Ceramah Master Cheng Yen: Membangkitkan Welas Asih Agung untuk Menolong Orang yang Menderita
“Setetes air pun tidak ada Tidak ada air yang dapat diminum hewan ternak,” ucap salah satu warga di India.
“Sumur sedalam 50 meter pun telah kering. Level air tanah menurun secara drastis,” kata kepala desa di India.
Suhu udara di India telah mencetak rekor baru, yakni 51 derajat Celsius. Selain itu, bencana kekeringan juga mengakibatkan gagal panen sehingga para petani sulit untuk bertahan hidup. Ada lebih dari 400 petani yang memilih untuk bunuh diri. Masalah krisis air di sana sungguh sangat parah. Kita hendaknya memandang lebih jauh, jangan hanya melihat sekeliling kita saja. Begitu membuka keran air, kita bisa memperoleh air dengan mudah. Kita seharusnya memandang lebih jauh. Di atas bumi yang sama, beberapa wilayah telah kekeringan hingga tanahnya retak dan warganya sulit untuk meminum seteguk air. Ini sungguh mengkhawatirkan dan mengerikan. Saya sungguh merasa berat hati. Melihat kondisi iklim yang tidak bersahabat dan hubungan antarmanusia yang tidak harmonis, bagaimana saya bisa merasa tenang?
Kita juga melihat arus pengungsi yang ditimbulkan oleh bencana akibat ulah manusia. Memperoleh tempat tinggal yang aman saja sangat sulit bagi para pengungsi. Pikirkanlah, bisakah kita tidak bersyukur atas kondisi kita saat ini? Bisakah kita tidak membangkitkan welas asih agung? Berhubung dapat turut merasakan kepedihan dan penderitaan orang lain, saya sungguh merasa berat hati. Sungguh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Saya sering berkata kepada diri sendiri, “Kekuatan manusia sangatlah kecil.” “Dengan kekuatan yang begitu kecil, untuk apa manusia saling bertikai?” “Mengapa manusia masih tidak tersadarkan?” Setiap orang hendaknya menyadari bahwa sebanyak apa pun harta kekayaan seseorang, hidupnya tetap penuh dengan ketidakkekalan dan hanya puluhan tahun. Namun, manusia terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam, memproduksi barang, dan melakukan promosi.
Tanpa disadari, manusia telah mencemari udara dan merusak Bumi. Kerusakan dan pencemaran yang ditimbulkan manusia sangatlah parah. Demi kesenangan sesaat, orang-orang terus membeli barang-barang yang mereka sukai. Akibatnya, kehidupan masyarakat menjadi tidak selaras. Lalu, bagaimana dunia bisa aman dan tenteram? Jika Bumi sehat, barulah manusia bisa hidup aman dan tenteram. Berhubung hidup setiap orang bergantung pada Bumi, maka kita harus mengasihi dan memperhatikan Bumi agar Bumi tetap sehat dan temperaturnya dapat menurun. Saat suhu tubuh kita meningkat, berarti tubuh kita terserang penyakit. Jadi, saat temperatur Bumi meningkat, itu juga berarti bahwa Bumi sedang terserang penyakit. Saat jatuh sakit, kita membutuhkan orang lain untuk merawat dan memperhatikan kita. Saat Bumi jatuh sakit, bisakah kita sebagai manusia mengasihi dan berempati terhadap Bumi? Pikiran manusia dan Bumi merupakan satu kesatuan. Jika Bumi tidak tenang, maka pikiran manusia juga tidak tenang. Jika pikiran manusia tidak tenang, maka unsur alam tidak akan selaras. Karena itu, manusia harus sungguh-sungguh membangkitkan cinta kasih yang penuh rasa empati untuk mengasihi sesama dan Bumi dalam kehidupan sehari-hari.
Kita juga melihat Saleh di Malaysia. Meski menganut agama yang berbeda, tetapi dengan mengubah pola pikirnya, dia bisa menerima ajaran Buddha. Dengan sumbangsih-sumbangsih kecil, dia bisa menolong banyak orang. “Meski hasil penjualan barang daur ulang tidak banyak, tetapi dengan banyaknya orang yang berdonasi, kami bisa bersama-sama berbuat baik,” ucap Saleh, salah satu penderita penyakit ginjal. Dia tahu bahwa meski dirinya menderita penyakit, tetapi masih ada orang yang penyakitnya lebih parah darinya. Dia juga tahu bahwa meski dirinya kekurangan, tetapi masih ada orang yang lebih kekurangan darinya. Karena itu, meski harus menjalani cuci darah, dia bersedia menjadi relawan daur ulang. Dia mengimbau warga di desanya untuk melakukan daur ulang hingga orang yang semula salah paham padanya akhirnya bersedia membantunya.
“Tak semua orang menyerahkan barang daur ulang. Sebagian orang mengira bahwa saya menjualnya untuk diri sendiri. Saya menjelaskan bahwa itu bukan untuk diri saya saja, melainkan untuk semua penderita penyakit ginjal. Meski hasil penjualannya sangat kecil, tetapi lama-kelamaan akan terhimpun banyak. Saya berharap kegiatan ini dapat dilanjutkan. Saya ingin berpesan kepada setiap orang bahwa meski saya sudah tiada, mereka tetap bisa mengumpulkan barang daur ulang di sini. Meski saya sudah tiada, pasien lain tetap membutuhkan bantuan,” kata Saleh. Lihatlah, dengan cinta kasih dan kesabaran, relawan kita mendampinginya dan membantunya menjalani cuci darah. Saat menjalani cuci darah, dia mengenal Dharma serta bisa menerima dan mempraktikkannya. Jadi, setiap tempat merupakan ladang pelatihan. Pusat cuci darah juga merupakan ladang pelatihan.
Kita juga bisa melihat Ekuador. Kini, tim penyaluran bantuan gelombang ketiga masih berada di Ekuador. Kita sungguh sangat tersentuh melihat sumbangsih para relawan kita, terutama Ji Jue. Saat akan pergi ke Ekuador untuk kedua kalinya sebagai ketua tim penyaluran bantuan gelombang ketiga, pesawat terbang yang akan ditumpanginya mengalami gangguan teknis. Lalu, dia pun terbang dengan pesawat lain. Lihatlah betapa berbahayanya perjalanan itu. Meski demikian, setelah tiba di Ekuador, dia segera berfokus pada misinya. Inilah kekuatan cinta kasih. Orang yang menolong sesamalah yang disebut sebagai Bodhisatwa. Singkat kata, setiap orang harus menyelaraskan pikiran masing-masing. Di Ekuador, kita telah menabur benih cinta kasih. Benih-benih cinta kasih ini telah tertanam di dalam hati warga keturunan Tionghoa di sana. Saya yakin kelak, negara ini akan menambah kekuatan kita di Amerika Selatan untuk menolong lebih banyakorang yang menderita.
Pikiran manusia yang tidak selaras menimbulkan bencana
Memperhatikan Bumi dengan cinta kasih yang penuh rasa empati
Menerima Dharma, mengubah pola pikir, dan giat bersumbangsih
Berfokus menolong orang yang menderita tanpa memedulikan diri sendiri
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 24 Mei 2016
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 25 Mei 2016