Ceramah Master Cheng Yen: Lima Kekeruhan Menjadi Tanah Suci

Selama berkalpa-kalpa  yang tak terhitung, Buddha Sakyamuni melatih diri dengan tekun dan bersemangat dari kehidupan ke kehidupan. Beliau terus belajar dari setiap Buddha. Buddha melatih diri seperti itu. Dari kehidupan ke kehidupan, Beliau selalu membangun ikrar  untuk terjun ke tengah masyarakat guna mempraktikkan Jalan Bodhisatwa dan menjalin jodoh dengan makhluk hidup.

Setelah selesai menjalin jodoh dengan semua makhluk, Beliau baru bisa mencapai kebuddhaan. Buddha Sakyamuni juga harus menjalin jodoh yang banyak agar saat membabarkan Dharma, Beliau bisa mendapat kepercayaan dari semua makhluk. Karena itu, sering ada perkataan, "Keyakinan adalah ibu dari segala pahala."


Kita melatih diri untuk mengembangkan pahala (gong de). Sebenarnya, "gong" berarti keterampilan, "de" berarti sifat luhur. Pahala bukan berarti hadiah atau berkah dari apa yang telah kita lakukan. Sebenarnya, yang terpenting adalah melatih tubuh dan batin kita. Masalah terbesar dalam kehidupan kita adalah tubuh ini. Segala perbuatan buruk dilakukan secara konkret lewat tubuh ini. Ketamakan, kebencian, dan kebodohan, ada dalam bentuk pikiran di dalam batin kita. Jadi, tubuh kitalah yang mewujudkan pikiran yang timbul di dalam batin.

Selain itu, keyakinan yang menyimpang akan membuat kita tersesat. Pikiran yang menyimpang sedikit saja dapat membuat kita jauh tersesat. Saat timbul suatu niat dalam pikiran, tubuh kita dapat mewujudkannya. Jika kita percaya takhayul atau memiliki kemelekatan pada keyakinan yang tidak benar, keyakinan yang tidak benar, maka noda batin kita akan bertambah. Semua itu bergantung pada pola pikir. Pola pikir menentukan tindakan, arah hidup kita, dan sebagainya.


“Adakalanya saya akan berpikir bahwa jika dahulu saya tidak minum minuman keras, mungkin saja tubuh saya akan sangat sehat. Karena minum minuman keras, sekarang tubuh saya sudah bermasalah.

Mengapa dahulu saya tidak memiliki kebijaksanaan itu? Sepanjang hari saya tenggelam dalam minuman keras dan tidak berpikir untuk melakukan hal yang bermakna,” kata seorang relawan.

Segala perbuatan lewat tubuh kita dan apa yang dirasakan oleh tubuh ini ditentukan oleh pikiran. Jika pikiran diliputi kebodohan, kita akan terus terjerumus. Bagaimana kita melenyapkan noda batin yang timbul dalam pikiran kita?

“Sekarang saya berpikir bahwa jika diberi tubuh yang sehat, saya pasti akan sungguh-sungguh menebus kesalahan saya di masa lalu. Saat itu ada cairan di perut saya dan membuat saya merasa tidak nyaman. Berdiam seharian di rumah juga tak ada artinya. Istri saya berkata, "Kamu bisa pergi ke posko daur ulang dan menganggapnya sebagai olah raga, lama atau sebentar tidak masalah.",” tambahnya.

“Melatih diri harus mengandalkan usaha diri sendiri dan harus didasari keyakinan yang murni. Memakai seragam ini kadang rasanya sangat tidak bebas. Berjalan secara sembrono juga tidak boleh, ingin meludah juga tidak boleh, merokok juga tidak boleh. Banyak yang tidak boleh dilakukan. Namun, perlahan-lahan saya berpikir bahwa itu adalah hal baik. Perlahan-lahan saya mengubah tabiat buruk saya.


Jika memiliki keyakinan yang murni, kita akan menerima prinsip yang benar dan tidak menyimpang. Kita harus membulatkan tekad untuk melenyapkan noda batin seperti itu. Kita harus bersikap pengertian dalam hubungan dengan orang lain. Jika ada yang sengaja mengganggu kita, kita harus berlapang dada.

Bodhisatwa sekalian, Tzu Chi merupakan sebuah tempat pelatihan Bodhisatwa. Kita harus berusaha agar Dharma bisa terus diwariskan. Kita harus sering berbagi Dharma. Kebijaksanaan dalam Dharma harus menjadi bagai air bersih yang membersihkan kekotoran batin manusia. Kita memiliki tanggung jawab untuk mengubah zaman kemunduran Dharma menjadi zaman kemurnian Dharma. Semua orang memiliki tanggung jawab ini. Saat bertemu orang atau teman, kita bisa terus menceritakan apa yang telah Tzu Chi lakukan untuk membawa manfaat bagi orang di seluruh dunia.

Kita bisa melihat orang-orang yang tadinya diliputi kesulitan, berkat satu kalimat Dharma, pola pikirnya berubah sehingga kehidupannya pun berubah dari tidak ada harapan menjadi penuh harapan. Ini semua adalah Dharma yang baik. Bodhisatwa sekalian, saya sangat berharap agar semua orang tekun dan bersemangat. Pada masa Lima Kekeruhan dan kemunduran Dharma seperti ini, kita harus membangun ikrar dan mewariskan Dharma.

Kita harus menyerap Dharma ke dalam hati dan berbagi dengan orang lain tentang apa yang kita pahami. Kata-kata baik yang kita ucapkan pasti akan menyucikan hati manusia karena Dharma bagaikan air yang bisa mengairi ladang batin semua makhluk sehingga benih kebaikan bisa bertunas. Benih bodhi akan menjadi hutan Bodhi.


Bodhisatwa sekalian,  lebih banyaklah menyerap Dharma. Jangan hanya membicarakan masalah duniawi, melainkan lebih banyaklah membahas ajaran Buddha yang telah kita dengar, lakukan, dan jalankan. Bodhisatwa bagaikan bunga teratai yang tumbuh di tengah lumpur, tetapi bisa memperindah kolam berlumpur. Di tengah lumpur, ia menyerap nutrisi sehingga bisa mekar dengan indah. Begitu pula Bodhisatwa yang harus terjun ke tengah masyarakat untuk melihat penderitaan dan menyadari berkah.

Kita bisa menyerap pelajaran dalam diri setiap orang untuk menambah wawasan kita. Dengan begitu, kebijaksanaan kita akan bertumbuh. Semoga semua orang dapat menggunakan pola pikir yang benar, menghargai waktu, dan tekun dalam menyerap Dharma. Dengan demikian, barulah kita bisa menyebarkan Dharma ke tengah masyarakat agar masa kemunduran Dharma menjadi masa kemurnian Dharma dan Lima Kekeruhan menjadi Tanah Suci.

Semoga semua orang tidak menyia-nyiakan waktu. Waktu tidaklah kekal. Hidup kita panjang atau pendek, itu bergantung pada diri kita sendiri. Begitu pula dengan kedalaman dan keluasan makna hidup kita. Kehidupan yang bermakna dalam dan luas  lebih penting daripada usia panjang. Apakah kalian paham? (Paham) Baik. Terima kasih kepada kalian semua yang senantiasa tekun dan bersemangat di mana pun berada. Semoga kalian mendengar perkataan saya. Saya mendoakan kalian dengan tulus. Semoga kalian setiap hari bersemangat dan bertumbuh dalam kebijaksanaan.

Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -