Ceramah Master Cheng Yen: Melangkah Maju dengan Tekun dan Bersemangat
Sebelum matahari terbit, para staf kita mulai berjalan
dari Aula Jing Si Hualien menuju Griya Jing Si. Saat matahari belum terbit, ada
lampu jalan yang menerangi jalan. Saat mereka tiba di Griya Jing Si, matahari
telah terbit dan langit sudah terang benderang. Mereka berjalan dari gelap
hingga terang. Kapan langit menjadi terang? Semua itu terjadi secara perlahan tanpa
kita sadari.
Para staf Tzu Chi yang kembali ke Griya Jing Si akan
melakukan pekerjaan bersama para bhiksuni. Ini merupakan pengalaman yang
berbeda. Hari ini, kita dipenuhi sukacita dan hati kita menyatu satu sama lain.
Kita bisa merasakan keindahan alam dan sukacita. Namun, pada saat yang sama, orang-orang
di wilayah lain merasakan hal yang berbeda.
Setiap hari, saya mengulas tentang
ketidakselarasan unsur alam. Kita juga melihat kebakaran hutan yang sangat
serius di California, AS. Apakah api sudah dipadamkan? Belum sepenuhnya. Hingga
kini, sudah ada 7.000 unit rumah terbakar. Para korban kebakaran sangat sedih karena
harta benda mereka terbakar begitu saja. Yang lebih menyedihkan adalah timbulnya
korban jiwa dan korban luka-luka. Inilah ketidakkekalan hidup dan kerentanan
bumi.
Para korban kebakaran harus memulai segalanya
dari awal lagi. Apa yang akan terjadi tak bisa diprediksi. Para korban
kebakaran sangat menderita. Bagaimana kita memandang kaya dan miskin? Bisakah
kita menemukan titik keseimbangan di antaranya? Orang kaya takut kehilangan, sedangkan
orang miskin bisa dengan mudah berpuas diri setelah menerima ajaran Buddha.
Di Afrika, para relawan kita hidup kekurangan, tetapi
mereka tidak merasa menderita. Dengan hati seluas alam semesta, mereka bisa
merasa damai dalam segala kondisi. Mereka bisa tinggal di mana pun. Mereka bisa
tidur dengan bumi sebagai ranjang dan langit sebagai atap. Kini, saat pergi ke
Swaziland, mereka sudah memiliki tempat untuk menginap.
Sesungguhnya terdapat kisah yang menyentuh di
baliknya. Sebelumnya, untuk mengadakan pembagian bantuan atau rapat di
Swaziland, kita meminjam sebuah gereja. Gereja tersebut tidak besar, tetapi
cukup untuk kebutuhan kita. Bermula dari niat baik, seorang pendeta meminjamkan
gereja pada relawan kita. Beliau turut mendengarkan saat relawan kita
mengadakan rapat dan sangat tersentuh.
Melihat insan Tzu Chi membagikan bantuan, beliau
semakin tersentuh. Sejak saat itu, jika ada umat gerejanya yang mengalami
kesulitan, beliau akan melaporkannya pada Tzu Chi. Seperti inilah jalinan jodoh
terbentuk. Perlahan-lahan, pendeta tersebut terinspirasi dan bergabung ke dalam
Tzu Chi dengan tulus. Pada akhir tahun dua tahun lalu, beliau kembali ke Taiwan
untuk dilantik. Kemudian, beliau pun pulang ke Swaziland.
Di Swaziland terdapat sebidang lahan milik
seorang kepala suku yang merupakan keluarga kerajaan. Selama beberapa tahun
ini, beliau juga sangat tersentuh oleh relawan setempat. Melihat para relawan
tidak memiliki tempat untuk mengadakan rapat dan berkumpul, beliau pun menyatakan
bahwa beliau ingin menyumbangkan lahan tersebut pada Tzu Chi. Di atas lahan itu
juga terdapat bangunan. Beliau ingin menyumbangkan lahan itu, tetapi
keluarganya tidak setuju.
Keluarganya berkata, “Jika kamu menyumbangkan
lahan ini pada organisasi Buddhis, kelak kamu akan masuk neraka.” Pendeta tadi
lalu berkata pada kepala suku ini, “Jika
menyumbangkan lahan pada Tzu Chi akan masuk neraka, saya akan masuk neraka
bersamamu.” Lalu, pendeta itu berbagi dengan beliau tentang Tzu Chi yang
dilihatnya di Taiwan dan hal-hal yang Tzu Chi lakukan di seluruh dunia.
Kepala suku itu pun memutuskan untuk
menyumbangkan lahan itu. Pusat komunitas yang kita lihat ini didirikan dengan
bantuan insan Tzu Chi Afrika Selatan. Bangunan tersebut termasuk cukup luas. Lihatlah,
saat berkunjung, insan Tzu Chi Afrika Selatan bukan langsung menginap di sana. Mereka
harus membeli pulsa listrik terlebih dahulu. Setelah membeli pulsa listrik, mereka
baru bisa mengisi daya laptop dan terhubung dengan internet di sana.
Di Taiwan, kita bisa menikmati segalanya dengan
leluasa, tetapi lain halnya dengan di sana. Untuk mendengar Dharma di pagi
hari, insan Tzu Chi harus menggunakan kendaraan ini. Mereka melakukan
perjalanan berulang kali untuk menjemput para relawan.
“Mari
kita bersikap anjali dan berikan penghormatan kepada Buddha. Penghormatan
pertama, penghormatan kedua, penghormatan ketiga,” ujar Insan Tzu Chi Swaziland.
“Mari kita keluarkan pena dan buku catatan kita,”
ujar Insan Tzu Chi Swaziland lainnya.
Meski video yang mereka tonton hanya 10 menit, tetapi
mereka membutuhkan dua jam karena harus menerjemahkan dan menjelaskannya. Mereka
harus menerjemahkannya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa setempat. Itu
tidaklah mudah. Namun, mereka menyerap Dharma ke dalam hati dan
mempraktikkannya secara nyata. Setelah mendengar Dharma, mereka juga saling
berbagi pemahaman. Mereka mempraktikkan apa yang mereka dengar. Karena itulah,
saya sering berkata bahwa insan Tzu Chi Afrika Selatan adalah mutiara hitam yang
bersinar cemerlang.
“Sejak mereka masuk ke Swaziland pada tahun 2012, saya
banyak belajar lewat mereka. Mereka senantiasa memikirkan kami yang berada di
Swaziland. Apa pun yang mereka lakukan, mereka selalu kembali pada kami. Mereka
mengajari kami untuk rendah hati dan menghormati satu sama lain. Kita juga
tidak boleh membeda-bedakan dan harus senantiasa memiliki semangat tim,” ujar Ci Di Insan Tzu Chi
Afrika Selatan.
“Tujuan saya adalah menjangkau lebih banyak orang agar
mereka bisa menyebarkan cinta kasih ke negara-negara lain sehingga benih-benih
cinta kasih dapat menyelimuti seluruh dunia. Inilah ikrar yang saya bangun. Tidak
perlu khawatir. Kini ada banyak relawan muda yang mengerjakan tugas yang saya
kerjakan. Kita akan memberikan teladan pada mereka karena mereka adalah masa depan kita. Hingga kini saya masih terus mengemban
misi. Adakalanya, kaki saya terasa lelah, tetapi asalkan tubuh saya masih bisa
bergerak, saya akan bersumbangsih hingga akhir hayat saya karena ini adalah
misi dari Master,” sambung Ci Di.
Singkat kata, insan Tzu Chi di Afrika bersumbangsih
dengan tulus dan sepenuh hati. Mereka mengatasi berbagai kesulitan. Kita harus
menggenggam waktu. Segala sumbangsih kita di dunia in akan meninggalkan jejak
untuk selamanya. Saya sungguh sangat bersyukur para Bodhisatwa terus melangkah
maju. Saya juga berharap hati setiap orang dapat dipenuhi cinta kasih untuk
selamanya. Saya mendoakan kalian.
Perubahan yang
terjadi menunjukkan ketidakkekalan
Menyerap Dharma ke
dalam hati dan membabarkannya dengan penuh sukacita
Menyumbangkan lahan
dengan cinta kasih yang dilandasi pandangan benar
Melangkah maju dengan tekun dan bersemangat
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 21 Oktober 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina