ataukah saya yang menghampiri mereka untuk melihat semangat mereka?
Saya melihat gunung; indah pada pemandangannya. Saya melihat sungai; indah pada kejernihan airnya. Saya melihat manusia; indah pada sempurnanya kesatuan hati dan keharmonisan. Ini sungguh membuat saya gembira.
Bersumbangsih sebagai perahu kukuh untuk menolong
orang yang menderita
Bodhisatwa dunia menjalankan estafet cinta kasih
Memikul misi untuk melindungi alam
Tiada yang tidak bisa terwujud dengan adanya
ikrar dan kekuatan
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 21 Juli 2020