Ceramah Master Cheng Yen: Mengenang Berbagai Kisah Perjalanan Bodhisatwa
Kalian semua sangat senior. Entah kalian pertama kali bertemu saya pada tahun berapa.
“Saya dan Ibu pertama kali bertemu Master tahun 1961 di Komunitas Buddhis Teratai,” ujar Huang Yu-nü, relawan Tzu Chi.
“Di Komunitas Buddhis Teratai.”
“Tahun 1961,” tambah Huang Yu-nü
“Berarti sudah 57 tahun.”
“Kami sudah mengenal Kakek Guru selama 57 tahun. Amitabha.” tambah Huang Yu-nü lagi.
Saat saya pertama kali mengenal Guru Huang, beliau sangat cantik. Beliau berprofesi sebagai guru. Beliau juga sangat cekatan dan terampil. Kini, jika diingat kembali, 57 tahun telah berlalu. Saat itu saya baru meninggalkan rumah dan mulai melatih diri.
Saat itu saya sedang mencari ladang pelatihan yang membawa kedamaian batin, tetapi sangatlah sulit. Dari wilayah Barat, saya pergi ke Timur. Saat tiba di wilayah Timur, orang-orang yang pertama kali saya kenal adalah Guru Huang dan kelompoknya. Mereka semua adalah guru dan sangat berminat terhadap ajaran Buddha.
Para guru ini juga membawakan siaran radio yang berisi ajaran Buddha setiap hari. Saya, Master Xiu Dao, dan dua orang lainnya berjodoh untuk menuju Hualien. Kami sangat asing dengan Hualien. Tidak ada orang yang kami kenal. Perjalanan dari Taitung ke Hualien harus ditempuh beberapa jam dengan bus. Begitu kami tiba dan turun dari bus, turun hujan rintik-rintik. Kami harus mencari tempat berteduh.
Kami lalu mencari vihara. Kami menyewa sebuah becak dan meminta tukang becak mengantarkan kami ke daerah yang memiliki vihara. Kami akhirnya tiba di Vihara Dong Jing. Kami lalu turun dan membayar ongkos becak. Di sana ada sekelompok Bodhisatwa lansia yang sedang bermalam. Anak cucu mereka mendonasikan uang dan mereka menginap di vihara itu.
Melihat kami berdua, terutama saya yang berambut panjang dan basah, seorang lansia bertanya-tanya mengapa saya bisa sampai kebasahan seperti itu. Master Xiu Dao pun kebasahan. Beliau sangat penuh welas asih. Beliau lalu mengumpulkan orang untuk meminta persetujuan. Mereka lalu menyediakan tempat untuk kami beristirahat.
Bodhisatwa lansia itu sangat baik hati. Beliau lalu kembali masuk kamar. Beliau membawakan beberapa helai handuk. Beliau berkata, "Nak, cepat keringkan tubuhmu. Jika tidak, kamu bisa terserang flu." Beliau sangat penuh welas asih.
Karena itu, saya sering berkata bahwa kita harus terjun ke masyarakat untuk bisa membimbing banyak orang. Ketika bertemu orang, kita harus menunjukkan sikap yang hangat dan lembut. Ketika orang lain membutuhkan sesuatu, meski itu bukanlah hal besar, contohnya seperti saat rambut dan pakaian kami basah terkena hujan itu, lansia itu segera mengerahkan semangatnya untuk membantu. Beliau lebih tua daripada ibu saya. Semangat beliau sungguh membuat saya tersentuh. Saya tak pernah melupakan Bibi Yang ini.
Kini, saat saya bercerita tentang dirinya, gambaran rambutnya yang putih tubuhnya yang tegap, serta wajahnya yang penuh welas asih masih muncul dalam benak saya. Saat mendengar Guru Huang bercerita bahwa beliau sudah mengenal saya selama 57 tahun, saya teringat bahwa saya bertemu dengannya saat saya menetap beberapa lama di Taitung. Setelah itu, saya menuju Hualien.
Berkat jalinan jodoh dan perhatian dari Bibi Yang itu, saya bertemu dengan Bapak Xu Cong-min. Bapak Xu Cong-min adalah perumah tangga. Setiap kali selesai melantunkan Sutra, beliau pasti bermeditasi. Beliau sangat memegang teguh sila. Namun, beliau tetap menjalankan usaha.
Saya sangat kagum padanya. Di tengah kesibukannya menjalankan usaha, beliau masih bisa melatih diri dengan baik. Orang-orang juga sangat menghormatinya, sama seperti Anathapindada di zaman Buddha. Saat punya masalah, orang akan mencarinya. Beliau selalu membantu orang lain, tetapi sangat ketat terhadap diri sendiri. Seluruh anggota keluarganya bervegetaris. Jadi, saya sangat mengaguminya. Jalinan jodoh ini pun semakin dalam.
Berkat jalinan jodoh ini, Bapak Xu Cong-min mencukur rambut saya. Namun, saat ingin ditahbiskan, saya harus mencari guru formal. Saat tiba di tempat penahbisan, saya tak memiliki guru. Ini juga merupakan sebuah jalinan jodoh. Saya ditolak dari tempat penahbisan karena tidak memiliki guru. Karena itu, saya memutuskan untuk pulang.
Namun, sebelum pulang, saya ingin membeli Kumpulan Karya Master Tai Xu. Saya ingin membawanya ke Hualien dan membacanya dengan saksama sambil menunggu jalinan jodoh tiba. Tak disangka, demi membeli karya itu, saya tiba di Auditorium Buddhis Hui Ri. Saya lalu bertemu Mahabhiksu Yin Shun, menyatakan berguru kepadanya, dan menerima nasihat "demi ajaran Buddha, demi semua makhluk".
Seumur hidup ini, nasihat itu tak kunjung selesai saya jalankan hingga saat ini. Saya bertemu Guru Huang 57 tahun yang lalu. Waktu sudah berlalu sangat lama.
Kini Tzu Chi sudah berusia 53 tahun. Waktu pertama kali saya bertemu Guru Huang hingga Tzu Chi berdiri berjarak empat tahun. Di dalam empat tahun itu begitu banyak kesulitan yang saya alami
hingga akhirnya saya memulai Badan Amal "Ke Nan" Tzu Chi. Setiap langkah itu patut untuk dikenang. Belakangan ini, saya terus-menerus mengingatkan semua orang untuk tidak membiarkan sel otak kita tertidur. Kita harus membangunkannya dengan mengenang masa lalu.
Selama perjalanan keliling kali ini, saya terus mendengar kisah-kisah kenangan. Banyak sekali kisah dalam kenangan itu. Ternyata, di dunia ini saya telah menemui banyak orang dengan beragam kisah. Ada yang sedih, ada yang gembira. Ada pula orang yang mengubah kehidupannya dari kehidupan awam menjadi menjadi penuh kebijaksanaan. Banyak sekali orang seperti ini. Pengalaman hidup mereka menunjukkan keindahan dari ketulusan. Jadi, kita harus menggenggam waktu untuk memanfaatkan kehidupan kita agar kehidupan ini tidak berlalu sia-sia.
Bersyukur atas perjalanan yang telah dilalui
Bodhisatwa menjalin jodoh dengan penuh welas asih
Terdapat banyak kisah di dalam kenangan masa lalu
Mengubah kehidupan dengan ketulusan hati
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 3 Mei 2019
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina
Ditayangkan tanggal 5 Mei 2019