Ceramah Master Cheng Yen: Giat Mengubah Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan
Lihatlah, dunia tengah mengeluarkan sinyal peringatan. Saya sendiri merasa usia kehidupan saya juga sudah mengeluarkan sinyal peringatan. Seiring hari berlalu, usia kehidupan berkurang. Dalam hidup ini, masih ada berapa banyak waktu bagi saya untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaan di ladang pelatihan Bodhisatwa dunia ini? Masih berapa banyak waktu yang tersisa? Saya tidak tahu. Bodhisatwa sekalian, ini yang saya rasakan. Semoga kita semua merasakan hal yang sama. Usia kita terus bertambah tua. Empat puluh, tiga puluh, atau dua puluh tahun lalu, di antara kalian ada yang sudah mengenal saya. Ada pula yang sudah saya kenal. Kalian pada saat itu, juga diri saya pada saat itu, sudah berbeda jika dibanding dengan saat ini. Saat itu, kalian masih muda. Saat itu, saya juga baru menginjak usia tua. Kalian masih muda, dan saya menginjak paruh baya. Kini, saya sudah semakin menua, bukan hanya berusia lanjut.
Saudara sekalian, kita semua harus menggenggam waktu yang
ada. Kehidupan manusia tidaklah kekal. Hanya saat inilah waktu yang dapat kita genggam. Kini tubuh kita masih berfungsi dengan
baik dan dapat bebas bergerak. Kita dapat melakukan yang ingin kita
lakukan. Jika terus menunggu,
akan tidak sempat lagi. Saat
ajal menjemput, kita tidak tahu ke mana kekuatan karma akan membawa kita. Kita tak dapat menentukannya sendiri. Kita tak dapat menentukan kondisi apa yang akan kita lihat. Kita bagaikan bermimpi dan tak dapat mengontrolnya. Kita hanya akan mengikuti kekuatan karma
ini. Saat terlahir kembali dan membuka mata, kondisi kita di kehidupan itu ditentukan oleh buah karma kita. Buah karma kehidupan mendatang itu ditentukan oleh yang kita tanam di
kehidupan ini. Pada saat ini, tubuh kita, pikiran kita, dan arah hidup kita dapat kita tentukan
sendiri. Seberapa banyak yang
kita perbuat, demikianlah benih dan
buah yang akan kita tuai.
Dalam ceramah pagi beberapa hari ini, saya terus mengingatkan semua orang untuk mengubah kesadaran kita menjadi kebijaksanaan. Mereka yang mendengar Dharma pasti mengerti. Saya terus berharap mendorong pencapaian murid-murid saya. Saat mendengar Dharma, janganlah hanya seperti selang. Setelah air mengalir, selang itu tetap kosong. Saya tidak berharap seperti itu. Jadi, dalam setiap kali ceramah untuk setiap bab, saat membahas poin inti, saya akan terus mengulang dan mengulang. Saya harus mengulang sampai kalian hafal dan bisa menerapkannya dalam kehidupan.
Kali ini, beberapa relawan
kembali
dari Changsha, Tiongkok. Mereka menyalurkan bantuan di sana selama lebih dari dua puluh hari.
“Pada tanggal 2 Juli, saya mulai meninjau lokasi bencana atas arahan kantor pusat. Saat itu, sesungguhnya saya juga masih merasa agak takut dan tegang karena relawan di Changsha belum pernah melakukan ini sebelumnya. Di saat yang sama, kami juga khawatir dari segi kekuatan karena kami hanya berjumlah 40-an orang, tentu sangat tidak cukup. Namun, kami juga berpikir untuk tidak merisaukan terlalu banyak. Yang penting lakukan saja. Jadi, pada saat-saat darurat, kami mulai bergerak. Setelah itu, tentu kami yang paling kami syukuri adalah pada tanggal 5 Juli, tim dari Suzhou dan Guangzhou juga datang. Saya merasa yang terpenting mereka membawa keyakinan, kegigihan, dan keberanian bagi kami. Tanggal 2 sampai 13 Juli adalah masa bantuan tanggap darurat kita. Saat terjun ke rumah-rumah warga, saya merasa dari segi materi, bantuan yang ada sangat terbatas bagi mereka. Namun, yang lebih penting adalah para relawan kita berinteraksi dengan mereka dan membuat mereka merasakan sebuah keyakinan dan sebuah kekuatan untuk bangkit kembali,” ucap Tang Fangliang, Relawan Tzu Chi.
“Lalu, kami juga memberikan beasiswa di Huitang, Ningxiang. Untuk itu, kami mengunjungi hampir 700 keluarga. Di antaranya, anak dari 24 keluarga harus segera mulai bersekolah. Waktunya sangat sempit. Kami bekerja sama dengan pemerintah dan berusaha membantu mereka sesegera mungkin. Ada anak yang berkata bahwa mereka merasa dilupakan oleh masyarakat dan merasa tidak beruntung. Tiba-tiba, kita memberi mereka beasiswa. Mereka merasa mereka harus giat belajar agar kelak bisa membalas budi masyarakat. Seorang anak juga berkata bahwa dia kelak ingin menjadi orang yang menyebarkan cinta kasih. Jadi, kita juga sangat terharu. Selain itu, pemerintah juga membuat kita tersentuh. Master telah membuka jalan kebenaran ini. Meski di masa penyaluran bantuan bencana ini kami juga harus bersusah payah dan mengalokasikan banyak waktu, tetapi sungguh, lewat semua yang telah kami lakukan ini, kami menemukan di mana jalan kebenaran itu,” ucap Bin Bin, Relawan Tzu Chi.
“Sesungguhnya, saat bencana datang, hati saya sangat sedih melihatnya. Saya sangat ingin menyerah. Mengapa ingin menyerah? Karena tiada barang yang bisa digunakan lagi. Berkat adanya perhatian dari sesama relawan Tzu Chi yang membantu saya membersihkan rumah setelah banjir surut, saya menjadi sangat terharu. Perhatian hangat yang dibawa kakak-kakak dari Tzu Chi membuat saya kembali memiliki keyakinan untuk membangun kembali klinik saya. Jadi, saya bersama istri saya juga bertekad untuk menjadi benih relawan pertama dalam kegiatan pelestarian lingkungan di Langli,” ucap Bin Bin, Relawan Tzu Chi.
Segala yang mereka laporkan, baik kisah manusia maupun hal lain, tak lepas dari Dharma yang mereka dengar setiap pagi. Mereka mampu menggabungkan antara prinsip kebenaran dan praktik nyata. Saya merasa terhibur meski harus bersusah payah mempersiapkan bahan pagi-pagi sekali setiap hari. Kini insan Tzu Chi di seluruh dunia mendengar ceramah pagi saya. Saya harap yang tidak mengerti dialek Taiwan masih bisa melihat tulisan. Untuk mempersiapkan tulisan, saya harus mengerahkan daya pikir untuk menulisnya. Setelah bertemu banyak orang, saya tidak menyia-nyiakan waktu semenit pun di ruang baca. Saya pasti duduk untuk mempersiapkan bahan untuk keesokan harinya. Kadang saya tidak punya waktu luang semenit pun. Setelah bernamaskara pada pagi hari, saya hanya punya waktu beberapa puluh menit untuk menyiapkan bahan. Waktunya sangat sempit. Setelah memberikan ceramah, waktu sarapan juga tidak sampai tiga puluh menit. Setelah makan, saya mulai bergegas menjalani kesibukan. Saya bahkan tidak punya waktu untuk melihat siaran berita selama 30 menit. Pada pukul tujuh pagi, saya memimpin pertemuan pagi relawan hingga pukul 8.30. Sebelum pukul 9.30, orang-orang sudah menunggu saya untuk rapat. Beginilah saya memulai aktivitas harian saya. Beginilah saya melewati waktu saya.
Bodhisatwa sekalian, kini saya juga tengah berlomba dengan usia kehidupan saya yang juga sudah mengirimkan sinyal peringatan. Saya tidak menyia-nyiakan setiap detik pun. Harap semua orang memahami secara mendalam kehidupan kita sendiri. Seiring berlalunya hari-hari di dalam kehidupan, jiwa kebijaksanaan kita harus bertumbuh. Kehidupan kita berlalu hari demi hari. Jika kini kita tidak memanfaatkan waktu saat kita masih bisa bebas berpikir dan bebas bergerak untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaan, maka entah kelak kita harus bagaimana. Jadi, harap semua bersungguh hati dalam segala hal.
Usia kehidupan terus berkurang seiring
waktu
Giat mengubah kesadaran menjadi
kebijaksanaan
Buah karma ditentukan oleh perbuatan
sendiri
Memanfaatkan
setiap waktu tanpa lengah sedikit pun
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 8 Oktober 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina