Ceramah Master Cheng Yen: Melangkah dengan Mantap dalam Pelatihan Diri

Dalam perjalanan saya kali ini, ada satu hari di mana saya berangkat dari Taichung dan singgah di beberapa titik sehingga perlu naik turun mobil. Saya merasa waktu sangat sempit dan terburu-buru. Jika saya tidak menggenggam waktu saat ini, entah apakah masih ada kesempatan berikutnya.

Apakah saya masih bisa berkunjung ke setiap tempat? Saya tidak tahu. Jadi, sepanjang perjalanan menuju Utara, saya terus berharap dapat singgah di setiap kantor cabang dan perwakilan Tzu Chi. Selama tempatnya dapat dijangkau, saya akan singgah.

Melihat para relawan di setiap tempat, saya merasa prihatin. Rasa terima kasih saya tak berkurang sedikit pun, tetapi saya merasa prihatin. Begitu melihat mereka, saya merasa bahwa waktu benar-benar menggerus masa muda manusia.

Waktu terus berlalu. Rupa manusia juga terus berubah. Yang paling mudah terlihat ialah rambut yang memutih. Yang lainnya tak perlu saya katakan.

Rupa manusia berubah seiring waktu. Manusia menua, rambut memutih, tubuh membungkuk. Singkat kata, waktu membawa pergi segalanya. Kehidupan dan segala sesuatu di dalamnya tergerus oleh waktu detik demi detik tanpa benar-benar kita sadari. Tanpa kita sadari, semuanya sudah berubah.

Sesungguhnya, ini adalah proses yang alamiah. Manusia mengalami fase lahir, tua, sakit, dan pada akhirnya mati saat kesadaran berpisah dari tubuh. Begitulah kehidupan.


Kita tidak tahu terlahir di dalam keluarga mana. Namun, saat akan pergi, kita harus tahu hendak pergi ke mana. Jika setiap hari pikiran kita dipenuhi hal baik, tubuh kita senantiasa berbuat baik, dan mulut kita juga bertutur kata baik, itulah Bodhisatwa. Bodhisatwa bertutur kata baik untuk membimbing semua makhluk ke arah yang benar di Jalan Bodhisatwa.

Kita melangkah dengan mantap tanpa menyia-nyiakan waktu. Dengan demikian, kita bisa menjadi Bodhisatwa. Kita mengajarkan praktik Bodhisatwa di dunia demi membimbing semua makhluk yang tersesat untuk mencapai kesadaran dan memiliki cinta kasih. Asalkan kita dapat melakukan ini semua, saat ini kita menjadi Bodhisatwa. Jadi, tidak sulit untuk menjadi Bodhisatwa.

Selama kita bisa mengendalikan pikiran kita sendiri, kita dapat menjalankan pelatihan diri setiap saat dan dapat membimbing orang lain ke arah yang benar. Inilah menyadarkan diri sendiri dan makhluk lain. Kita menyadarkan diri sendiri dan orang lain. Inilah yang terpenting dalam mempelajari ajaran Buddha. Ini juga merupakan tujuan utama kehidupan kita. Inilah tujuan kita dalam kehidupan ini. Kita harus merealisasikannya. Bagaimana caranya?

Dalam kehidupan ini, karena memiliki nyawa dan tubuh ini, kita dapat mendengar ajaran Buddha. Kita harus berjalan sesuai arah yang Buddha ajarkan. Karena itu, belakangan ini saya juga sering berkata bahwa kita harus bersyukur atas kehidupan kita.


“Selamat pagi, Master.”

“Kakek Guru, kami mengasihi Kakek Guru.”

“Master, kami mengasihi Master.”

“Master, selamat datang kembali di rumah. Para murid Jing Si di Daan akan bergandengan tangan dan bersatu hati serta terhubung dengan hati Master. Terima kasih, Master,” kata semua relawan di Aula Jing Si Daan, Taipei.

Terhubung saya tidak cukup, harus menempel. Baik, hati harus saling terhubung dan menempel. Saya senang sekali. Cinta kasih ada di sepanjang lorong. Indah sekali. Saya mendoakan kalian semua. Terima kasih.

Saya berterima kasih kepada relawan di setiap tempat. Rasa terima kasih ini datang dari lubuk hati saya. Sepertinya jalinan jodoh di antara kita sudah terjalin dari berbagai kehidupan lampau.

Dalam perjalanan kali ini, di otak saya terus timbul pemikiran seperti ini. Dari kehidupan ke kehidupan, jalinan jodoh ini terus berlanjut hingga kini. Tanpa jalinan jodoh, sulit bagi kita untuk merampungkan hal besar. Jadi, dunia ini adalah ladang pelatihan Bodhisatwa. Tanpa makhluk yang menderita, tidak ada Bodhisatwa.


Bodhisatwa muncul karena adanya makhluk yang menderita. Kebuddhaan juga dicapai di alam manusia. Di luar alam manusia, tiada ajaran Buddha untuk berlatih. Di alam manusia ini ada makhluk yang menderita dan ada makhluk yang penuh berkah. Makhluk yang penuh berkah bersedia untuk terjun ke tengah penderitaan untuk membantu. Inilah ladang pelatihan Bodhisatwa.

Dengan meminjam kondisi penderitaan di dunia, Bodhisatwa menempa batin sendiri serta mempraktikkan welas asih dan kebijaksanaan. Inilah yang disebut mengembangkan berkah dan kebijaksanaan secara bersamaan. Bagaimana orang yang memiliki berkah harus memupuk kebijaksanaan?

Di dunia ini ada berbagai jenis penderitaan dan wujud ketidakkekalan yang tak terhitung. Dalam kondisi-kondisi itu, kita dapat mempraktikkan kebijaksanaan kita untuk mengurai penderitaan orang lain.

Melihat penderitaan di dunia, kita menggunakan welas asih kita untuk membantu agar mereka terlepas dari penderitaan. Inilah Bodhisatwa.

Di alam manusia, barulah ada kesempatan menjadi Bodhisatwa. Dengan rampungnya praktik Bodhisatwa, barulah kita mencapai kebuddhaan. Karena itu, dikatakan bahwa jika kualitas sebagai manusia tidak tercapai, kualitas sebagai Buddha juga tak akan tercapai. Untuk dapat menjadi Buddha, kita harus terlebih dahulu menyempurnakan kualitas diri kita. Untuk itu, kita harus bersumbangsih. Inilah cara kita meningkatkan kualitas diri.

Waktu terus berlalu dan rupa manusia terus berubah
Menjalin jodoh Dharma dari kehidupan ke kehidupan
Terjun ke tengah penderitaan serta membangkitkan welas asih dan kebijaksanaan
Bertekad menjadi Bodhisatwa yang penuh kesadaran dan cinta kasih

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 19 Desember 2020       
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 21 Desember 2020
Dengan kasih sayang kita menghibur batin manusia yang terluka, dengan kasih sayang pula kita memulihkan luka yang dialami bumi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -