Ceramah Master Cheng Yen: Mengemban Misi dengan Keberanian dan Cinta Kasih
Kemarin, sekelompok dokter TIMA yang berjumlah 20-an orang kembali ke Griya Jing Si. Saya duduk bersama mereka dan mendengar mereka berbagi pengalaman. Para dokter kita memberikan pelayanan medis gratis di tempat tertentu bagaikan membuka klinik.
“Awalnya, kami memberikan pelayanan medis pada tiga hari raya dalam setahun,” kata Lin Wang Shu-hui relawan Tzu Chi.
“Sebagian besar pasien menderita penyakit kronis dan membutuhkan perawatan jangka panjang. Jika kita hanya memberikan pelayanan medis pada tiga hari raya dalam setahun dan setiap kali hanya bisa memberikan obat-obatan yang paling banyak hanya cukup untuk seminggu, seminggu kemudian, setelah obat mereka habis, mereka harus bagaimana? Dengan begitu, obat yang sebelumnya diminum juga akan sia-sia. Ini bagaikan membuang segenggam obat ke dalam selokan. Obat yang diminum akan sia-sia. Saya tidak akan memberikan pelayanan medis seperti ini. Jadi, kita setidaknya harus mengadakan baksos kesehatan sekali dalam sebulan,” kata Huang Chong-zhi Dokter TIMA.
Dengan kesatuan tekad, mereka menghimpun cinta kasih untuk memberikan pelayanan secara bergilir. Mereka bersungguh hati mengatur sif agar saat pasien datang untuk berobat, selalu ada dokter yang bisa menangani. Mereka mengikuti sif masing-masing dengan tertib. Mereka memberikan pelayanan medis gratis bagai mengelola sebuah klinik.
Para dokter kita bersumbangsih dengan cinta kasih tanpa pamrih.
Kita bisa melihat dr. Huang, dr. Chen, dr. Weng, dan lain-lain. Mereka semua bekerja sama dan tak pernah berhenti bersumbangsih. Mereka memiliki klinik masing-masing. Namun, saat ada pelayanan medis gratis, mereka akan menutup klinik mereka. Jadi, mereka mengutamakan cinta kasih dan melakukannya dengan tulus.
Saat warga tunawisma datang, dokter kita juga membantu untuk membersihkan tubuh mereka. Para dokter kita juga bekerja sama dengan organisasi lain di masyarakat.
Sungguh, kemarin, saya sangat tersentuh mendengar apa yang mereka bagikan. Rasa syukur saya sungguh tidak habis untuk diungkapkan. Sungguh, banyak hal yang menyentuh.
Kita juga melihat insan Tzu Chi luar negeri. Insan Tzu Chi menjalankan misi Tzu Chi dan menapaki Jalan Bodhisatwa di seluruh dunia. Di berbagai negara, para relawan kita bukan tidak takut pada pandemi, melainkan memiliki keberanian dan cinta kasih untuk mengemban misi.
Saya terus berpesan pada relawan kita untuk menjaga keselamatan diri sendiri. Kita bisa melihat bahwa mereka bukan hanya mengenakan masker, tetapi juga mengenakan pelindung wajah. Mereka mengenakan pelindung wajah untuk melindungi seluruh wajah mereka dari bagian kening, termasuk mata. Selain itu, mereka juga mengenakan masker.
Mereka melindungi diri sendiri dari wabah dan mengemban misi dengan berani. Demikianlah insan Tzu Chi, Bodhisatwa yang menjangkau semua makhluk yang menderita. Pada saat seperti ini, Bodhisatwa dunia telah muncul di berbagai negara. Saat ada wilayah dan negara lain membutuhkan, relawan kita juga bersedia bersumbangsih.
Biarawati di India dan pastor di Vatikan juga mengirimkan surat pada kita untuk menyampaikan bahwa mereka membutuhkan alat pelindung diri, seperti masker. Mereka sangat sungkan, hanya meminta 2.000 helai masker, tetapi kita mengirimkan lebih dari 70.000 helai masker. Itu karena kita tahu bahwa di saat seperti ini, pastor dan biarawati perlu menjangkau orang-orang untuk memberi penghiburan.
Penyebaran pandemi COVID-19 di India berada pada peringkat kedua di seluruh dunia. Kita terus berinteraksi dan melakukan kontak dengan biarawati di India. Kita tahu bahwa biarawati di sana sangat mulia. Di antara biarawati yang terjun ke masyarakat, ada yang terinfeksi dan meninggal dunia, ada pula yang kini diopname dan menjalani operasi karena jatuh sakit. Mereka juga berharap Tzu Chi dapat membantu biaya pengobatan mereka.
Akibat pandemi COVID-19, sektor industri, usaha, dan pertanian sangat terpukul. Yang miskin semakin miskin dan yang menderita semakin menderita.
Angka pengangguran meningkat dan warga tunawisma yang luntang-lantung di jalan pun semakin banyak. Dengar-dengar, begitu membuka pintu, akan terlihat barisan panjang warga tunawisma yang menanti bantuan. Mereka sungguh menderita.
Kini orang-orang di seluruh dunia sangat khawatir. Singkat kata, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Banyak orang yang merasa bahwa dirinya aman sehingga lalai dalam keseharian. Hidup aman dan tenteram adalah hal yang baik dan kita hendaknya bersyukur. Namun, kita tetap harus melakukan antisipasi.
Kita harus memiliki rasa takut. Jika kita sering berkata bahwa kita tidak takut, kita akan menumbuhkan keangkuhan.
Bersikap angkuh bukanlah hal yang baik. Itu dapat menimbulkan kemurkaan. Intinya, kita harus tulus dan rendah hati. Kita harus rendah hati dan memohon ampun. Ini disebut bertobat.
Bertobat berarti mengakui kesalahan diri sendiri. Manusia sering kali diliputi ketamakan, kebencian, dan kebodohan sehingga sulit untuk menghindari kesalahan. Jadi, kita harus bertobat.
Kita harus senantiasa bertobat. Tidak ada seorang pun yang tidak pernah berbuat salah. Setiap orang pernah membangkitkan niat atau pikiran yang tidak baik. Karena itulah, kita harus senantiasa bertobat.
Kita harus berdoa dengan tulus agar gema doa kita dapat menjangkau para Buddha, Bodhisatwa, dan Makhluk Pelindung Dharma. Jika setiap orang dapat senantiasa menaati aturan, waspada, bertobat, dan bersyukur, hidup kita tentu akan aman dan tenteram.
Dokter
humanis memberikan pelayanan gratis bagi warga kurang mampu
Mengemban
misi dengan keberanian dan cinta kasih
Tulus
bertobat dan membersihkan noda batin
Senantiasa
menaati aturan agar dunia aman dan tenteram
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 14 Oktober 2020