Ceramah Master Cheng Yen: Giat Menggarap Ladang Berkah
Di
berbagai negara, bencana alam terjadi silih berganti. Gempa bumi yang
mengguncang Hualien menjelang Tahun Baru Imlek juga mendapat perhatian dari banyak
orang di berbagai negara. Hingga kini, kita masih bisa melihat orang-orang di
berbagai negara berdonasi bagi Taiwan karena memperhatikan Taiwan dan mengasihi
Hualien. Jalinan jodoh ini sudah lama terbentuk.
Pada
tahun 2016, Ekuador juga diguncang gempa bumi yang menimbulkan kerusakan besar.
Dengan hati yang tulus, insan Tzu Chi menjangkau lokasi bencana. Setahun
kemudian, Ekuador dilanda banjir besar. Insan Tzu Chi kembali menuju Ekuador
dan membentuk jalinan jodoh yang semakin luas. Bodhisatwa datang ke dunia ini
untuk menjangkau semua makhluk yang menderita. Makhluk yang menderita juga bisa
menjadi Bodhisatwa.
Pascagempa
di Meksiko tahun lalu, para relawan dari Ekuador bekerja sama dengan insan Tzu
Chi AS untuk bersumbangsih sebagai Bodhisatwa. Bersama insan Tzu Chi dari
Taiwan dan Amerika Serikat, mereka menenangkan korban bencana sekaligus memberikan
bimbingan. Berkat kekuatan cinta kasih, kita bisa menjalin jodoh dengan
orang-orang yang tidak kita kena hingga mereka bersedia turut bersumbangsih
dengan tulus.
Kini
mereka telah menjadi relawan. Ini berkat adanya jalinan jodoh. Meski terdapat
perbedaan bahasa, kita bisa menginspirasi mereka yang tidak memiliki hubungan
apa pun dengan kita untuk menjadi Bodhisatwa dunia. Kemudian, mereka bisa menabur
benih kebajikan dan menginspirasi warga setempat hingga jumlah relawan di
Meksiko terus bertambah. Berkat adanya jalinan jodoh dan interaksi antara
relawan kita dengan warga Meksiko, benih relawan di Meksiko terus bertumbuh.
Kali
ini, relawan di Meksiko juga menggalang cinta kasih bagi korban gempa Hualien sebagai
wujud rasa syukur dan balas budi mereka. Melihat riak-riak cinta kasih dan
curahan perhatian antarmanusia, saya merasa sangat terhibur. Sungguh, inilah
cinta kasih. Kita harus terus melangkah maju di Jalan Bodhisatwa. Di Taiwan,
para relawan kita telah bersumbangsih dalam jangka panjang. Baik di wilayah
pegunungan maupun dataran rendah, perkotaan maupun pedesaan terpencil, kita
bisa melihat jejak langkah insan Tzu Chi.
Di
wilayah pegunungan Shuangxi, kita bisa melihat anggota TIMA dan sekelompok
relawan Tzu Chi yang tidak takut bekerja keras. Mereka rela berkendara selama
40 menit dan mendaki gunung selama 50 menit demi mengunjungi warga setempat.
“Ya,
kalian boleh menginjak air. Tidak perlu takut. Pelan-pelan. Kalian harus
hati-hati dalam melangkah. Kakak, berjalan pelan-pelan. Di sini sangat terjal. Hati-hati,”
kata Qiu A-lian, Lansia
yang hidup sebatang kara.
“Halo. Dia adalah dokter,” kata relawan.
“Dokter, ya? Benarkah? Saya tidak tahu jika kamu tidak memberi tahu saya,” kata Qiu A-lian.
“Dia juga semarga dengan Kakek,” kata relawan.
“Apa ini?” tanya kakek.
“Ini biskuit untuk Kakek,” jawab relawan.
“Istirahat dan minumlah dahulu, “ kata kakek itu.
“ Terima kasih.,” jawab relawan.
“Jika tidak, lain kali jangan datang lagi,” canda sang kakek.
“Tidak
boleh datang lagi? Ayo, diminum,” cetus relawan.
Lihatlah
kakek itu, sangat menggemaskan. Insan Tzu Chi sering mengunjunginya karena dia
hanya hidup sebatang kara. Dia tidak berkeluarga. Dia hidup sendirian dengan
optimis dan tenang. Dia memanggil para relawan Tzu Chi dengan sebutan cucu. Jika
ada anak kecil yang ikut pergi, dia berkata bahwa mereka adalah cicitnya. Dikunjungi
begitu banyak cucu membuatnya sangat gembira. Dia tidak memiliki keluarga, kecuali
seorang putri yang diadopsinya. Para insan Tzu Chi begitu mengasihi dan
memperhatikan kakek tersebut.
“Jangan, saya tidak punya uang. Saya tidak punya uang. Saya tidak bisa membayarmu” kata Qiu A-lian, Lansia yang hidup sebatang kara.
“Tidak apa-apa,” kata relawan. Saya tidak menginginkan uang Kakek,” jawab relawan.
“Mengharukan sekali. Saya tidak boleh menerima begitu banyak barang dari kalian,” kata Qiu A-lian.
“Cobalah pakaian ini, bagus atau tidak? Cobalah yang ini. Wah, sangat bagus,” kata relawan.
Dia pernah terluka karena kecelakaan. Saat itu, insan Tzu Chi pergi ke rumahnya di pegunungan untuk menggendongnya dan mengantarkannya ke rumah sakit untuk diopname. Setelah dia kembali ke rumahnya, insan Tzu Chi tetap rutin mengunjunginya. Tahun ini, usianya hampir 90 tahun. Dalam suatu kali baksos kesehatan, kita bertanya padanya tentang kondisi kesehatannya. Saat itu, dia tetap sangat optimis. Dua hari kemudian, kakek itu meninggal dunia dengan damai saat sedang tidur.
Hari itu, cuaca di Keelung sangat dingin dan lembap. Para relawan yang bagai anak dan cucunya mengadakan upacara pelepasan baginya. Setiap orang adalah keluarga terdekatnya. Ini sungguh merupakan kehidupan yang penuh cinta kasih. Kita harus bersyukur ada begitu banyak Bodhisatwa di dunia.
Kita juga melihat insan Tzu Chi Myanmar memperhatikan orang yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka. Ada seorang pemuda yang tinggal di rumah yang bobrok. Insan Tzu Chi mengembangkan kekuatan cinta kasih dan menggerakkan warga desa untuk membantu mengangkatnya agar dia bisa pergi ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan. Insan Tzu Chi juga memperbaiki rumahnya meski hanya secara sederhana.
Demikianlah kondisi kehidupan warga setempat. Setelah dia keluar dari rumah sakit, relawan kita juga membantunya berdagang untuk meringankan beban istrinya. Dengan demikian, istrinya tidak perlu bekerja di luar dan bisa menjaga toko. Selain itu, dia juga bisa mencari nafkah sendiri. Inilah yang dilakukan relawan kita untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Meski belum bisa berjalan dengan kedua kakinya, tetapi dia bisa duduk dan menjaga toko. Dia sangat bijaksana.
Dia menggunakan bambu untuk menerima uang dan menyerahkan uang kembalian. Cara tersebut sangat membantu. Kehidupan mereka telah berubah. Setelah kelangsungan hidupnya terjaga, dia juga ingin berbuat baik. Inilah lingkaran cinta kasih dalam kehidupan manusia. Jika kalian bisa lebih bersungguh hati, maka bagai bumi yang kembali didatangi musim semi, kehidupan setiap orang juga akan semakin berwarna.
Orang-orang di berbagai negara turut
berdonasi bagi korban gempa Hualien
Mengubah pola pikir menjadi Bodhisatwa
Menabur benih kebajikan dan giat
menggarap ladang berkah
Tim medis melenyapkan penderitaan
akibat penyakit
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 24 Februari 2018
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 26 Februari 2018