Ceramah Master Cheng Yen: Menghormati Kehidupan dan Menapaki Jalan Kebajikan
Dari berita tentang
serangan teror, kita dapat melihat bahwa sebersit niat menyimpang dapat
menciptakan karma buruk. Kini batin manusia semakin keruh. Melihat kondisi di
dunia, saya sungguh khawatir. Saya berharap setiap orang dapat menyelaraskan pikiran.
Ketidakselarasan
iklim terjadi karena manusia terus menciptakan kerusakan dan karma buruk
kolektif. Manusia terus mengeksploitasi sumber daya alam akibat ketamakan yang
tiada batas. Semua itu mengakibatkan kondisi iklim menjadi sangat ekstrem. Karena
itu, kini kondisi bumi menjadi sangat tidak aman.
Kondisi seperti ini
sungguh memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Karena itu, kita harus terus
mendukung orang-orang untuk terjun ke tengah masyarakat guna menyucikan hati
manusia serta membimbing orang-orang untuk menapaki Jalan Bodhisatwa.
Bodhisatwa dunia dapat turut merasakan penderitaan orang lain serta menjangkau
orang yang menderita untuk memberi bantuan.
Saat ada orang yang
menderita, kita harus berinisiatif untuk memberi bantuan. Menolong makhluk yang
menderita adalah ladang pelatihan bagi Bodhisatwa. Kita harus bersumbangsih dan
menjadi guru yang tak diundang bagi semua orang.
Tayangan yang
terlihat ini adalah kondisi banjir di Jiling, Tiongkok pada bulan Juli lalu.
Relawan Tzu Chi dari Changchun pergi untuk memberi bantuan. Jarak dari kantor Tzu
Chi Changchun yang terdekat ke lokasi bencana adalah lebih dari 100 kilometer. Jarak
dari Liaoning ke lokasi bencana adalah 400 kilometer. Relawan Tzu Chi dari
Beijing harus menempuh perjalanan sejauh 1.000 kilometer untuk menuju lokasi
bencana.
Bodhisatwa dunia tidak
gentar terhadap perjalanan yang jauh. Melihat warga dilanda bencana dan melihat
relawan Tzu Chi setempat kekurangan tenaga, relawan Tzu Chi dari wilayah lain, baik
yang dekat maupun jauh, semuanya turut bergerak untuk membantu. Wilayah di
Tiongkok sangat besar. Jarak antarkota juga sangat jauh. Meski demikian,
relawan kita tetap bersedia saling membantu dan bergotong royong.
Mereka bersatu hati
dan bergotong royong. Inilah kekompakan yang selalu mereka bina dalam
keseharian. Selain itu, mereka juga sangat harmonis dan saling mengasihi. Lihatlah
mereka menempuh perjalanan jauh untuk pergi bersumbangsih. Begitu tiba di
lokasi bencana, mereka menghabiskan waktu seharian di sana lalu kembali lagi ke
Changchun yang terdekat untuk menginap.
Pada keesokan
paginya, mereka kembali ke lokasi bencana dengan menempuh perjalanan sejauh
lebih dari 100 kilometer. Saya bertanya, “Mengapa tidak langsung menginap di
sana?” Mereka menjawab, “Di sana tidak ada air. Di sana tidak ada apa-apa.” Berhubung
kondisi bencananya sangat parah, mereka harus bolak-balik untuk menyediakan
tenaga manusia dan barang bantuan.
Selain itu, relawan
kita juga membantu warga membersihkan rumah. Selain membantu upaya pembersihan,
yang terpenting adalah mereka juga menenangkan hati warga. Saat korban bencana merasa
trauma dan tak berdaya, hal terpenting yang harus kita lakukan adalah
menenangkan hati mereka. Untuk menenangkan hati mereka, kita harus terjun
secara langsung untuk mencurahkan cinta kasih yang tulus dan memberi bantuan
yang mereka butuhkan.
Lihatlah, bukankah
relawan kita membantu semua orang bagai membantu tetangga sendiri? Bukankah ini
semangat cinta kasih agung tanpa memandang jalinan jodoh dan perasaan senasib
sepenanggungan? Bodhisatwa bukan seseorang yang menerima persembahan di altar, melainkan
orang yang bersedia bersumbangsih tanpa takut bekerja keras.
Beberapa relawan
sangat lelah hingga otot-otot mereka kaku. Meski demikian, mereka tidak
mengeluh lelah. Mereka tetap bersumbangsih tanpa berhenti. Dari awal bulan Juli
hingga awal Agustus, selama lebih dari 20 hari, mereka menyalurkan bantuan.
Inilah Bodhisatwa dunia. Meskipun kondisi iklim sangat ekstrem, kita tetap
harus menghadapinya dengan tulus.
Kita juga harus
mencari tahu penyebab kondisi iklim menjadi ekstrem. Akar penyebabnya adalah
pikiran manusia. Saat pintu ketamakan terbuka sedikit saja, manusia akan terus
mengejar tanpa henti. Akibat ketamakan dan nafsu keinginan, manusia
mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Demi menghasilkan produk
baru, manusia merusak bumi.
Setelah produk baru
dibuat, manusia terus mempromosikannya agar dibeli banyak orang. Akibatnya,
terciptalah masalah sampah. Masalah sampah membawa dampak besar bagi bumi, saluran
air, dan sistem drainase. Terlebih lagi, polusi yang diciptakan telah berpengaruh
pada kondisi iklim. Ini adalah sebuah lingkaran buruk. Apa yang harus kita lakukan?
Setiap orang harus
melakukan hal yang sama serta membangkitkan ketulusan. Hal yang sama yang harus
dilakukan adalah menghemat penggunaan barang. Kita harus hidup sehemat mungkin agar
produksi barang bisa berkurang. Kini orang-orang terus didorong untuk bersikap
konsumtif untuk memajukan perindustrian. Kita juga terus mengimbau orang-orang untuk
mengurangi sikap konsumtif dan bersyukur terhadap segala yang dimiliki.
Namun, kedua hal ini
masih saling tarik-menarik. Kita sungguh tak berdaya. Karma kolektif manusia ditentukan
oleh pikiran masing-masing. Pikiran sebagian besar orang mengarah pada
kebiasaan konsumtif. Kekuatan karma ini sungguh besar.
Lihatlah manusia
terus melakukan pengeboran demi mengambil minyak bumi. Mereka juga menggali
tanah demi mendapatkan sumber daya alam. Satu demi satu gunung terus
dieksploitasi dan satu demi satu jalan terus dibuka. Singkat kata, apakah ini
semua demi keleluasaan atau demi memperkaya sumber daya barang? Saya tidak
tahu.
Saya merasa semakin
besar kerusakan bumi yang tercipta, pikiran manusia juga akan semakin rusak.
Semakin banyak orang yang menciptakan karma buruk, orang yang menderita juga
akan semakin bertambah. Intinya, kita harus bersungguh hati untuk memahami
prinsip kebenaran. Dengan memahami prinsip kebenaran, baru kita dapat menapaki
jalan yang lapang dan rata.
Sebersit niat menyimpang menciptakan
lingkaran buruk
Menghormati kehidupan dan menapaki
jalan kebajikan
Menjadi guru tak diundang bagi semua
orang yang membutuhkan
Hidup sederhana sebagai wujud menghormati
langit dan bumi
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 19 Agustus 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 21 Agustus 2017