Ceramah Master Cheng Yen: Mempraktikkan Welas Asih untuk Menginspirasi Cinta Kasih
“Saya adalah relawan Tzu Chi. Kami semua adalah relawan,” ucap relawan kala berkunjung di rumah penerima bantuan. “Hari Senin Anda juga harus pergi berobat,” lanjut relawan.
“Melangkah di jalan yang rata pun terasa berat,” aku relawan kepada dokter ketika berjalan bersama untuk mengunjungi penerima bantuan. “Yang mana?” tanya dokter. “Ini,” jawab relawan sambil menepuk kakinya.
“Nomor 50. Istirahat sejenak,” pinta dokter. “Ya, istirahat sejenak,” sahut relawan setuju.
Wilayah Yuli sangat luas dengan sedikit warga. Insan Tzu Chi juga tidak banyak. Relawan di sana sudah sangat senior. Contohnya Relawan Lin Yu-long yang telah menjadi relawan Tzu Chi selama 20 tahun lebih. Begitu pula dengan Mei-ying. Mereka berdua sudah menjadi relawan selama hampir 30 tahun.
“Kakak Yu-long mengemban misi di seluruh Zhuoxi. Dia berkata bahwa wilayahnya terlalu luas. Karena itu, saya menyarankan untuk membaginya menjadi dua bagian. Saya juga akan mengemban misi di wilayah utara Zhuoxi,” jelas Liang Mei-ying.
Kini usia mereka sudah hampir 80 tahun. Rata-rata usia relawan di Yuli sekitar 70 tahun. Pada usia lanjut seperti itu, mereka masih mendaki pegunungan yang luas untuk menjalankan misi Tzu Chi. Mereka mencurahkan perhatian kepada 490 keluarga. Dengan anggota komite dan Tzu Cheng yang hanya berjumlah 100 orang lebih, mereka harus mengemban misi di wilayah yang begitu luas.
Selain mencurahkan perhatian secara rutin kepada 490 keluarga itu, jika ada laporan kasus baru, mereka juga harus melakukan survei kasus. Saat staf rumah sakit kita memberi pelayanan medis rutin ke rumah warga, relawan kita juga ikut serta. Bayangkanlah, misi kesehatan, amal, dan pelestarian lingkungan, tak ada satu pun yang terlewatkan oleh mereka. Selain itu, tanggung jawab mereka juga sangat besar. Saya sungguh sangat tersentuh.
“Sesungguhnya, hari ini kita akan bertemu dengan para koordinator survei kasus. Berhubung kemarin adalah hari daur ulang, semua relawan melakukan daur ulang. Kami melakukannya dari pagi hingga siang hari di mana cuaca sangat panas. Panasnya cuaca membuat banyak relawan kelelahan sehingga tidak bisa hadir hari ini. Sesungguhnya, yang hadir hari ini juga sangat lelah. Kondisi seperti ini bukan baru sehari atau dua hari. Selama saya mengadakan kegiatan di sini, hampir setiap hari terjadi kondisi seperti ini. Karena itu, saya semakin tidak sampai hati melihat setiap relawan senior kita mengemban berbagai tanggung jawab,” tutur Huang Li-xue.
“Beberapa relawan yang Anda sebutkan tadi, hampir semuanya pernah menjalani operasi. Namun, saat akan menjalani operasi, mereka masih memikirkan misi mereka. Usai menjalani operasi, mereka segera kembali bersumbangsih meski harus mengenakan pelindung pinggang. Ketua Heqi kita juga demikian. Lalu, bagaimana jika ada kegiatan? Dalam suatu kegiatan, kita melihat ada tujuh atau delapan relawan yang mengenakan pelindung pinggang karena menjalani operasi. Meski mengenakan pelindung pinggang, mereka tetap menjalankan misi,” lanjutnya.
Mereka selalu memikirkan tanggung jawab mereka. Usai menjalani operasi, mereka juga tidak rela beristirahat. Dengan mengenakan pelindung pinggang, mereka tetap keluar untuk bersumbangsih. Kabarnya, setiap relawan mengenakan pelindung lutut atau pinggang. Singkat kata, kita harus menggenggam waktu.
“Yang dikatakan Relawan Lin juga benar. Pada usia 16 tahun, saya mulai belajar melantunkan Sutra dan memberi persembahan pada Buddha. Saya yakin pada Buddha, memberi persembahan pada Buddha, dan melafalkan nama Buddha, tetapi tidak terpikir untuk meneladani Buddha. Setelah mendengar ajaran Master tentang meneladani Buddha, saya pun sadar bahwa kita harus meneladani perbuatan Buddha, bukan hanya melafalkan nama Buddha atau memberi persembahan untuk memohon perlindungan,” jelas Lin Yu-long.
Kini dia tahu bahwa harus meneladani Buddha. Kita sungguh harus menggenggam waktu dan memanfaatkan tubuh kita untuk membawa manfaat bagi masyarakat. Meski dia pernah menjalani operasi mata dan dokter berpesan padanya untuk beristirahat selama sebulan, tetapi dia merasa bahwa berdiam di rumah malah lebih tidak nyaman. Dia lebih memilih keluar untuk bersumbangsih. Dia menggenggam setiap detik dalam hidupnya. Dia sangat mengagumkan.
Untuk menciptakan kehidupan yang bermakna, kita tidak boleh menyia-nyiakan semenit atau sedetik pun untuk bersumbangsih di berbagai tempat. Namun, mereka juga perlu merekrut relawan baru karena sudah berusia lanjut. Mereka membutuhkan relawan baru untuk membantu mengemban misi dan meneruskan estafet cinta kasih ini. Jika tidak, kelak siapa yang akan mengemban misi Tzu Chi di Yuli yang begitu luas? Jadi, cinta kasih harus diwariskan.
Buddha membabarkan Dharma untuk membimbing orang-orang. Tzu Chi juga harus membimbing orang-orang untuk bersumbangsih bagi dunia ini. Melihat mereka berkeliling wilayah pegunungan dan melakukan daur ulang di kaki gunung, saya sungguh sangat kagum. Mereka sungguh patut dipuji. Inilah Bodhisatwa dunia. Ini sungguh tidak mudah.
Jika setiap orang bisa mencurahkan sedikit cinta kasih, maka semua orang di komunitas akan mendapat curahan perhatian. Contohnya keluarga di Luzhou yang terdiri atas ibu dan putra. Sang ibu terus mengumpulkan barang daur ulang dan menyimpannya di rumahnya.
“Saya menyimpannya di rumah karena putra saya berkata bahwa sekarang harga barang daur ulang semakin turun. Jadi, saya mengumpulkannya di rumah. Saya mengumpulkannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi begitu banyak,” cerita Ibu Chen, seorang penerima bantuan.
Selama bertahun-tahun, rumah mereka dipenuhi tumpukan sampah. “Dia sudah belasan tahun mengumpulkan barang daur ulang. Kondisi kehidupannya sangat sulit,” ujar, Ding Lian-jin, Lurah setempat. “Saya sering melihat banyak tikus berlarian, bahkan memanjat ke lantai lima. Saya tinggal di lantai lima, tikus juga memanjat ke atas. Kami tidak tahu di dalam rumah mereka ada begitu banyak sampah. Saya tidak tahu, tambah Huang Qiong-kuan, tetangga Ibu Chen.
Hampir 80 orang relawan Tzu Chi memenuhi gang itu selama 3,5 jam untuk membersihkan rumah itu. Meski aroma kamar kecil sangat tidak sedap, tetapi relawan yang membangkitkan tekad agung bisa bertahan menghadapi aroma tersebut. Ini sungguh membuat orang sangat tersentuh.
“Terima kasih, para relawan Tzu Chi. Saya sungguh melihat pasukan semut yang sangat luar biasa, ungkap Wang Li-zhen, mantan Lurah. “Tanpa kalian yang berkomunikasi dengannya, kondisi tidak akan membaik. Terima kasih. Entah bagaimana berterima kasih pada kalian. Saya sungguh sangat tersentuh, terima kasih,” imbuh Huang Qiong-kuan.
Jika manusia bisa saling membantu dan menyatukan kekuatan kecil, maka akan terbentuk kekuatan besar. Singkat kata, untuk menjaga kelestarian lingkungan, kita harus menyucikan hati manusia terlebih dahulu. Untuk menciptakan dunia yang hangat dan harmonis, kita harus membangkitkan cinta kasih. Ini sangatlah penting.
Mengasihi semua makhluk tanpa memedulikan diri sendiri
Anak kecil menolong para pengungsi dengan penuh sukacita dan tanpa pamrih
Membersihkan rumah penerima bantuan tanpa takut kotor
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 22 Februari 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 24 Februari 2017
Editor: Metta Wulandari