Ceramah Master Cheng Yen : Hidup Tanpa Kemelekatan dan Senantiasa Mencurahkan Cinta Kasih
Untuk menjadi saksi sejarah bagi dunia dan mengukir sejarah Tzu Chi, dibutuhkan sumbangsih yang penuh kesungguhan hati dan cinta kasih. Ini membutuhkan tekad. Tanpa tekad, tidak ada yang bisa melakukannya. Membulatkan tekad untuk melakukan suatu hal dalam jangka panjang tidaklah mudah.
Setiap hari, di saat seperti ini, saya seharusnya melihat seorang juru kamera yang memiliki tekad yang teguh. Interaksi antara saya dan dia sangat sederhana. Saat saya memanggilnya, dia akan melihat saya sekilas dan segera berpindah posisi. Inilah interaksi kami. Dia merespons ucapan saya dengan berpindah posisi, biasanya seperti itu.
Dia sangat bersiteguh dan profesional dalam pekerjaannya. Adakalanya, saat kameranya didorong terlalu ke depan, saya akan berkata, “Xiao Chen.” Lalu, dia akan segera berpindah posisi. Untuk mendapatkan gambar yang bagus, dia harus mendekati orang-orang. Saya juga berkata, “Xiao Chen.” Lalu, dia segera berpindah posisi. Seperti inilah interaksi antara saya dan dirinya.
Kemarin pagi, saya terus mengikuti rapat. Siang hari, Kepala RS Lin datang ke Griya Jing Si dan kami pergi ke ruang makan untuk makan siang. Usai makan, saya keluar dari ruang makan dan berdiri sebentar. Kepala RS Lin juga menyusul. Saya berkata, “Makanlah.” Dia berkata, “Saya ingin memberi tahu Master bahwa pagi ini, Xiao Chen…” Saya berkata, “Ada apa dengan Xiao Chen?” Dia pun perlahan-lahan menceritakannya.
Saya sungguh sulit memercayai hal itu. Kemarin, saat saya menaiki tangga sebelum matahari terbit, saya tidak melihatnya dan merasa heran di mana dia berada. Ada yang memberi tahu saya bahwa dia datang setelah saya. Singkat kata, setiap pagi, asalkan dia tidak pulang, maka saya akan melihatnya di pagi hari. Namun, saya tidak terlalu memikirkan hal ini kemarin.
Saya berkata kepada Kepala RS Lin, “Mengapa tidak memberi tahu saya saat datang?” Dia berkata, “Saya ingin menunggu hingga Master selesai makan.” “Saya khawatir Master tidak bisa makan setelah tahu hal ini.” Ya, manusia memang memiliki perasaan. Kabarnya, Xiao Chen pernah berkata bahwa dia ingin mengembuskan napas terakhir di Griya Jing Si.
Kemarin, banyak orang yang melakukan kebaktian untuk mendoakannya dan melimpahkan jasa padanya. Tadi malam, saya mendengar bahwa banyak relawan di Taiwan dan luar Taiwan yang berbelasungkawa mendengar kabar tentang kepergiannya. Selain itu, relawan di berbagai tempat juga berdoa baginya. Sungguh, hidup manusia tidak kekal. Kehidupan di dunia ini memang sangat sederhana. Kehidupan hanya sebatas tarikan napas, tidak perlu melekat pada apa pun. Hidupnya terbebas dari kemelekatan.
Dia meninggal dunia dengan damai saat sedang duduk di kursi. Hubungannya dengan murid ciliknya lebih dekat dari ayah dan anak. Sejak duduk di bangku TK, anak itu sudah diajari oleh Xiao Chen. Di hari libur, dia selalu berada di sisi Xiao Chen. Hubungan mereka sangat dekat. Saya mendengar bahwa kemarin, anak itu terlihat sangat tenang. Sepanjang hari, siapa pun yang pergi untuk berbicara dengan Xiao Chen dan melafalkan nama Buddha untuknya, semuanya direkam oleh anak itu.
Sejarah hidup Xiao Chen sangat sederhana. Dalam hidupnya, dia mengukir sejarah Tzu Chi yang sangat penting dan indah. Kini hidupnya telah berakhir. Saya merasa sangat kehilangan, tetapi saya juga harus berkata bahwa Xiao Chen meninggal dunia dengan damai. Karena itu, kita harus merelakan kepergiannya. Semua orang hendaknya tidak melekat pada apa pun. Kita harus meneladani Xiao Chen yang tidak melekat pada apa pun. Dia meninggal dunia tanpa merasa kesakitan. Harapan terakhirnya telah terwujud.
Jika kita bisa hidup sederhana tanpa kemelekatan, apa lagi yang perlu kita perhitungkan? Sungguh, kita harus memahami kebenaran tentang lahir dan mati dan selalu mengingatnya dalam hati. Kita juga melihat di Malaysia, ada seorang Bodhisatwa lansia yang merupakan penerima bantuan Tzu Chi.
Suatu hari, dia tiba-tiba menghilang. Namun, insan Tzu Chi tidak menyerah padanya dan terus mencarinya. Ternyata, anggota keluarganya mengirimkannya ke panti wreda. Berhubung merasa tidak sampai hati, insan Tzu Chi pergi ke berbagai panti wreda untuk mencarinya.
“Dia terlihat sangat muram dan tua,” ungkap Deng Xiu-ying, Relawan Tzu Chi .
“Saya merasa sangat gembira. Saya tidak menyangka dia begitu memperhatikan saya hingga berusaha menemukan saya. Sekelompok relawan dari posko daur ulang juga pergi mengunjungi saya. Saya sungguh sangat tersentuh,” ungkap nenek Chen Ya-mei yang berusia 83 tahun.
Lalu, relawan kita mengantarnya pulang ke rumah. Kini dia juga melakukan daur ulang. Dia juga berniat menyumbangkan rumahnya. Suatu hari, dia meminta relawan kita mendampinginya untuk mencari pengacara sebagai saksi karena kelak, dia ingin menyumbangkan rumahnya kepada Tzu Chi agar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan amal atau kepentingan pendidikan. Dia melakukannya dengan sukarela. Inilah kesungguhan hatinya.
Dia telah berusia 80-an tahun. Memiliki para relawan yang lebih dekat dan lebih mengasihinya dari keluarga sendiri, tidak ada yang perlu dia sesalkan. Meski hidup sebatang kara, dia tetap bisa hidup bahagia tanpa kerisauan. Saya sungguh sangat bersyukur. Inilah kehangatan cinta kasih yang berasal dari hati manusia. Baiklah, singkat kata, kehidupan yang penuh kehangatan seperti ini juga diciptakan oleh manusia. Hidup kita baru bermakna jika kita dapat bersumbangsih. Antarmanusia hidup damai dan berinteraksi dengan penuh cinta kasih, inilah kehidupan yang kita inginkan.
Menjadi saksi sejarah bagi dunia dan mengukir sejarah Tzu Chi
Hidup sederhana tanpa kemelekatan dapat mendamaikan hati
Menghadapi lahir dan mati dengan tenang karena memahami kebenaran
Insan Tzu Chi tidak menyerah dan terus mencurahkan cinta kasih
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 20Februari 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 22 Februari 2017