Ceramah Master Cheng Yen: Mengerahkan Kekuatan Cinta Kasih untuk Bersumbangsih Bagi Dunia
Saya telah kembali ke Griya Jing Si. Saya berusaha keras 31 hari yang lalu agar bisa melakukan perjalanan kali ini. Selama 31 hari ini, saya terus menyemangati diri sendiri karena bisa bertemu dengan para Bodhisatwa kita setiap hari.
Saya melihat insan Tzu Chi di berbagai wilayah mengerahkan kekuatan cinta kasih untuk bersumbangsih bagi dunia dan umat manusia. Sulit untuk mengungkapkan semua rasa syukur saya. Saya juga tersentuh setiap waktu.
Pada hari pertama, begitu turun dari mobil, saya mendengar lagu tentang Miaoshan. Lagu itu terdengar familiar bagi saya. Saat itu, insan Tzu Chi bersusah payah menjangkau Tiongkok demi menyalurkan bantuan di Rongshui. Ketika itu, mereka harus menempuh jarak yang jauh di pegunungan. Banyak barang bantuan yang diangkut oleh truk yang membentuk barisan panjang.
Saat itu, Bapak Xiang menulis lirik lagu untuk kita. Insan Tzu Chi membawakannya pada saya saat saya berada di Taipei. Lalu, saya meminta Bapak Guo Mengyong menulis sebuah lagu dengan lirik itu. Lagu itu sangat menyentuh, santai, dan menyenangkan. Lirik lagu itu juga menggambarkan bagaimana kondisi saat itu dan bagaimana insan Tzu Chi bersumbangsih tanpa takut kesulitan. Demikianlah perjalanan insan Tzu Chi lebih dari 20 tahun yang lalu.
Setelah itu, saya sering mengingatkan insan Tzu Chi Taipei untuk tidak melupakan tahun itu, orang yang bersumbangsih saat itu, dan tekad yang dibangkitkan saat itu.
Insan Tzu Chi Taichung juga hendaknya tidak melupakan tahun terjadinya gempa. Pascagempa, insan Tzu Chi bermunculan untuk menyediakan makanan hangat sebelum matahari terbit. Relawan kita dengan cepat menenteramkan fisik, batin, dan kehidupan korban bencana. Kita juga meminjam lahan dan merancang rumah rakitan sementara untuk ditempati para korban bencana selama tiga tahun. Pembangunan dimulai dengan cepat.
Saya sangat bersyukur kepada para Bodhisatwa kita yang menggenggam waktu untuk memulai pembangunan. Insan Tzu Chi dari wilayah utara, tengah, dan selatan, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya turut berpartisipasi. Mereka bahkan membantu mengangkat rangka baja. Relawan komite kita yang merupakan relawan perempuan juga naik ke atap untuk mengunci sekrup. Ini sungguh luar biasa. Saya juga mendengar bahwa relawan kita menyiapkan makanan di sana dan tidur di atas lantai di dalam rumah rakitan sementara pada malam hari.
Saya sungguh tidak tega mendengarnya. Namun, mereka telah mengembangkan nilai kehidupan mereka. Baik relawan laki-laki maupun perempuan, semuanya bisa berkontribusi. Ini sungguh tidak mudah. Setelah pembangunan rampung, para korban bencana tinggal di sana selama tiga tahun. Namun, kurang dari tiga tahun, berhubung sendi kehidupan mereka telah pulih, mereka pun pindah keluar.
Kita juga merancang lanskap yang bagus untuk mereka. Rumah rakitan sementara yang kita dirikan adalah rumah seluas 40 meter persegi. Rumah-rumah yang kecil ini lengkap dengan segala perlengkapan.
Pada hari para korban bencana pindah ke rumah rakitan sementara, saya berkata, “Memiliki hati yang lapang lebih baik daripada rumah yang lapang.” Meski rumah kecil, tetapi dengan membuka pintu hati dan melapangkan hati, mereka dapat melewati kesulitan itu. Rumah rakitan sementara lengkap dengan segala perlengkapan.
Saat saya pergi ke Taichung kali ini, ada seorang bapak yang berbagi pengalamannya saat itu tentang rumah rakitan sementara.
“Yang membuat saya sangat tergugah dan terharu ialah wastafel. Wastafel itu merupakan kenang-kenangan bagi saya setelah pindah dari Perumahan Cinta Kasih. Saat relawan Tzu Chi memilih wastafel, Master Cheng Yen mengingatkan mereka untuk lebih memperhatikan kualitas agar para korban bencana dapat menggunakannya selama beberapa tahun tanpa masalah. Setelah mencari tahu lewat mereknya, ternyata wastafel itu adalah produk produsen terbesar di Eropa,” kata Gao Zong-yang, seorang warga yang pernah tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi.
“Saya sangat terharu dan tergugah saat mengetahui bahwa meski sibuk dengan penyaluran bantuan bencana, Master Cheng Yen bisa memperhatikan detail-detail seperti ini. Master dan para relawan Tzu Chi tidak pernah menyombongkan betapa berkualitas dan banyaknya barang bantuan dan perhatian yang mereka berikan. Mereka tidak pernah menyombongkannya. Sebagai korban bencana, kami sungguh merasa dihormati,” imbuhnya.
Inilah ketulusan insan Tzu Chi. Dia berkata bahwa dia tidak merasa dikasihani. Meski kita menyediakan rumah sementara dengan segala perlengkapan bagi mereka, kita tidak pernah berkata bahwa kitalah yang membantu mereka. Kita tidak pernah berkata demikian. Kita memberikan bantuan dengan penuh rasa hormat.
Dua puluh tahun yang lalu, banyak gedung sekolah yang roboh. Berhubung pendidikan anak-anak tidak bisa ditunda maka dalam waktu dua tahun lebih, kita membangun kembali 50 gedung sekolah di wilayah tengah Taiwan, yakni Dongshi, Taichung, dan Nantou. Murid-murid dari 50 sekolah yang mencakup sekolah dasar dan menengah ini kini telah tumbuh dewasa.
Singkat kata, inilah yang saya dengar dalam perjalanan saya kali ini tentang gempa 21 September 1999.
Menggenggam kehidupan tanpa menyia-nyiakan sedetik pun
Melindungi umat manusia dan menolong korban bencana
Guru dan murid bertemu dan saling menyemangati
Maju selangkah demi selangkah tanpa takut kesulitan
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 16 Juli 2019
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV
Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie,
Marlina
Ditayangkan tanggal 18 Juli 2019