Ceramah Master Cheng Yen: Menghimpun Cinta Kasih Demi Ketenteraman Dunia
Kita bisa melihat Myanmar dilanda banjir besar. Pascabanjir bulan Agustus tahun ini, para relawan setempat segera menyurvei kondisi bencana dan bekerja sama dengan pengusaha dari Taiwan. Lewat survei, insan Tzu Chi mendata dampak bencana dan banyaknya korban bencana.
Kita juga melihat mereka membagikan barang bantuan yang beragam. Mereka segera membeli barang kebutuhan sehari-hari yang akan dibagikan agar para korban bencana yang kekurangan dapat menjaga kelangsungan hidup selama beberapa waktu mendatang.
Kekuatan cinta kasih insan Tzu Chi telah tersebar di sana. Ini berkat jalinan jodoh pada 10 tahun yang lalu. Berkat jalinan jodoh ini, insan Tzu Chi mulai memberikan bantuan di sana setiap tahun. Ada pula warga setempat yang terinspirasi untuk menjadi relawan Tzu Chi. Insan Tzu Chi juga membawa Kata Renungan Jing Si ke sana. Lewat kalimat-kalimat singkat yang diterjemahkan dengan akurat, warga setempat menyadari bahwa semangat agama Buddha sangat mudah dipahami. Jadi, mereka menyerapnya ke dalam hati dan mempraktikkannya secara nyata.
Bagi para petani yang menerima benih padi dan pupuk dari Tzu Chi, kita mengimbau mereka untuk tidak menyemprotkan pestisida karena menyemprotkan pestisida termasuk membunuh dan sisa-sisa pestisida juga tidak baik untuk kesehatan manusia. Kita berbagi kebenaran dengan mereka dan mereka bisa menyerapnya ke dalam hati serta mempraktikkannya. Petani ini telah dilantik menjadi relawan Tzu Chi.
Sejak menerima benih padi dari Tzu Chi dan kembali bercocok tanam, dia mengikuti imbauan kita untuk tidak menyemprotkan pestisida. Lalu, bagaimana dia mengatasi serangan hama yang terjadi dimana-mana? Setiap hari, dia mengelilingi sawahnya dengan bertutur kata baik dan berdoa.
Singkat kata, ini sungguh tidak terbayangkan. Saat sawah orang lain terserang hama, hanya sawahnya yang terbebas dari hama, bahkan panennya berlimpah. Hasil panennya berkali-kali lipat dari hasil panen sebelumnya. Karena itu, dia sangat yakin bahwa selama kita bertindak sesuai prinsip kebenaran maka berkah akan mendatangi kita.
Dia juga berkata kepada orang lain, “Kita tidak memiliki uang. Tzu Chi berawal dari ibu-ibu rumah tangga yang menyisihkan 50 sen ke dalam celengan bambu setiap hari. Meski kita tidak memiliki uang, tetapi setiap kali akan memasak, kita bisa menyisihkan segenggam beras. Beras yang terkumpul bisa digunakan untuk menolong orang yang lebih kekurangan.”
Terinspirasi oleh U Thein Tun, U San Thein pun mulai mengajak orang-orang melakukannya. Kini mereka bisa mengumpulkan lebih dari 3.000 kilogram beras per bulan dan menggunakannya untuk menolong anak yatim piatu, janda, Lansia, dan orang yang memiliki keterbatasan fisik. Jadi, orang yang kekurangan bisa menolong orang yang lebih kekurangan. Demikianlah semangat ini menyebar.
Setelah dilantik, U San Thein memikul lebih banyak tanggung jawab. Berhubung jalan di desa mereka sulit dilalui maka orang yang jatuh sakit hanya bisa dibawa keluar dengan tandu.
“Saya berharap akses transportasi di desa kami menjadi lebih praktis, termasuk akses transportasi di 14 desa di sekeliling kami,” kata U San Thein, relawan Tzu Chi.
Insan Tzu Chi juga menjalankan program bantuan lewat pemberian upah. Kini orang-orang lebih leluasa keluar-masuk desa. Selama belasan tahun ini, kita sering mendengar bahwa ada anak yang digigit ular saat berangkat ke sekolah. Melintasi pematang sawah yang ditumbuhi rumput-rumput dengan bertelanjang kaki sangatlah berbahaya. Saat turun hujan, jalan itu akan penuh lumpur.
Tzu Chi di Myanmar berawal dari beberapa relawan saja. Tentu saja, selain U San Thein dan U Thein Tun, juga ada U Mya Aye. Dia juga mendengar bahwa Tzu Chi berawal dari ibu-ibu rumah tangga yang menyisihkan 50 sen setiap hari. Dia berbagi dengan istrinya dan mulai menyambut semangat ini. Jadi, mereka menabung setiap hari.
Lima tahun kemudian, dia bertemu dengan insan Tzu Chi di jalan dan berkata, “Bisakah kalian datang ke rumah saya? Rumah saya tidak jauh dari sini.” Uang yang mereka serahkan sangat rapi.
Istrinya berkata bahwa itu merupakan “Uang Bodhisatwa”. Mereka menabung di dalam botol dan tidak berani menggunakannya meski mereka membutuhkannya. Namun, karena udara yang lembap dan sering turun hujan, uang-uang itu bisa berjamur. Mereka lalu menjemurnya di bawah sinar matahari. Saat tidak ada sinar matahari, mereka menyetrika uang-uang itu. Dengan bersungguh hati dan tulus, mereka menabung lebih dari 30.000 kyat. Ini membutuhkan ketulusan.
Kita harus membina ketulusan dalam jangka panjang. Setiap orang bisa menjadi Bodhisatwa dengan mengembangkan kekuatan cinta kasih untuk bersumbangsih.
“Kini kita mengadakan pelatihan relawan di sini. Meski tidak bisa segera mewujudkan harapan Master Cheng Yen, tetapi kami akan terus berusaha untuk mewujudkannya. Saya merasa sangat gembira,” kata U San Thein relawan Tzu Chi.
“Hari ini saya mengikuti pelatihan karena saya suka melayani masyarakat,” kata U Aung Win, salah seorang warga.
“Setelah mengikuti pelatihan, saya menjadi tersadarkan dan banyak belajar tentang kebajikan,” kata Soe Soe Nwet, warga lainnya.
Satu benih tumbuh menjadi tak terhingga dan yang tak terhingga berawal dari satu. Saya selalu merasa bahwa semua orang hendaknya membina kebajikan hingga selamanya. Agar dunia aman, tenteram, dan terbebas dari bencana, kita harus mengakumulasi kekuatan kebajikan. Selain berbuat baik secara nyata, kita juga harus menyucikan hati manusia dan membina cinta kasih.
Tekad Bodhisatwa sungguh tak terbayangkan
Mendatangkan berkah dengan bertindak sesuai prinsip
kebenaran
Membangun jalan dengan program bantuan lewat pemberian
upah
Meyakini dan mempraktikkan Dharma untuk menumbuhkan
benih tak terhingga