Ceramah Master Cheng Yen: Mengenang Bencana Gempa Bumi 921
Jangan lupakan tahun itu. Pada 21 September 1999 silam, tepatnya pada dini hari, bumi tiba-tiba berguncang. Kehidupan banyak orang seketika berubah. Bencana alam yang besar ini terjadi pada 20 tahun yang lalu. Dua puluh tahun lalu, selain gempa bumi, apalagi yang terjadi?
Bodhisatwa bermunculan dari dalam bumi. Para relawan Tzu Chi dari selatan dan utara turut datang ke wilayah tengah untuk membantu penanggulangan bencana. Saya sangat berterima kasih atas hal ini. Tadi kita mendengar banyak orang yang bahkan tidak tidur selama dua tiga hari. Saya sangat khawatir. Saya pun segera datang ke wilayah tengah. Begitu tiba, saya tentu bisa merasakan langsung dan lebih memahami apa yang dibutuhkan di daerah bencana.
Di sisi lain, saya memperhatikan para relawan. Ketahuilah, keselamatan kalian sama pentingnya dengan nyawa saya. Jadi, meski berterima kasih atas sumbangsih kalian, saya juga sangat khawatir. Kemarin malam, sekitar pukul sepuluh, para relawan memuat barang-barang dan hendak berangkat ke Lushan. Ini membuat saya khawatir. Lebih baik berangkat saat subuh daripada tengah malam karena kini gempa susulan masih terus terjadi. Kita tidak terlalu kenal jalan di pegunungan karena banyak relawan yang berasal dari daerah utara dan selatan. Mereka tidak kenal jalan. Gempa susulan juga masih terjadi. Jalan di pegunungan mulanya sudah kurang baik.
Saudara sekalian, untuk menolong orang lain, diri sendiri harus sehat dan aman. Kalian hendak menolong orang, saya tentu sangat berterima kasih. Namun, kalian juga harus membuat saya tenang. Keselamatan kalian sama pentingnya dengan nyawa saya. Jika kalian mengasihi saya, saya harap kalian menjaga diri terlebih dahulu. Secara terencana dan terarah, insan Tzu Chi segera terjun ke daerah bencana. Bencana itu sangat besar. Relawan yang bergerak juga sangat banyak. Ada yang menyampingkan pekerjaan ataupun urusan keluarga demi membantu para korban gempa 21 September 1999 silam. Ini sungguh patut kita kenang.
Kenangan yang tersimpan sungguh banyak. Semua ini adalah sejarah umat manusia. Sejak tahun lalu, saya terus berkata bahwa kita harus mengenang semua ini demi menjadi saksi bagi zaman ini dan mengukir sejarah bagi umat manusia.
Kini kita semua masih ada. Kita bisa berbagi kisah tentang berbagai kondisi yang pernah kita lalui, interaksi yang pernah kita bangun, orang-orang yang pernah kita bantu, kesulitan mereka, kondisi keluarga mereka saat itu, dan bagaimana bencana mempengaruhi kehidupan mereka. Kita pernah mewawancarai mereka. Orang yang diwawancarai masih ada, orang yang mewawancarai juga masih ada. Orang yang ditolong masih ada, dan orang yang menolong juga masih ada.
Saat ini, para relawan yang penuh cinta kasih dan orang-orang yang tertimpa bencana saat itu dapat berkumpul kembali untuk mengenang dan menceritakan kisah yang kini telah menjadi sejarah. Beginilah kita menjadi saksi bagi Tzu Chi. Saat itu, para relawan berdatangan dan bersumbangsih tanpa kenal lelah. Mereka menyampingkan banyak hal demi menolong orang. Ini adalah sesuatu yang sangat menyentuh. Semua orang memiliki cinta kasih di dalam hati. Semua orang bersumbangsih bersama Tzu Chi. Inilah arah yang kita tapaki. Mengetahui arah ini, semua orang bersama-sama bersumbangsih.
Semua orang menyatukan hati dan tenaga atas dasar welas asih dan kesetaraan. Bodhisatwa mengembangkan Bodhicitta. Semua orang membangkitkan hati Bodhisatwa dan mempraktikkan welas asih agung. Welas asih dan empati adalah landasan. Kita telah mengetahui hakikat welas asih dalam diri kita. Kegelapan batin masa lalu telah menutupinya.
Kini kita telah menyadari bahwa hakikat sejati kita telah terkubur. Kini kita harus lebih memahami bahwa welas asih adalah sifat hakiki kita. Benih welas asih ini sudah ada dalam diri kita. Jadi, kini kita semua harus lebih memahami satu sama lain. Kita semua tahu semangat cinta kasih tanpa syarat. Kita memiliki jalinan jodoh untuk bertemu, tetapi setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda sesuai karmanya.
Berjalan di Jalan Bodhisatwa, kita harus berusaha memahami kondisi semua makhluk. Saat mereka mengalami penderitaan, berjodoh ataupun tidak, kita tetap harus menciptakan berkah. Saat mereka membutuhkan bantuan, kita membantu mereka. Setelah itu, kita membimbing mereka. Kita membabarkan Dharma bagi mereka agar mereka tahu bahwa semua orang memiliki hakikat Kebuddhaan yang sama. Welas asih berarti turut merasakan penderitaan semua makhluk. Berbagai kesulitan di dunia juga merupakan tanggung jawab kita. Inilah welas asih berlandaskan kesetaraan.
Di dunia ini, kehidupan setiap orang saling berkaitan. Saat orang lain menderita, kita turut merasakannya. Welas asih seperti ini adalah akar dalam Jalan Bodhisatwa. Sebelum menolong orang lain, kita semua harus terlebih dahulu bertekad. Dahulu, kita semua pernah bertekad dan berikrar untuk membangkitkan Bodhicitta dan berjalan di Jalan Bodhisatwa. Tekad ini adalah benih. Saat melihat penderitaan di dunia, kita harus menghimpun welas asih ini untuk menjangkau orang-orang yang menderita. Kita turut berempati atas penderitaan mereka. Semua ini kita temui dan jalani secara nyata di dunia ini. Jadi, kita semua harus memahami semua ini dengan sepenuh hati.
Tidak melupakan masa saat
ketidakkekalan datang
Menjadi saksi sejarah dan cinta kasih
Welas asih adalah sifat dasar manusia
Senantiasa mengembangkan benih Bodhi