Ceramah Master Cheng Yen: Mendidik Sepenuh Hati, Menyempurnakan Jiwa Kebijaksanaan
“Karena lingkungan sangat kotor, maka kami mengumpulkan sampah agar lingkungan menjadi sedikit lebih bersih dan kita pun gembira melihatnya,” ucap Lee Xi Wen, Siswi.
“Bagi kami sebagai orang tua murid, kami merasa kegiatan ini sangat dibutuhkan agar anak-anak tahu apa yang ada di sekeliling mereka bukanlah muncul begitu saja,” ucap Chin Wee How, Orang tua murid.
“Kami berharap dapat memupuk kemampuan murid-murid untuk memberi perhatian bagi dunia, kelompok, dan masyarakat. Budaya humanis dalam misi pendidikan Tzu Chi telah diterapkan di Malaysia,” ucap Lee Eng Heng, Guru.
Kita
melihat anak-anak dapat bergerak untuk membersihkan lingkungan dan mengerti bahwa
sampah-sampah di jalan berasal dari sampah yang dibuang setiap orang. Mereka
juga bisa menyapu jalan dan mengumpulkan barang daur ulang. Orang tua murid
juga gembira melihatnya. Mereka berterima kasih kepada Tzu Chi yang mendidik
dengan penuh budaya humanis. Pendidikan adalah harapan bagi manusia,
masyarakat, keluarga, dan dunia. Semuanya dimulai dari pendidikan.
“Para dokter yang terhormat, saya sungguh-sungguh berharap lewat simulasi bedah yang dilakukan pada tubuh ibu saya kali ini, Anda semua dapat belajar keterampilan baru karena ibu saya telah melewati berbagai kesulitan untuk menjadi Silent Mentor bagi Anda semua. Saya juga berharap para dokter di sini dapat membagikan apa yang telah dipelajari kali ini kepada dokter lain yang belum dapat hadir. Semoga kalian semua dapat berusaha bersama demi meningkatkan mutu pendidikan medis,” ucap Huang Liang-zhong, Anggota keluarga Silent Mentor.
Kita juga melihat Universitas Tzu Chi mengadakan upacara untuk mengenang Silent Mentor. Saya sungguh bersyukur serta merasa terharu. Para Silent Mentor itu adalah murid saya yang baik. Saat berdoa bagi almarhum, kita mungkin dapat melihat keluarga almarhum merasa bimbang dan tak memiliki sandaran. Saat itu kita dapat menepuk bahu mereka serta memberi perhatian dan penghiburan dengan harapan untuk membawa kedamaian bagi almarhum dan keluarganya. Ini adalah proses dalam kehidupan.
“Menghadiri upacara perkabungan membuat saya dapat memahami secara mendalam betapa berharga dan tidak kekalnya kehidupan. Jadi, selama masih bisa bernapas, kita hendaknya segera bersumbangsih. Master sering berkata bahwa dengan banyak melakukan, kita banyak belajar. Kita sudah bertekad untuk menjalankan Tzu Chi, maka harus benar-benar menjalankan tekad ini. Suatu hari nanti, saat saya sudah meninggal dan tak dapat lagi berbicara, saya akan menyumbangkan tubuh saya ini untuk para mahasiswa kedokteran di Hualien,” suara Cai Yan-mei dalam rekaman.
Semasa hidup, mereka semua pernah bersumbangsih sebagai anggota komite Tzu Chi atau anggota Tzu Cheng. Mereka biasa mendedikasikan diri sebagai relawan rumah sakit, relawan komunitas, atau relawan daur ulang.
“Saya melakukannya dengan gembira. Kakak, waktu itu Anda bilang bahwa Anda menderita kanker usus besar dan luka pada bagian pinggang. Bukankah dengan begitu lebih sulit dalam melakukan daur ulang?”
“Tidak. Saat akan melakukan daur ulang, saya akan memakai pelindung pinggang. Saya memakainya di dalam. Tidak sulit, karena sekarang saya juga tidak mengangkat yang berat-berat. Tidak masalah. Penderitaan itu bukan apa-apa karena masih banyak orang yang lebih menderita dibanding saya. Di sini saya merasa semua orang dapat bersatu hati dan bergotong royong. Semuanya bekerja sama dengan baik. Kami semua sangat gembira. Kami menganggap tempat ini sebagai ladang pelatihan bagi kami untuk bersama-sama melatih diri. Juga seperti sebuah keluarga besar. Benar, seperti keluarga besar.”
Dia sama sekali tak terlihat memilik penyakit. Dia begitu damai. Bukan hanya melakukan daur ulang, dia juga menjadi relawan misi pengobatan. Dia sering mendampingi dan membimbing pasien dengan rasa empati. Dia sering membimbing orang lain sehingga dirinya sendiri merasa damai tanpa beban.
“Saya tak punya beban. Saya juga tidak merasa takut. Selama bertahun-tahun saya berada di Tzu Chi. Kemarin sepertinya putra saya sudah menandatangai persetujuan donor tubuh saya.”
Di akhir hidupnya, dia mendonorkan tubuhnya sehingga dirinya mencapai makna hidup yang lebih besar. Beberapa Silent Mentor ini membuat saya sangat terharu. Bukan hanya terharu, saya juga merasa kehilangan.
Kita
juga melihat para dokter dari luar negeri juga hadir. Baik spesialis penyakit
dalam maupun spesialis bedah, semuanya ada. Kita melihat semua orang dipenuhi
rasa syukur. Para dokter itu datang dari Tiongkok, India, dan beberapa negara
lain. Mereka datang dan telah melihat bahwa di Taiwan terdapat Silent Mentor yang
murah hati, berani, dan tidak melekat sehingga rela mendonorkan tubuh mereka. Semua
orang merasa ini sangatlah luar biasa. Ini menjadi tonggak sejarah bagi dunia
medis yang memungkinkan para dokter untuk lebih memahami misteri tubuh manusia.
Ini juga memungkinkan para spesialis bedah untuk meningkatkan keterampilan
dalam meminimalisasi luka pada pembedahan serta menjalankan bedah invasif
minimal, operasi bypass, dan lain-lain.
“Ibu saya selalu berpegang pada ajaran Master bahwa manusia tidak punya hak milik atas tubuhnya, melainkan hanya punya hak pakai. Pada akhir hidupnya, beliau berharap dapat mendonorkan tubuhnya bagi dunia pendidikan medis,” ucap Zhang Zhi-kai, Anggota keluarga Silent Mentor.
“Untuk pertama kalinya saya merasakan perhatian dan rasa syukur Tzu Chi kepada para Silent Mentor,” ucap dr. Lin Li-peng, Dokter Asosiasi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial.
“Saya rasa bukan hanya saya seorang, melainkan rekan-rekan dokter yang lain juga merasa berterima kasih kepada Ibu Hsiao Li-hua,” ucap Dr. Satishchandra Gore, Profesor tamu Asosiasi Spesialis Bedah Invasif Minimal Tulang Belakang.
“Saya dapat menemukan sumber masalah lewat goresan kurang dari 1 cm. Dengan begini, sebagian besar pasien bisa langsung pulang pada hari itu juga dan bisa kembali bekerja atau beraktivitas sesuai keinginan dalam waktu singkat,” ucap Dr. Dinu Christian, Dosen tamu Asosiasi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial.
Kita sangat menghargai para Silent Mentor yang telah mendonorkan tubuh mereka bagi berlangsungnya proses pendidikan ini. Ada dua hal, yakni sisi praktik dan sisi mental. Para Silent Mentor mampu melakukan ini karena mereka murah hati, berani, dan tidak melekat. Mereka telah memaksimalkan nilai dari tubuh mereka yang berkondisi. Mereka telah memanfaatkan tubuh mereka selama hidup untuk menjalankan segala sesuatu yang sesuai dengan jalan benar. Inilah pemaksimalan tubuh yang berkondisi. Pada akhirnya, saat fungsi tubuh ini berakhir, mereka juga tidak melekat. Mereka paham bahwa manusia hanya punya hak pakai atas tubuh, tidak punya hak milik. Tidak ada hak milik, hanya ada hak pakai. Di saat masih hidup, mereka memaksimalkan nilai tubuh ini dengan melakukan hal baik yang harus dilakukan. Ini disebut Dharma yang berkondisi.
Saat ajal menjelang, mereka tidak melekat. Mereka rela mendonorkan tubuh mereka bagi pendidikan medis. Dengan mendobrak pandangan keliru, mereka dapat tetap tenang dan damai dalam mengerahkan potensi tubuh mereka semaksimal mungkin. Kini mereka telah terlahir kembali sebagai Bodhisatwa cilik. Mereka memanfaatkan tubuh kehidupan lampau untuk menjalin jodohdan menciptakan berkah bagi masa depan.Berapa pun usia kita,kita hendaknya mewujudkan makna hidup ini. Saya merasa Dharma yang tak berkondisi telah menyempurnakan Dharma yang berkondisi. Dharma yang berkondisi dan yang tak berkondisi telah menyempurnakan makna hidup kita. Saya sangat terharu. Melihat tayangan mengenai para Silent Mentor, masing-masing dari mereka serasa masih hidup dan berada di hadapan saya. Sosok mereka sungguh akrab di mata saya. Sungguh, kehidupan ini haruslah kita genggam dan manfaatkan dengan baik.
Membuka mata untuk melihat dunia dan masyarakat
Sepenuh hati mendidik anak-anak untuk memiliki kepedulian
Para Silent Mentor rela mendonorkan tubuh
Kembali dengan tekad untuk menyempurnakan jiwa kebijaksanaan
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 15 April 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina