Ceramah Master Cheng Yen: Giat Mendalami Dharma

"Pada masa-masa awal, saat Master memutuskan untuk membangun rumah sakit, kami sebagai murid hanya ada satu pemikiran, yakni memikirkan bagaimana caranya. Kami lalu melakukan ritual namaskara dimulai dari jalan raya menuju Griya Jing Si. Setelah memasuki aula utama, Master ada di sana. Lalu, kami pun menyatakan berguru kepada Master. Di saat itu, saya menerima buku penggalang dana dari Master. Saya sangat gembira sekaligus sangat gugup. Kemudian, saya berlutut dan menerima buku penggalang dana dari tangan Master. Saya lalu menengadah dan berkata kepada Master, 'Master, saya tidak pandai berbicara.' Master menjawab, 'Kamu ikuti perkataan saya. Ucapan yang tidak bermanfaat tidak perlu banyak diucapkan. Tidak perlu terlalu banyak berbicara.' Saya selalu mengingatnya. Mengapa? Sekembalinya dari sana, setiap membuka mulut, saya selalu berbicara tentang Tzu Chi dan segala yang pernah diucapkan Master. Sejak saat itulah, satu per satu keluarga dan teman saya mulai bergabung dengan Tzu Chi," cerita Li Jing Lin.

"Saya masih ingat pada masa-masa awal, saat ingin meninggalkan Master, saya merasa sangat sedih. Saya berkata kepada Master, 'Untuk membangun rumah sakit, Master harus sangat bersusah payah. Ditambah lagi, saat itu masih sedikit orang yang mengetahui idealisme Master. Bagaimana cara saya menyosialisasikannya?' Master menjawab, 'Setelah pulang, terlebih dahulu buatlah orang menyukai Anda. Dengan begitu, mereka akan menyukai organisasi kita.' Kata-kata ini sangat berkesan bagi saya. Bagaimana cara membuat orang menyukai kita? Hanya dengan ketulusan. Setiap kali melantunkan Gatha Pendupaan yang berbunyi, 'Berkat ketulusan mendalam, para Buddha menampakkan diri-Nya', saya selalu teringat pada perkataan Master. Sungguh, ketulusan harus ada di dalam hati dan tindakan kita. Saat kita memiliki ketulusan, saya yakin semua makhluk akan menampakkan hakikat kebuddhaannya," tutur Lin Sheng-sheng.

Bodhisatwa sekalian, setelah mendengar kisah kalian, saya merasakan sukacita dalam Dharma. Tzu Chi telah berdiri setengah abad. Setengah abad sama dengan 50 tahun. Terlebih lagi, belakangan ini, menu sarapan di Griya Jing Si adalah bubur. Saat memakan bubur, saya teringat pada kenangan 50 tahun lalu.

Saat melihat ada orang datang untuk mengambil barang bantuan bulanan, saya akan meminta relawan kita untuk menambah satu atau dua sendok air lagi ke dalam panci. Karena itu, ada sebuah ungkapan berbunyi apa? terkandung matahari dan bulan; dalam panci dimasak gunung dan sungai. Ya, saat penutup panci dibuka, kita tidak menambah beras, tetapi hanya menambah air. Saat penutup panci dibuka, dari air terlihat pantulan gunung, awan, langit, dan pohon.

Saat itu, kita tidak memiliki beras. Dari mana saya mendapatkan beras? Saya meminjam beras dari Wihara Pu Ming. Saat itu, saya harus meminjam beras agar para penerima bantuan dan umat yang mengikuti kebaktian Sutra Bhaisajyaguru memiliki makanan. Saat itu, saya tinggal di sebuah pondok kayu di belakang Wihara Pu Ming. Kegiatan pembagian bantuan kita dimulai dari saat saya di Wihara Pu Ming hingga setelah saya pindah ke Griya Jing Si.

Setelah pindah ke Griya Jing Si, saat kegiatan pembagian bantuan beras, beras-beras itu harus terlebih dahulu dikirimkan ke Griya Jing Si, baru kita membagikannya. Ini pada masa-masa awal kegiatan pembagian bantuan kita. Terkadang, ada karung beras yang sobek sehingga butiran beras terjatuh di lantai.

Salah seorang relawan kita, Jing Rong melihat adanya karung beras yang sobek dan butiran beras yang jatuh di lantai. Dia lalu berkata, “Beras-beras ini terjatuh di lantai. Saya akan memungutnya dan menaruhnya di tempat beras kita. Beras-beras ini masih bersih.”

