Ceramah Master Cheng Yen: Jejak Cinta Kasih di Jalan Bodhisatwa
Pemberkahan Akhir Tahun merupakan acara tahunan kita. Dalam perjalanan kali ini, saya bertemu dengan insan Tzu Chi wilayah metropolitan Taipei. Mereka sangat harmonis.
Relawan kita membentuk barisan yang Panjang dan sangat tertib. Semua orang mengucapkan kalimat yang sama, "Saya mengasihi Master." Saat saya ingin membalas ucapan mereka, mereka dengan cepat berkata, "Kami akan mengasihi yang Master kasihi."
Saya belum sempat mengatakan apa-apa untuk membalas ungkapan cinta kasih mereka, mereka sudah dengan kompak berkata bahwa mereka akan mengasihi yang saya kasihi.
Sungguh, ada puluhan ribu kata yang dapat kalian gunakan untuk mengungkapkan kasih sayang kalian terhadap saya, sedangkan jawaban saya selalu sangat sederhana, "Kasihilah yang saya kasihi." Jawaban saya sangat sederhana. Dengan cinta kasih, kita menjangkau makhluk yang menderita.
Buddha mengajari kita bahwa Bodhisatwa datang ke dunia ini demi menjangkau makhluk yang menderita. Sungguh, para Bodhisatwa Tzu Chi ini selalu menjangkau makhluk yang menderita. Kita bisa melihat banyak bencana yang terjadi di seluruh dunia. Penderitaan di dunia ini tidak habis untuk diulas. Tahun ini, hingga kini, bencana dan pandemi masih terus berlangsung.
Sebelum melakukan perjalanan, di Griya Jing Si, Hualien, saya melakukan telekonferensi setiap hari dan mengimbau insan Tzu Chi di seluruh dunia untuk meningkatkan kewaspadaan dan bersungguh-sungguh melakukan persiapan untuk menolong orang-orang yang menderita. Insan Tzu Chi mengemban misi dengan berani. Setiap hari, saya menerima laporan tentang bagaimana insan Tzu Chi melakukan persiapan. Ini dilakukan oleh insan Tzu Chi di berbagai negara.
Saat ada waktu luang untuk memikirkan hal ini, saya sungguh bersyukur. Saya bersyukur lebih dari 50 tahun yang lalu, saya membangkitkan niat yang luar biasa untuk menolong orang yang membutuhkan.
Kini Tzu Chi telah memasuki usia ke-55 tahun. Sebagian relawan senior di Taipei pun telah bergabung 40 tahun lebih.
Ada tiga relawan yang merupakan saudara angkat. Mereka adalah umat Buddha yang taat. Mereka menyatakan berlindung pada Tiga Permata dan mengikuti kebaktian di vihara bersama. Kemudian, mereka mengenal saya.
Setelah itu, dengan sepenuh hati dan tekad, mereka menjalankan Tzu Chi bersama saya. Saat itu, saya berkeliling Taiwan. Mereka mengantarkan saya untuk melakukan survei kasus dari rumah ke rumah. Mengenang saat itu, saya sungguh meninggalkan jejak langkah nyata dengan kedua kaki saya.
Lihatlah lansia berusia 101 tahun di Sanzhi, Taipei itu. Beliau hidup sebatang kara dan tidak ada orang yang merawatnya. Setelah mengetahui kondisinya, relawan kita secara bergilir mengunjunginya untuk merawatnya. Kita memperhatikan semua detail dalam kesehariannya, termasuk apa yang disukainya.
Di Hualien pun demikian. Ada seorang nenek yang merupakan orang pertama yang saya rawat secara langsung. Bagaimana cara kita merawatnya? Kita meminta tetangganya untuk mengantarkan makanan tiga kali dalam sehari dan mengupah orang untuk membantunya dan membersihkan rumahnya setiap hari. Kita terus merawatnya hingga beliau meninggal dunia. Beliau merupakan penerima bantuan pertama kita.
Para lansia yang jatuh sakit dan hidup sebatang kara sungguh mengalami penderitaan yang tak terkira. Kita bisa melihat insan Tzu Chi berinisiatif untuk mengasihi, menjaga, dan merawat mereka sehingga kehidupan mereka berubah total. Kita mencurahkan perhatian pada lansia seperti ini hingga akhir hayat mereka.
Setelah menjangkau mereka, insan Tzu Chi akan mencurahkan perhatian hingga akhir hayat mereka. Saya sering bersyukur atas hal ini.
Terkadang, kita mendengar insan Tzu Chi berbagi tentang pengalaman mereka dahulu. Meski saat itu kasus yang diterima tidak banyak, tetapi kita mengasihi dan menjaga setiap penerima bantuan seperti keluarga dan orang tua sendiri.
Kini, kita sering mendengar tentang perawatan jangka panjang. Saya berkata bahwa lebih dari 50 tahun yang lalu, kita sudah memulai perawatan jangka panjang. Banyak penerima bantuan yang tinggal di rumah yang beratap pendek sehingga kita harus membungkukkan badan untuk masuk ke rumah mereka.
Setelah masuk ke dalam, kita juga tidak bisa berdiri tegak dan harus tetap membungkukkan badan untuk berbicara dengan mereka. Melihat orang-orang yang menderita seperti ini, timbul rasa tidak tega di dalam hati kita. Sungguh, kita merasa tidak tega. Karena itulah, kita mengambil satu langkah lagi.
Lebih dari 50 tahun lalu, kita menggalakkan semangat celengan bambu. Dengan himpunan tetes-tetes donasi kecil, kita harap berkesempatan untuk menolong orang yang membutuhkan. Saya membangkitkan niat seperti ini untuk menghimpun cinta kasih lebih banyak orang. Dengan cinta kasih, barulah kita dapat meredam bencana. Demikianlah kita menyebarkan cinta kasih.
Kita menginspirasi cinta kasih orang-orang lewat donasi kecil. Tak disangka dengan semangat celengan bambu, kini kita dapat mencurahkan perhatian di lebih dari 100 negara dan wilayah. Bantuan kita mencakup bantuan jangka Panjang dan bantuan darurat.
Kini Tzu Chi telah tersebar di 60-an negara dan wilayah sehingga saat ada yang membutuhkan, relawan di sekitarnya dapat memberikan bantuan. Dengan adanya Tzu Chi, tercipta banyak kesempatan untuk menolong sesama.
“Di tengah cuaca yang begitu buruk, saya bersyukur kalian mau datang dari Sydney. Saya melihat dan mendengar doa, curahan perhatian, dan sumbangsih penuh cinta kasih kalian. Saya sungguh sangat bersyukur,” kata Linda korban bencana.
“Mengagumkan. Kalian penuh welas asih. Cinta kasih kalian akan tersebar di komunitas,” kata korban bencana lainnya.
Bencana di seluruh dunia
tak habis untuk diulas
Menjangkau makhluk yang
menderita dengan kesatuan hati dan tekad
Jejak cinta kasih di
Jalan Bodhisatwa
Cinta kasih universal
senantiasa menyertai
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 10 November 2020