Ceramah Master Cheng Yen: Kehangatan Tertulus Diwariskan hingga Selamanya
Lewat siaran berita, kita melihat dan mendengar tentang ketidakselarasan iklim, tanaman pangan yang gagal panen, dan serangan hama belalang yang juga menimbulkan kerugian besar bagi petani.
Ada pula kebakaran hutan di AS yang belum bisa dipadamkan dalam waktu singkat. Api tidak berperasaan. Begitu kebakaran terjadi, api akan terus merambat. Bagi orang yang berkemah di pegunungan, begitu kebakaran hutan terjadi, mereka harus melarikan diri.
Untuk apa kita mencari penderitaan sendiri? Jadi, dalam keseharian, kita harus waspada. Kapan kebakaran hutan di AS bisa padam? Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain turut merasa khawatir.
Kebakaran itu bukanlah sangat jauh dari kita ataupun tidak berkaitan dengan kita. Kebakaran itu juga terjadi di Bumi ini. Kita semua menghirup udara yang sama serta hidup di kolong langit dan di atas bumi yang sama. Meski lokasi kebakaran agak jauh dari kita, tetapi semua orang yang hidup di Bumi ini menghirup udara yang sama. Jadi, agar dunia ini tenteram, kita harus bersungguh hati mengasihi dan melindungi Bumi.
Kita bisa melihat para Bodhisatwa daur ulang lansia yang telah berusia 70-an, 80-an, bahkan 90-an tahun. Mereka bertekad untuk melakukan daur ulang karena saya berkata bahwa kita harus melindungi Bumi. Dengan cinta kasih yang murni dan tanpa pamrih, setiap orang berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan daur ulang. Ini bagaikan sebuah kisah dalam Sutra.
Di sebuah hutan yang dilanda kebakaran, ada seekor burung pipit yang berusaha semaksimal mungkin untuk memadamkan api dengan tubuhnya yang kecil. Dia berulang kali mencelupkan tubuhnya ke dalam air dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan harapan dapat memadamkan api dengan percikan air dari tubuhnya. Ia berusaha semaksimal mungkin meski kekuatannya sangat kecil. Kita juga harus berusaha semaksimal mungkin.
Saat hidup damai dan tenteram, kita harus bermawas diri dan berhati tulus. Saat bencana terjadi, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk bersumbangsih. Hidup berdampingan dengan alam, inilah tanggung jawab kita sebagai manusia. Ini juga demi mewujudkan ketenteraman bagi semua orang.
Kita juga melihat kisah yang menyentuh. Kali ini, Tiongkok dilanda banjir besar. Berhubung curah hujan sangat tinggi, pintu air Waduk Wangjia harus dibuka. Jika pintu air ini dibuka, 200.000 orang akan terkena dampak bencana. Namun, jika tidak dibuka, mungkin akan ada 100 juta orang yang terkena dampak bencana.
Bagaimana pemerintah mengambil keputusan? Mereka memutuskan untuk membuka pintu air dan mengorbankan 200.000 orang demi melindungi lebih dari 100 juta orang. Semua itu mendatangkan penderitaan. Mereka terpaksa mengambil keputusan itu demi melindungi lebih banyak orang.
Selain itu, juga ada banyak tanaman pangan yang mengalami kerusakan. Intinya, ini akibat ketidakselarasan empat unsur alam. Kita bisa melihat bahwa puncak pohon pun terendam air, apalagi tanaman pangan yang hanya berada di permukaan tanah. Kita bisa membayangkannya.
Begitu banjir surut, insan Tzu Chi segera melakukan survei dan memberikan bantuan bencana. Kali ini, saat insan Tzu Chi pergi untuk memberikan bantuan, cuaca tetap sangat panas. Melihat insan Tzu Chi yang bersumbangsih di bawah terik matahari, warga setempat bersyukur sekaligus tidak tega.
“Mengapa Anda terpikir untuk mengantarkan payung bagi kami?” kata salah satu relawan.
“Karena cuaca sangat panas. Sinar matahari terlalu terik,” jawab nenek Huang Shuzhen.
Di sana, ada beberapa insan Tzu Chi yang terkena serangan panas. Namun, mereka enggan berhenti bersumbangsih. Setelah duduk sebentar di tempat yang sejuk, mereka kembali bersumbangsih karena tidak tega terhadap penerima bantuan yang menunggu di tengah cuaca yang panas.
Para relawan kita harus menghadapi cuaca yang panas, para penerima bantuan pun demikian. Berhubung bisa berpikir di posisi orang lain, para insan Tzu Chi enggan beristirahat. Demikianlah insan Tzu Chi. Insan Tzu Chi tidak tega melihat makhluk lain menderita. Saya sangat tersentuh melihatnya.
Lebih dari 20 tahun lalu, insan Tzu Chi pernah membagikan bantuan di beberapa desa. Ada sebagian warga yang masih menjaga barang bantuan saat itu dengan baik. Mereka menyimpannya sebagai kenang-kenangan.
“Surat pemberitahuan pembagian bantuan ini sangat bermakna bagi saya. Jadi, saya menyimpannya. Saya mengingatkan diri sendiri untuk membina cinta kasih. Kami sangat tersentuh oleh sumbangsih kalian. Dengan mewariskan surat ini, saya dapat mengajari anak cucu saya untuk membina cinta kasih hingga selamanya,” kata Cao Xinchen warga.
“Sampai sekarang, Kakek sayang untuk mengenakan jaket itu karena menganggapnya barang bersejarah. Mengapa jaketnya masih terlihat baru? Beliau tidak pernah mengenakannya karena itu adalah barang bersejarah baginya,” kata Wu Jinyu relawan Tzu Chi.
“Saya menyimpannya karena ia mewakili niat baik kalian. Saya tidak pandai berbicara, tetapi saya bisa memberi tahu kedua cucu saya untuk mengingat niat baik para relawan dari Taiwan,” kata Sun Longjiao warga.
Mereka menyimpan barang bantuan, seperti jaket musim dingin dan selimut, dan menjaganya dengan baik demi mewariskannya pada anak cucu dan memberi tahu mereka tentang Tzu Chi. Kita bisa melihat para relawan kita dan penerima bantuan saling mengasihi dan memperhatikan.
Orang yang bersumbangsih tidak takut bekerja keras dan orang yang menerima bantuan bersyukur, tersentuh, dan terinspirasi untuk membalas budi dengan bersumbangsih. Inilah kekuatan cinta kasih di dunia ini. Dunia yang penuh kehangatan dan ketulusan sungguh indah.
Mendedikasikan kehidupan dan tekun bersumbangsih
Bekerja keras untuk memberikan bantuan dengan rasa empati terhadap penerima bantuan
Kehangatan tertulus diwariskan hingga selamanya
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 10 September 2020