Saya menjawab, “Jangan menyimpannya di tempat beras kita. Kita harus mengembalikannya ke dalam karung beras karena beras-beras ini kita beli untuk dibagikan kepada orang kurang mampu. Kita jangan menyimpannya di tempat beras sendiri.” Dia lalu menjawab, “Master, tadi saya melihat kalian memasak bubur yang berasnya diambil dari tempat beras. Bukankah bubur itu untuk kami?” Saya menjawab, “Ya. Namun, beras itu milik para bhiksuni di Griya Jing Si. Anda kembalikan dahulu beras ini ke dalam karung beras. Saya akan menceritakannya kepada Anda saat punya waktu.”

Dia pun mengembalikan beras itu ke dalam karung. Usai kegiatan pembagian bantuan, saat setiap orang tengah berkumpul, saya pun berbagi sebuah kisah dengan mereka.

Ada seorang raja melihat negerinya dilanda kekeringan berkepanjangan. Karena tanaman tidak dapat bertumbuh, para rakyat di negeri itu menderita kelaparan. Raja lalu bertekad untuk memohon hujan. Meski sudah turun hujan, tetapi para rakyat tetap membutuhkan waktu untuk bercocok tanam dan memanen hasilnya. “Aku bersedia terjun ke laut dan menjelma sebagai seekor ikan untuk memohon hujan. Selama masa bercocok tanam, aku rela dagingku diambil untuk disantap semua rakyatku agar mereka dapat bertahan hidup.”

Saya berkata kepada mereka, “Inilah jalinan jodoh antara Guru dan murid. Buddha mempersembahkan tubuh-Nya dan merelakan orang-orang mengambil daging-Nya guna mengatasi rasa lapar.” Buddha dapat membangkitkan ikrar seperti itu, mengapa para kaum monastik di Griya Jing Si tidak dapat membangkitkan ikrar yang sama? Kita dapat hidup mandiri sekaligus memberi manfaat kepada orang lain. Akan tetapi, untuk terjun ke tengah masyarakat, tidaklah leluasa bagi murid monastik. Karena itu, dibutuhkan para umat perumah tangga untuk bersumbangsih di tengah masyarakat.

Kita dapat menjadi guru dan murid karena jalinan jodoh yang dalam. Ini adalah jalinan jodoh Dharma. Kini saya bersungguh hati membabarkan Sutra Bunga Teratai demi membalas budi kalian. Inilah hutang Dharma saya kepada kalian. Kalian juga harus membayar saya. Saat saya memberi, kalian menerimanya; saat kalian memberi, saya juga akan menerimanya.

Hari ini adalah hari Festival Perahu Naga. Begitu tiba di sini, saya melihat pementasan kalian. Relawan wanita membentuk formasi perahu, relawan laki-laki menjadi nakhoda. Sungguh barisan relawan yang panjang.

Bodhisatwa sekalian, kalian memberi persembahan dengan sepenuh hati, saya juga membabarkan Dharma dengan sepenuh hati. Jalinan jodoh di antara kita adalah jalinan jodoh Dharma dari kehidupan ke kehidupan. Bodhisatwa sekalian, saya sangat berterima kasih.

50 tahun lalu, kita menghidangkan bubur dan membagikan beras kepada orang yang membutuhkan. Hingga kini, kegiatan dan semangat kita masih tidak berubah. Selain tetap berpegang pada prinsip kemandirian, kita juga tetap berusaha untuk bersumbangsih bagi semua orang di dunia. Keluarga Tzu Chi sangatlah besar. Semakin banyak orang, semakin besar pula berkah yang tercipta.

Saya sangat berterima kasih atas kesungguhan hati dan cinta kasih kalian. Semoga setiap orang dapat membangkitkan hakikat kebuddhaan. Kini kita harus bersungguh-sungguh mendalami bab Guru Dharma dari Sutra Bunga Teratai dan menyerapnya ke dalam hati. Meski hanya sebuah kata atau sepenggal kalimat, pahalanya tetap tak terhingga. Saya harap semua orang dapat senantiasa bersungguh hati dan menyerap Dharma ke dalam hati. Terima kasih. 

Mengenang perjalanan Tzu Chi selama setengah abad

Menyediakan bubur untuk penerima bantuan Tzu Chi

Menjalin jalinan jodoh Dharma yang dalam

Mementaskan lagu “Jalankan Ikrar” dengan penuh ketulusan

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 10 Juni 2016

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal 12 Juni 2016
Jangan takut terlambat, yang seharusnya ditakuti adalah hanya diam di tempat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -