Ceramah Master Cheng Yen: Giat Menyimak dan Mempraktikkan Dharma dengan Hati Buddha
Buddha mengatakan bahwa kemunduran Dharma berkaitan dengan karma kolektif semua makhluk yang terus terakumulasi tanpa henti. Tiga bencana besar dan kecil terjadi terus-menerus. Intinya, kini kita harus memupuk pahala kebajikan. Artinya, kita harus menciptakan berkah.
Dengan menciptakan dan memupuk berkah, barulah kita bisa meredam bencana. Sebanyak apa pun uang yang kita kumpulkan, harta yang kita kumpulkan, dan reputasi yang kita cari, pada akhirnya semuanya akan sirna dan tidak dapat dibawa serta. Pada saat ini, seluruh dunia diliputi kekhawatiran dan ketakutan.
Belakangan ini, hampir setiap hari saya duduk di sini untuk mengadakan telekonferensi dengan insan Tzu Chi di seluruh dunia. Melihat para Bodhisatwa Tzu Chi begitu tekun dan bersemangat, saya sangat terharu. Semua ingat bahwa sejak tahun lalu saya berkata bahwa saya merasakan kekhawatiran yang sulit diucapkan. Saya merasa kekhawatirkan ini semakin sulit untuk dikatakan. Apa yang akan terjadi kelak? Bagaimana mengakhirinya?
Kini terjadilah pandemi COVID-19 yang virusnya tak terlihat, tak dapat diraba, dan tak dapat diprediksi keberadannya. Kapan pandemi ini akan berlalu, kita belum tahu. Dalam pandemi kali ini, saya mengatakan bahwa satu-satunya obat mujarab ialah semua orang harus mengungkapkan ketulusan. Kita harus tulus bertobat saat menengadah dan bersyukur saat menunduk.
Kita harus senantiasa bertobat. Manusia tidak luput dari kesalahan. Tubuh, ucapan, dan pikiran kita sulit terhindar dari kesalahan. Karena itu, kita harus senantiasa bertobat. Hanya ketulusanlah yang bisa memperbaiki kondisi.
Belakangan ini saya mendengar bahwa para relawan di seluruh dunia tengah membangkitkan ketulusan. Insan Tzu Chi telah bertekad dan berikrar serta saling mendukung. Semua orang telah mendengar seruan saya. Di pulau kecil sekalipun, seperti Sint Marteen dan lainnya, para relawan juga mendengar seruan saya. Mereka mendengarnya lewat jaringan internet.
Lewat jaringan internet, mereka mengadakan telekonferensi dengan saya. Kita telah melihat suami istri ini. Berhubung pulau itu tidak besar, mereka bertekad untuk mengimbau orang-orang di sana untuk bervegetaris. Berhubung pulau itu tidak besar, populasi di sana juga tidak banyak. Saya sudah pernah menceritakan tentang pulau itu. Saat menyalurkan bantuan, mereka membagikan tiga cangkir beras. Tiga cangkir beras ini melambangkan ucapan, tindakan, dan pikiran baik. Kalian ingat?
Di sanalah tempatnya. Relawan Tzu Chi kini juga telah menginspirasi para penerima bantuan. Berhubung di sana banyak warga kurang mampu, penerima bantuan juga diajak untuk menjadi donatur. Contohnya ialah Bapak Lai yang kita lihat ini. Para relawan membantu, mendampingi, mengasihi, dan merawatnya. Dia juga bersedia menyisihkan uang ke dalam celengan bambu.
“Saya sudah melakukan ini selama hampir tiga tahun. Setiap hari saya selalu mengulanginya. Beginilah kira-kira keseharian saya,” kata Bapak Lai, Penerima perhatian Tzu Chi.
“Berapa lama waktu Anda berolahraga dalam sehari?”
“Empat jam. Saya juga masih bisa berdiri, tetapi jika berdiri, akan repot karena saya juga harus mengikat tali. Karena tangan saya sering sakit, saya akan memukul-mukul seperti ini. Saat dia membantu saya meregangkan tubuh, saya tetap memukul-mukul seperti ini karena tangan kiri saya selalu sakit 24 jam dan bisa menjadi dingin. Tangan kanan saya normal, tangan kiri saya tidak. Jadi, harus dipukul seperti ini,” tambah Bapak Lai.
“Kakak Lai, saya masuk.”
“Baik, silakan masuk.”
“Bubur gandumnya sudah habis?”
“Hampir habis.”
“Kami khusus membelikan itu. Hari ini kami juga membawakan sereal.”
“Baik, terima kasih, Kak.”
“Dia bilang setiap bulan dia hendak menyumbang dua ratus dolar NT (Rp100 ribu). Namun, saya mempertimbangkan dengan kondisinya saat ini, kami berharap kondisinya dapat stabil terlebih dahulu. Ini lebih penting,” kata He Qing-zhi, Relawan Tzu Chi.
“Jadi, relawan kita menyarankan agar saya mengatakan kepada Bapak Lai agar menyumbang sebisanya dengan menyisihkan uang ke dalam celengan bambu. Ini mungkin akan lebih mudah dijalankan daripada mengeluarkan 200 dolar setiap bulan. Namun, isi celengannya selalu lebih dari 200 dolar, bahkan kadang mencapai 300 dolar,” tambahnya.
“Saya rasa jika mampu, kita harus membantu lebih banyak orang. Satu dolar dan sepuluh dolar tentu berbeda. Yang bisa dilakukan dengan satu dolar dan sepuluh dolar pasti berbeda, bukan? Sepuluh dolar mungkin bisa membantu sepuluh orang. Satu dolar mungkin hanya bisa membantu satu orang. Jadi, saya bersiteguh untuk memasukkan paling sedikit sepuluh dolar setiap hari agar dapat membantu sepuluh orang,” kata Bapak Lai.
Setiap kali melihat orang-orang yang berdonasi dengan semangat celengan bambu, saya selalu memuji mereka. Pertama, saya memuji kebijaksanaan mereka. Ada suatu kisah dari zaman Buddha. Saat itu, ada seorang nenek yang kurang mampu. Pakaiannya saja sudah robek. Dia hanya bisa mendanakan lipatan kain pada ujung pakaiannya.
Buddha kemudian berkata, "Potongan kain ini kelak akan menjadi bagian dari pakaian setiap anggota Sangha." Kini, potongan kain seperti itu selalu ada pada jubah setiap anggota Sangha. Potongan kain itu disebut meterai. Potongan kain itu disebut meterai. Buddha ingin setiap anggota Sangha menerima persembahan dari nenek itu. Jadi, potongan kain seperti itu selalu dijahitkan pada jubah Sangha sebagai meterai.
Begitulah Buddha menghargai semua makhuk. Meski miskin dan tidak mampu, tekad nenek itu amat kuat. Persembahan kecilnya itu diberikan dengan segenap niat dan tekadnya. Karena itu, Buddha sangat menghargainya. Inilah ketulusan. Jadi, kita amat bersyukur atas cinta kasih setiap orang, kecil ataupun besar.
Buddha berkata bahwa persembahan sepenuh jiwa raga akan mendatangkan pahala yang tak terhingga. Karena itu, saya sering memuji para insan Tzu Chi di Afrika. Meski hidup kurang mampu, mereka tetap menjalankan Tzu Chi secara mandiri. Begitulah mereka. Dengan menghimpun sedikit demi sedikit dana dari celengan bambu, mereka dapat membantu orang yang sama seperti mereka atau yang lebih kekurangan dari mereka.
Inilah mengapa saya terus-menerus memuji para relawan di Afrika. Mereka begitu tulus. Yang paling membuat saya kagum ialah mereka juga menerima Dharma dengan begitu tulus. Terlebih lagi, saat membabarkan Sutra, saya selalu berbicara dalam dialek Taiwan.
Untuk dapat memahaminya, mereka harus mengandalkan penerjemahan. Namun, saat berbagi Dharma, mereka dapat lebih menghayatinya daripada orang yang mendengar langsung. Makna dari Dharma yang saya sampaikan dapat mereka pahami dengan lebih baik. Sungguh, saya merasa insan Tzu Chi di mana pun memiliki ketulusan yang sama. Meski berbeda bahasa, tetapi hati kita tetap saling dekat.
Nama
dan keuntungan bersifat semu bagai mimpi di tengah malam
Giat
menanam berkah dan menjalin jodoh baik
Orang
kurang mampu yang kaya batin ada di mana-mana
Tulus
berdana dan menyatu dengan hati Buddha
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 05 Oktober 2020