Ceramah Master Cheng Yen: Membentangkan Jalan Bodhisatwa untuk Mencapai Kebuddhaan
Gunung, sungai, bumi, dan segala materi
yang kita lihat, baik besar maupun
kecil, kasar maupun halus, semuanya mengalami fase pembentukan, keberlangsungan,
kerusakan, dan kehancuran seiring berlalunya waktu. Segala
sesuatu di alam semesta mengalami fase terbentuk, berlangsung, rusak,
dan hancur. Dengan prinsip yang sama, manusia
juga mengalami fase lahir, tua, sakit, dan mati.
Di dunia ini, kita mengalami pertumbuhan dari anak-anak
menjadi remaja dan seterusnya seperti segala sesuatu di alam semesta yang terbentuk,
berlangsung, rusak, dan hancur. Segala sesuatu di alam semesta terbentuk,
berlangsung, rusak, dan hancur, sedangkan manusia mengalami fase lahir, tua,
sakit, dan mati. Meski kata-katanya berbeda, tetapi keduanya dilandasi prinsip
yang sama.
Begitu pula dengan pikiran kita yang
mengalami fase timbul, berlangsung, berubah, dan lenyap. Kapan
pun sebersit niat timbul, niat tersebut akan berada di dalam pikiran
kita, baik jangka panjang maupun pendek. Sebersit
niat yang timbul dalam sekejap bisa bertahan lama dalam pikiran kita. Rasa
sukacita, marah, sedih, dan bahagia di dalam pikiran kitalah yang menimbulkan cinta
kasih, benci, kasih sayang, dan dendam.
Perpaduan perasaan yang rumit inilah yang
menimbulkan ketamakan, kemarahan, dan kebodohan di dunia ini. Karena ketamakan,
manusia terus merusak alam demi mengejar keuntungan. Ini membuat gunung,
sungai, dan bumi menjadi tercemar. Berhubung unsur alam sudah tidak selaras, maka
bencana alam kerap terjadi. Di dunia ini, seiring berlalunya waktu, gunung,
sungai, bumi, dan segala sesuatu yang berwujud perlahan-lahan mengalami
kerusakan. Karena itulah, zaman sekarang disebut sebagai era kerusakan.
Rusaknya tempat tinggal manusia bukan
hanya karena bencana alam, juga karena bencana akibat ulah manusia. Di era
kerusakan ini, pikiran manusia tidak selaras dan alam semesta juga
perlahan-lahan mengalami kerusakan. Kekuatan alam sungguh menakutkan. Kita
sungguh harus menyucikan hati manusia secepat mungkin. Tidak peduli menganut
agama apa, kita harus menghormati dan menyemangati satu sama lain untuk
menyucikan hati manusia dan membina cinta kasih.
Pada zaman sekarang, sangat penting untuk bersumbangsih
secara nyata dengan cinta kasih. Lihatlah insan Tzu Chi di Afrika. Di negara
miskin seperti Mozambik, para relawan duduk di atas tanah. Meski hidup
kekurangan, mereka bersedia bersumbangsih semampu mereka. Mereka juga menerima
beras bantuan dari Taiwan. Mereka mengumpulkan karung-karung beras, lalu
menggunting dan menjahitnya menjadi tas ramah lingkungan. Tas-tas itu dijual
dalam bazar. Seperti inilah mereka bersumbangsih.
Selain itu, mereka juga menanam sayuran dan
mengimbau orang-orang untuk berpola hidup hemat. Berhubung menanam sayuran, mereka
juga menggalakkan pola makan vegetaris. Menyelamatkan Bumi harus dimulai dari memperbaiki
pola hidup. Saat sayuran sudah bisa dipanen, mereka akan memetiknya. Lalu, masing-masing
relawan akan membawa sayuran. Barisan relawan yang panjang ini, semuanya
bertekad untuk bervegetaris. Mereka terjun ke jalan untuk menyosialisasikan bahwa
bervegetaris bermanfaat untuk kesehatan serta dapat menghemat uang dan
menyelamatkan Bumi.
Dengan bijaksana dan penuh cinta kasih, mereka
mengimbau orang-orang bervegetaris. Dengan cara yang sederhana, mereka berusaha
untuk menggalakkan pola makan vegetaris. Bayangkanlah, bagaimana bisa saya
tidak sering mengulas tentang murid-murid saya yang baik ini? Mereka
mempraktikkan Dharma secara nyata. Akumulasi sumbangsih mereka telah membentuk
kekuatan besar meski mereka hidup kekurangan. Jadi, kita harus bersungguh hati menghimpun
kekuatan cinta kasih.
Gema doa mereka yang tulus telah
menjangkau para Buddha, Bodhisatwa, dan Tuhan. Banyak di antara mereka yang
menganut agama Katolik atau Kristen. Namun, mengemban misi Tzu Chi tidak
bertentangan dengan agama mereka. Mereka menerima dan mempraktikkan apa yang
Tzu Chi ajarkan pada mereka. Mereka mulai memperbaiki pola hidup dan
membangkitkan kekayaan batin mereka untuk bersumbangsih.
Dahulu, mereka hidup di lingkungan yang
miskin dengan batin yang miskin pula. Kini, mereka tetap hidup di lingkungan
yang miskin, tetapi batin mereka sudah tidak miskin karena mereka sangat tekun.
Mereka tahu bahwa dengan mengerahkan tenaga, Mereka tahu bahwa dengan
mengerahkan tenaga, mereka bisa menghasilkan sesuatu dan memiliki kekuatan untuk
menolong sesama. Dengan demikian, mereka bisa menolong diri sendiri sekaligus
orang lain.
Kini mereka sangat antusias dalam
menjalani hidup mereka. Mereka sangat tekun dan bersemangat. Selama beberapa
tahun ini, saya sungguh menganggap para relawan di sana sebagai Bodhisatwa
dunia. Karena itulah, saya sering menyebut mereka sebagai mutiara hitam yang
bersinar cemerlang. Mereka sungguh membuat orang tersentuh. Kecemerlangan
mereka membuat orang sangat tersentuh.
Bodhisatwa sekalian, kita semua memiliki kesadaran
hakiki yang setara dengan Buddha. Buddha berkata bahwa Beliau tidak memberikan apa
pun pada kita. Buddha bukan menganugerahkan sesuatu pada kita, melainkan
menunjukkan arah pada kita. Saya juga merasakan bahwa kita semua memiliki arah tujuan
yang sama. Setiap orang memiliki kekuatan untuk membentangkan jalan. Buddha
hanya menunjukkan arah pada kita. Itu saja.
Bisa mencapai kebuddhaan atau tidak bergantung
pada kita bersedia menjadi Bodhisatwa atau tidak. Dengan melakukan praktik
Bodhisatwa, kita telah membentangkan Jalan Bodhisatwa. Kita harus membentangkan
inci demi inci jalan dengan cinta kasih. Inilah Jalan Bodhisatwa. Inilah nilai
sesungguhnya dari seorang Bodhisatwa dunia.
Perasaan manusia yang rumit menimbulkan banyak karma buruk
Jangan tamak dan melekat pada apa pun karena segala sesuatu adalah
kosong
Bersumbangsih dengan bijaksana dan penuh cinta kasih meski hidup
kekurangan
Kembali pada kesadaran hakiki
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 1 Oktober 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina