Ceramah Master Cheng Yen: Mengembangkan Potensi Kebajikan dengan Cinta Kasih dan Welas Asih
Relawan Tzu Chi Taiwan, Wang Shou-rong berbagi tentang pembagian makanan hangat pertama kali di Chiayi pascatopan Yancy bulan Agustus 1990.
“Pada tahun 1990, Chiayi diterjang topan Yancy. Saat itu, relawan di Chiayi tidak banyak. Saat itu, Master Cheng Yen melakukan perjalanan ke Taichung. Saat itu saya sedang bekerja. Saya sangat tersentuh saat Master menghubungi saya dari Taichung dan bertanya apakah saya tahu tentang Desa Wangliao di Dongshi, Chiayi. Saya menjawab bahwa saya tahu.
Berdasarkan siaran berita, warga di sana sudah berhari-hari tidak makan. Saat itu saya masih belum berpengalaman dan kekurangan welas asih. Itu yang saya rasakan saat mengenangnya.
Saat itu saya berkata pada Master Cheng Yen bahwa kita bisa memberikan dana pada balai desa dan meminta mereka menyiapkan makanan bagi para korban bencana. Mendengar saya berkata begitu, Master bertanya pada saya, ‘Shou-rong, apakah kamu yakin para korban bencana itu dapat menerima barang bantuan yang dibeli dengan dana yang kita berikan’? Saya menjawab bahwa saya tidak yakin.
Ucapan Master selanjutnya selalu saya ingat di dalam hati. Master berkata, ‘nelayan juga perlu makan nasi’. Itulah yang Master Cheng Yen katakan pada saya.
Kepala desa itu menggunakan rakit untuk mengangkut nasi kotak dan berkata bahwa mereka sudah tiga hari tidak makan nasi. Mereka hanya minum susu kedelai yang diberikan pada mereka hingga mengalami diare. Hanya insan Tzu Chi yang menjangkau desa mereka dan mengantarkan nasi kotak. Jadi, kita yang pertama kalinya mengantarkan nasi kotak di Chiayi pascatopan Yancy pada tahun 1990.
Master berpesan pada saya bahwa nelayan juga perlu makan nasi. Ini mengingatkan kita untuk berempati pada orang lain. Topik kedua berkaitan dengan Topan Herb. Topan Herb memicu terjadinya tanah longsor serius untuk pertama kalinya di Taiwan. Sejak tahun 1979, setiap kali dikeluarkan peringatan topan, Master atau para bhiksuni di Griya Jing Si akan mengingatkan saya untuk memperhatikan kondisi di Dongshi dan Budai. Saat itu, Master sangat memperhatikan masalah banjir di pesisir Dongshi dan Budai. Tahun itu, Master juga mengingatkan kita untuk memperhatikan wilayah pesisir. Namun, belakangan, diterima kabar bahwa tanah longsor di pegunungan menimbulkan kerusakan serius.
Pada tanggal 9 Agustus 1996, Master datang dari Taichung untuk menyurvei kondisi bencana. Saat itu topan sudah berlalu dan banjir sudah surut, tetapi ada beberapa tempat yang masih terdapat genangan air. Saat Master meninjau lokasi bencana, ada seorang nenek yang sangat menggemaskan. Master berjalan ke dekat rumahnya yang masih tergenang air dan airnya sangat kotor. Dia terus meminta Master berkunjung ke rumahnya untuk melihat rumahnya yang masih tergenang air meski banjir sudah surut.”
Genangan airnya setinggi betis.
“Benar, genangan airnya setinggi betis. Master masih ingat. Nenek itu sangat menggemaskan. Dia membawa kantong plastik dan meminta Master Cheng Yen memakainya di kaki agar bisa berjalan memasuki rumahnya. Ini yang disebut mempraktikkan Dharma. Ke mana pun Master pergi, asalkan ada orang yang membutuhkan, Master selalu memberikan bantuan.”
Jangan melupakan sejarah tahun itu, orang yang bersumbangsih saat itu, dan tekad yang dibangkitkan saat itu.
Saudara sekalian, sebelum menyalurkan bantuan bencana, apa yang kalian rasakan? Kalian bertekad dan bersedia bersumbangsih, mengasihi tanpa memandang jalinan jodoh, serta memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan. Kekuatan ikrar kalian sangat besar. Jika tidak, kalian tidak akan bisa menyalurkan bantuan dengan kondisi banjir yang begitu serius dan jalan yang begitu sulit ditempuh.
Relawan Ye Li-qing berbagi tentang bagaimana insan Tzu Chi menyurvei kondisi bencana pascatopan Herb tahun 1996.
“Pascatopan Herb, akses jalan di pegunungan terputus. Saat itu, Master Cheng Yen mengingatkan para pahlawan tanpa nama yang akan menjangkau wilayah pegunungan untuk melakukan perencanaan dahulu. Di wilayah pegunungan yang merupakan perbatasan antara Chiayi, Kaohsiung, dan Tainan, ada sebuah desa yang kini sudah tidak ada. Seluruh desa hancur total.
Saat kita tiba di sana, semuanya sudah rata dengan tanah. Saat melangkah, yang terinjak ialah atap rumah mereka. Tanah yang kita injak merupakan atap rumah mereka.
Ada seorang nenek yang berbagi pengalamannya yang menegangkan. Dia berkata bahwa saat akan makan dan sedang memegang sepanci nasi, dia melihat asap di belakang rumahnya dan merasa sangat heran. Kemudian, dia mendengar bunyi yang keras. Tanpa sempat mengambil apa-apa, dia langsung menyelamatkan diri dengan sepanci nasi di tangannya. Saat menoleh, dia melihat bahwa rumahnya sudah roboh dan seluruh desa hancur total. Jadi, kita sangat bersyukur bisa menjadi saksi sejarah. Para relawan yang ada di sini hari ini turut berpartisipasi saat itu.”
Saat itu, kalian telah membangkitkan cinta kasih tanpa memandang jalinan jodoh. Yang ada dalam pikiran kalian hanyalah memberikan bantuan kepada korban bencana. Kalian tulus ingin bersumbangsih meski para korban bencana yang menderita tidak memiliki hubungan apa pun dengan kita. Dengan perasaan senasib dan sepenanggungan, insan Tzu Chi bisa turut merasakan penderitaan para korban bencana. Ada rumah warga yang masih tergenang air ataupun mengalami kerusakan. Inilah ketidakkekalan.
Saat terjadi bencana yang membuat nyawa manusia terancam, kita selalu mengerahkan segenap hati dan tenaga untuk membantu tanpa keakuan. Dengan mengasihi tanpa memandang jalinan jodoh serta memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan, kita bisa turut merasakan penderitaan para korban bencana. Karena itu, kita bersedia bersumbangsih bagi orang-orang yang menderita. Nenek itu berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Dia melakukannya demi bertahan hidup.
Sebagai Bodhisatwa dunia, kita menumbuhkan jiwa kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, kita berinisiatif bersumbangsih tanpa keakuan dan pamrih. Demikianlah jiwa kebijaksanaan. Berhubung memiliki arah tujuan dan tekad yang sama, maka saat bencana terjadi, kita selalu bersumbangsih tanpa memikirkan kepentingan pribadi.
Namun, saya harus mengingatkan kalian bahwa saat memberikan bantuan, kalian harus menjaga keselamatan diri. Jadi, jangan mengabaikan keselamatan diri sendiri. Dengan menjaga keselamatan diri, kita bisa menjaga keselamatan sesama. Kalian harus ingat hal ini.
Lebih dari 20 tahun yang lalu, saya sering bertanya apakah semua relawan yang berpartisipasi aman dan selamat. Jadi, selama puluhan tahun ini, saya ingin menolong orang-orang, tetapi juga mengkhawatirkan para relawan yang memberikan bantuan. Para relawan harus selamat, baru bisa menolong orang lain. Semoga kalian bisa mengingat hal ini.
Kini kalian sudah sangat senior. Kalian telah bergabung dengan Tzu Chi selama lebih dari 25 tahun. Saya sudah mengenal Shou-rong sejak dia duduk di bangku sekolah menengah. Saat itu, berkat teladan orang tuanya, dia juga bergabung dengan Tzu Chi. Dengan penuh cinta kasih, dia meneruskan jalinan jodoh ini dan menjadi benih Tzu Chi pertama di Chiayi.
Tentu saja, anggota komite kita, seperti Nyonya Jiang, juga menginspirasi banyak relawan. Karena itulah, saya terus berkata bahwa jalinan jodoh tidak terbayangkan. Bisa memiliki jalinan jodoh yang istimewa ini, kita hendaknya menghargainya. Kita bergabung dalam keluarga besar Tzu Chi untuk bersumbangsih bagi masyarakat.
Berdasarkan data divisi kerohanian kita, Tzu Chi menggerakkan lebih dari 18 juta relawan per tahun. Jika setiap relawan diupah 140 dolar NT per jam, jumlahnya mencapai 11,6 miliar dolar NT. Dengan bersumbangsih setiap hari, kalian telah turut berkontribusi untuk 11,6 miliar dolar NT tersebut. Ini hanya dihitung dari segi waktu.
Adakalanya, kalian mengunjungi penerima bantuan dengan membawa bingkisan untuk mereka. Selain itu, biaya transportasi juga belum dihitung. Intinya, kalian mengeluarkan biaya sendiri dan semua itu tidak dihitung. Jadi, lewat berbagai kegiatan di komunitas, seperti kegiatan daur ulang, kalian telah memberikan kontribusi besar.
Semua orang bersumbangsih dengan penuh sukacita dan rasa syukur. Yang terpenting, banyak orang yang mendapat bantuan. Kita bersumbangsih dengan penuh sukacita dan bisa membangkitkan cinta kasih. Demikianlah kita memupuk berkah. Kalian juga bersumbangsih dengan gembira.
Menyalurkan bantuan bencana dengan perasaan senasib dan sepenanggungan
Menjaga keselamatan diri sendiri dan sesama saat memberikan bantuan
Bersumbangsih tanpa pamrih untuk menolong orang yang membutuhkan
Mengembangkan potensi kebajikan untuk memupuk berkah