Ceramah Master Cheng Yen: Menapaki Jalan Bodhisatwa dengan Berani, Tekun, dan Bersemangat

“Saya berharap semua warga Myanmar bisa menyisihkan segenggam beras. Anak saya juga akan meneruskan kebiasaan ini,” kata U Myint Soe, seorang petani.

“Kami menggunakan beras dari delapan desa untuk membantu lansia yang hidup sebatang kara dan orang-orang kurang mampu. Kekuatan satu orang terbatas. Kita harus menghimpun kekuatan semua orang, baru bisa menolong lebih banyak orang,” kata petani lainnya, U San Thein.

Pada tahun 2008, Myanmar dilanda bencana besar. Karena bencana itulah, Tzu Chi mulai menjalin jodoh di Myanmar. Saat pergi ke Myanmar, relawan kita melihat banyak petani kurang mampu yang harus meminjam bibit padi agar bisa bercocok tanam. Bibit padi yang mereka pinjam dikenakan bunga yang sangat tinggi.

Setiap kali panen, setelah membayar utang, sisanya hanya cukup untuk mengenyangkan keluarga. Ini menjadi siklus yang buruk sehingga mereka terus-menerus hidup kekurangan. Bagaimana cara kita menolong mereka? Agar mereka tidak perlu meminjam bibit padi, kita pun membagikan bibit padi kepada mereka.

doc tzu chi

Setelah menerima bantuan, warga setempat juga terinspirasi untuk menolong sesama. Meski diri sendiri hidup kekurangan, mereka juga bisa membangkitkan cinta kasih. Semangat celengan bambu Tzu Chi bisa mereka pahami dengan mudah. Meski tidak bisa menyisihkan uang, mereka bisa menyisihkan beras.

Semangat celengan beras mulai menyebar dan dipraktikkan di desa-desa di Myanmar. Saya mendengar bahwa kini mereka bukan hanya bisa mengenyangkan perut sendiri, tetapi juga bisa menolong orang-orang yang sangat kekurangan, seperti lansia yang hidup sebatang kara dan janda. Jadi, orang-orang kurang mampu berkesempatan untuk menapaki Jalan Bodhisatwa berkat orang-orang yang lebih kekurangan dari mereka.

Meski hidup mereka tidak begitu makmur dan harus bekerja keras baru bisa memperoleh hasil panen yang cukup untuk bertahan hidup, tetapi mereka berniat untuk menolong sesama. Setelah Tzu Chi memberikan bantuan, warga pun mulai terinspirasi menjadi relawan. Kita juga melihat dari tahun 2011 hingga 2016, anggota TIMA setempat telah memberikan pelayanan medis bagi lebih dari 5.000 pasien katarak. Mereka sungguh menciptakan berkah bagi dunia.

“Sebagai seorang pembabar Dharma, memiliki penglihatan yang baik baru bisa membaca Sutra dengan baik. Saya sangat bersyukur bisa menjalani operasi gratis di sini sehingga penglihatan saya bisa pulih di usia lanjut ini,” ujar U Wee Mar Lar, seorang pasien.

doc tzu chi

“Bisa menggunakan keahlian saya untuk bekerja sama dengan organisasi amal dari luar negeri sehingga pasien yang membutuhkan bisa memperoleh bantuan, saya merasa sangat terhibur.

Saya akan terus bekerja sama dengan Tzu Chi untuk menggelar baksos bagi pasien katarak,” ungkap dr. Nay Lin, Kepala rumah sakit setempat.

“Tzu Chi menggelar baksos bagi pasien katarak. Setelah penglihatan mereka pulih, akan tumbuh cinta kasih di dalam hati mereka. Setelah pulang ke kampung halaman mereka, mereka bisa mengembangkan cinta kasih ini untuk menolong sesame,” kata U Kyaw Khin, seorang pengusaha.

Saya sungguh sangat bersyukur. Ke mana pun insan Tzu Chi melangkah, orang-orang di sana akan memperoleh berkah. Insan Tzu Chi merupakan Bodhisatwa yang menjadi penyelamat dalam hidup orang lain. Ini sungguh tidak mudah. Mereka juga menggelar baksos di desa terpencil.

doc tzu chi

“Melihat mereka mendambakan kedatangan dokter, saya dapat merasakan ketergantungan dan kepercayaan mereka pada saya. Meski vitamin dan obat hipertensi yang kami berikan juga bisa dibeli di Yangon, tetapi senyuman di wajah mereka menunjukkan sukacita yang sulit dideskripsikan,” kata dr. Yin Yin Aye, Anggota TIMA.

Berhubung warga setempat hidup kekurangan, mereka jarang berobat. Meski jatuh sakit, mereka juga tidak berani pergi ke rumah sakit. Jika pergi ke rumah sakit, pasien kurang mampu tidak bisa membeli makanan. Mereka sangat menderita. Karena itu, insan Tzu Chi menyediakan bubur bagi para pasien.

Saat relawan kita pulang dari Myanmar, mereka berbagi dengan saya tentang banyaknya pasien yang kelaparan di sana. Karena itu, saya menyarankan mereka untuk menyediakan makanan bagi lebih banyak pasien. Berhubung relawan kita agak keberatan, saya lalu berkata, “Apakah orang yang membuka restoran akan takut orang lain makan di restorannya?” Kalimat ini berhasil memotivasi mereka.

Mereka meningkatkan jumlah bubur yang disediakan dari 200 porsi menjadi 800 porsi. Dalam waktu 9 bulan, mereka menyediakan lebih dari 70.000 porsi. Kita bisa melihat sebagian pasien yang tidak ditemani keluarga dan tergolek lemah di lantai atas. Di sana tidak ada lift sehingga insan Tzu Chi harus mengangkat panci besar berisi bubur yang berat ke samping ranjang pasien di lantai atas.

Para pasien yang terbaring di ranjang sungguh sangat kasihan. Koridor juga dipenuhi ranjang. Kita juga melihat dua orang ibu yang baru melahirkan berbagi satu ranjang. Dengan menggendong bayi masing-masing, mereka tidur secara bergantian. Mereka baru melahirkan, sungguh sangat kasihan.

Sebagian keluarga pasien menggelar tikar dan tidur di atas lantai. Inilah kondisi di sebuah rumah sakit besar. Mendengar hal ini, para petani yang menyisihkan beras juga membangun tekad. Kondisi di rumah sakit di pedesaan pasti lebih memprihatinkan. Karena itu, mereka menyediakan makanan di rumah sakit di pedesaan.

“Karena Tzu Chi berbuat baik di seluruh dunia, maka saya juga menjadi relawan Tzu Chi untuk bersumbangsih dengan cinta kasih,” kata U Soe Win, seorang relawan.

“Meski bersumbangsih tidak menghasilkan uang, tetapi saya bisa memperoleh pahala. Karena tidak bisa bersumbangsih dengan uang, kami harus bersumbangsih dengan tenaga. Bisa menjadi relawan di tengah kondisi yang sulit, saya merasa sangat bangga,” ungkap U Aung Win, relawan lainnya.

Mereka menggunakan nasi Jing Si untuk memasak bubur. Saya sangat tersentuh. Sebelum menyediakan makanan, mereka harus berkomunikasi dengan kepala RS atau para dokter terlebih dahulu. Relawan kita memperlihatkan nasi Jing Si kepada mereka dan langsung menyeduhnya di hadapan mereka. Setelah memakannya, kepala RS dan para dokter sangat puas sehingga mengizinkan relawan kita menyediakan makanan di sana.

Orang-orang kurang mampu juga sangat gembira. Saat memakan bubur kita, mereka berkata bahwa bubur yang mereka beli di luar biasanya sangat encer. Namun, bubur dari nasi Jing Si kita sangat kental. Kita bisa merasakan bahwa mereka sangat bersyukur dan berpuas diri. Bubur yang kita sediakan juga sangat bergizi.

Kita bisa melihat relawan lokal bersumbangsih dengan tulus di wilayah pedesaan. Para petani yang menyisihkan beras juga turut bersumbangsih. Mereka membantu mengangkat bubur yang berat bagi para pasien. Kita bisa melihat banyak Bodhisatwa berdedikasi di wilayah yang dilanda kesulitan.

Keberanian, ketekunan, dan semangat mereka membuat saya teringat akan zaman Buddha. Keberanian, ketekunan, dan semangat Bodhisatwa dunia zaman sekarang tidak kalah dari zaman Buddha.

Menolong orang kurang mampu sekaligus membangkitkan kekayaan batin mereka

Baksos kesehatan di pedesaan memulihkan penglihatan pasien

Menyediakan bubur bagi para pasien dengan keseimbangan batin tanpa pamrih

Menapaki Jalan Bodhisatwa dengan berani, tekun, dan bersemangat

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 6 Maret  2017

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,

Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal 8 Maret 2017

Kebahagiaan berasal dari kegembiraan yang dirasakan oleh hati, bukan dari kenikmatan yang dirasakan oleh jasmani.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -