Ceramah Master Cheng Yen: Menaati Sila dengan Hati yang Murni

Belakangan ini, saya sering melakukan telekonferensi. Saya mendengar bahwa setiap negara membutuhkan dan meminta bantuan berupa masker. Berhubung membutuhkan, maka mereka meminta bantuan. Setiap hari, saya mendengar laporan seperti ini. Relawan dari berbagai negara membahas satu topik yang sama. Meski bahasa mereka berbeda-beda, tetapi mereka menyampaikan hal yang sama.

Pada tanggal 17 April, saya melakukan telekonferensi dengan insan Tzu Chi Myanmar. Hari itu bertepatan dengan Tahun Baru Myanmar. Meski Tahun Baru adalah masa yang menggembirakan, tetapi tahun ini, orang-orang dilarang untuk berkumpul. Kita mengenal relawan di Myanmar dengan baik.

Di sana terdapat sekelompok relawan yang bukan orang berada. Belasan tahun lalu, kita mulai menjalin jodoh dengan mereka. Jalinan jodoh ini terus berlanjut dari tahun ke tahun dan kita telah memiliki sekelompok relawan setempat. Kita memahami kondisi kehidupan warga setempat.

Kisah segenggam beras juga berasal dari Myanmar. Setelah dilanda penderitaan, mereka memiliki jalinan jodoh untuk bertemu dengan Bodhisatwa. Saat Bodhisatwa terjun ke tengah masyarakat untuk membimbing orang-orang, bahkan orang yang menderita pun memiliki jalinan jodoh untuk bertekad dan berikrar menjadi penyelamat dalam hidup orang lain.

 

Contohnya pasangan suami istri yang menyisihkan uang ke dalam stoples plastik. Meski uang kertasnya sudah lembap dan berjamur ataupun mereka kekurangan uang, mereka tidak berani menggunakannya. Saat Bodhisatwa terjun ke tengah masyarakat untuk membimbing orang-orang, Mereka menjaga setiap lembar uang tersebut agar tetap bersih dan sering menjemurnya di bawah sinar matahari. Jika matahari tidak bersinar, mereka akan menyetrikanya hingga rapi.

Beberapa tahun kemudian, sang suami bertemu dengan relawan Tzu Chi berseragam biru putih di jalan. Dengan penuh sukacita, dia berkata, “Berkunjunglah ke rumah saya.” Dia berharap dapat mewujudkan ikrarnya. Setelah tiba di rumahnya, relawan kita melihat dan mendengar banyak kisah yang menyentuh. Semua uang kertas yang mereka sisihkan sudah disetrika.

Lihatlah betapa banyaknya uang di tangannya. Mereka terus menyisihkan uang sedikit demi sedikit selama beberapa tahun dan tidak berani menggunakannya karena itu merupakan uang Bodhisatwa. Setelah bertekad dan berikrar, mereka menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Ini sungguh tidak mudah. Meski sangat membutuhkan uang, mereka tetap tidak akan menggunakannya. Ini menunjukkan ketulusan mereka.

Dengan adanya ketulusan dan ikrar, menghadapi kondisi sesulit apa pun, mereka bisa menjaga pikiran mereka dan tidak membangkitkan ketamakan karena kekurangan. Berhubung mereka telah menyumbangkan uang itu kepada Bodhisatwa, maka itu merupakan uang Bodhisatwa. Meski sangat kekurangan, mereka tetap tidak akan menggunakan uang Bodhisatwa.

 

Begitu pula dengan donasi yang dikumpulkan oleh para relawan kita. Kita tidak pernah melewatkan sepeser pun dan selalu memastikan semuanya digunakan pada tempatnya. Kedua hal ini dilandasi oleh prinsip yang sama. Bodhisatwa harus menaati sila. Inilah yang disebut menaati sila. Semua orang menaati sila.

Menghadapi wabah kali ini, insan Tzu Chi terus memberi perhatian. Setiap orang menjahit masker. Berhubung tidak dapat membeli masker, para relawan kita pun menjahitnya sendiri.

“Kami mendapatkan sampel dari para bhiksuni di Griya Jing Si. Kami menjahit sesuai sampel tersebut. Akibat wabah COVID-19, saya berdiam di rumah sehingga memiliki lebih banyak waktu luang untuk menjahit masker,” tutur Lin Jia-hui, relawan Tzu Chi.

“Siang hari, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, saya memotong kain terlebih dahulu. Malam hari, saya mulai menjahit. Bisa membantu menjahit masker selama COVID-19 mewabah, saya juga sangat gembira,” kata Khin Sandar Thant yang juga relawan Tzu Chi.

“Saya tidak pernah menyangka bahwa keterampilan menjahit saya bisa digunakan untuk menolong sesama. Awalnya, saya tidak tahu ukuran masker sehingga lebih sulit. Dalam sehari, saya hanya bisa menjahit 2 helai masker. Sekarang saya sudah tahu. Dalam 8 hari, saya sudah menjahit 400 helai masker,” ujar Aye Aye Hling, relawan Tzu Chi.

 

Intinya, kita kekurangan cinta kasih untuk memperhatikan orang lain. Kita sering kali mengabaikan cinta kasih. Saya berharap kita dapat bersungguh-sungguh membina dan menghimpun cinta kasih serta menaati aturan. Lihatlah di dalam ruangan ini, semua orang saling menjaga jarak. Inilah yang disebut menaati aturan.

Kita juga membimbing orang-orang untuk bervegetaris. Berkat adanya jalinan jodoh, relawan kita bisa berinteraksi dengan murid-murid dan sekelompok sramaneri cilik serta menyemangati mereka untuk bervegetaris. Kita berharap orang-orang dapat memahami bahwa bervegetaris sangatlah mudah dan makanan vegetaris juga sangat lezat.

Singkat kata, saya ingin mengingatkan orang-orang untuk menghindari makanan nonvegetaris. Kita juga harus saling menjaga jarak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus menjaga kebersihan dan memperhatikan makanan yang dikonsumsi. Kita sebaiknya jangan mengonsumsi daging. Bagaimanapun, virus COVID-19 kemungkinan besar berasal dari hewan. Meski kini belum jelas, tetapi kita telah memiliki arah, yakni jangan mengonsumsi daging hewan liar.

Bagaimana dengan hewan lain? Mereka juga memiliki kehidupan. Jadi, kini kita harus sila, juga harus bervegetaris dengan hati yang paling tulus dan murni.

Bodhisatwa terjun ke tengah masyarakat untuk membimbing orang yang menderita
Berikrar dengan tulus untuk memupuk pahala
Bervegetaris dan mengendalikan nafsu keinginan dengan hati yang murni
Menghormati alam dan hidup berdampingan dengan semua makhluk

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 20 April 2020            
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, Stella
Ditayangkan tanggal 22 April 2020
Hanya dengan mengenal puas dan tahu bersyukur, kehidupan manusia akan bisa berbahagia.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -