Ceramah Master Cheng Yen: Menginventarisasi Kehidupan dan Menghargai Jalinan Jodoh


Bodhisatwa sekalian, kita senang dapat bertemu satu sama lain di acara Pemberkahan Akhir Tahun. Pada saat ini, kita dipenuhi rasa syukur dan bersiap-siap untuk menyambut tahun baru. Meskipun pandemi ini telah menyelimuti dunia, tetapi kita masih bisa hidup damai dan tenteram. Jadi, hendaklah kita bersyukur setiap hari dan setiap saat. Setiap orang hendaknya saling mengucap syukur.

Tahun ini, saya terus mengingatkan insan Tzu Chi bahwa kita harus menginventarisasi nilai kehidupan kita setiap hari. Kehidupan menjadi bernilai ketika kita bersumbangsih bagi dunia, bukan semata-mata mencari kenyamanan sendiri.

Hal-hal baik yang kita nikmati dalam hidup bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan. Kita dapat menikmatinya karena kita telah menanam berkah pada kehidupan lampau kita. Hendaklah kita menyadari berkah dan menciptakan lebih banyak berkah.

Belakangan ini, saya sering mengulas tentang kunang-kunang. Ketika mereka menarik dan mengembuskan napas, kita dapat melihat cahaya terang. Mereka juga berfungsi sebagai semacam pendidikan lingkungan. Ketika melihat rumput, kita bisa merasakan bahwa rerumputan dan pepohonan memiliki perasaan.

Lihatlah benih yang ditanam di dalam tanah, tidak perlu berhari-hari untuk bertunas. Setelah bertunas, ia akan tumbuh menjadi pohon muda, dan kemudian menjadi pohon besar. Setiap hari, setelah keluar dari kamar tidur, saya selalu berjalan-jalan di sebuah area kecil dan tiba di depan sebuah pohon yang besar. Saya berdiri di sampingnya serta melihat batang, ranting, dan daunnya tumbuh dengan sangat subur.


Saya pun teringat bahwa sama halnya dengan cinta kasih di dunia ini, dengan semangat celengan bambu, kita menghimpun uang logam 50 sen sedikit demi sedikit. Bahkan, hingga sekarang praktik ini telah menginspirasi banyak orang dan menghubungkan cinta kasih semua orang.

Setiap hari, saya dapat menyaksikan ajaran Buddha di dunia. Contohnya, pagi ini, ketika saya melihat para sesepuh datang, tiba-tiba di dalam lubuk hati saya merasakan kemuliaan ajaran Buddha. Buddha datang ke dunia ini.

Saat bertekad untuk keluar dari istana, Beliau akhirnya melihat banyak orang yang menderita akibat usia tua, penyakit, kemiskinan, dan kematian. Melihat derita kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian, bangkitlah welas asih di hati Beliau. Beliau bertanya pada diri-Nya sendiri, "Di manakah nilai kehidupan itu?"

Kemarin, ada seorang relawan mengatakan bahwa ketika mengetahui saya ingin membangun rumah sakit, saat itu dia langsung bersedia bersumbangsih untuk meringankan beban serta menambah kekuatan saya. Dia menghemat biaya hidup keluarganya, bahkan menghemat uang belanja sayur.

Setiap hari, dia pergi ke pasar untuk memungut sayuran layu yang masih layak dikonsumsi. Begitulah dia dan suaminya menjalani kehidupan yang sederhana. Dia tetap bersungguh hati untuk menginspirasi orang-orang agar dapat memahami Tzu Chi.

Tzu Chi bisa ada hingga lebih dari 50 tahun seperti saat ini karena dahulu Hualien kekurangan fasilitas medis sehingga saya membangkitkan niat untuk membuka klinik pengobatan gratis. Kemudian, saya melihat bahwa klinik pengobatan gratis hanya bisa mengobati penyakit ringan. Untuk penyakit berat, kita harus mengantar pasien ke rumah sakit besar. Terkadang, dalam situasi darurat, kita harus mengantar pasien ke Taipei lewat penerbangan carter. Jadi, setiap kali terjadi hal sepert ini, sangatlah menyulitkan.

Di masa awal Tzu Chi didirikan, kita sungguh tidak memiliki dana. Namun, setiap kali melihat orang menderita, saya merasa tidak tega. Inilah alasan mengapa saya berpikir untuk membangun rumah sakit. Saya memang tidak mengukur kemampuan sendiri. Namun, selama kita memiliki tekad dan niat, pasti ada kekuatan. Kita menyatukan niat, tekad, dan kekuatan.

Kita yakin diri sendiri tanpa pamrih dan yakin setiap orang memiliki cinta kasih. Dengan memiliki keyakinan seperti itulah, saya mulai membuat seruan. Seruan ini tidak cukup hanya di Hualien saja, jadi saya mulai pergi ke berbagai tempat.

Saya mulai memberikan ceramah Dharma dan secara perlahan-lahan membawakan semangat ajaran Buddha dengan cara yang lebih modern demi membimbing setiap orang untuk menciptakan berkah di dunia. Dalam sekejap, lebih dari 50 tahun telah berlalu. Sejak saya memunculkan niat untuk membangun RS 40 tahun telah berlalu.


Seiring berjalannya waktu, segalanya terakumulasi dalam setiap menit dan detik. Ada 86.400 detik dalam sehari dan saya tidak menyia-nyiakan sedetik pun selain lima jam waktu tidur dan istirahat. Setiap hari, begitu mata saya terbuka, saya akan mulai bersiap untuk aktivitas yang dijadwalkan untuk hari itu. Apa yang harus saya lakukan dan bicarakan? Arah mana yang harus saya tuju? Inilah nilai kehidupan.

Akhir-akhir ini, saya menginventarisasi dan memeriksa kehidupan saya. Suatu hari, saya berkata pada diri sendiri bahwa dalam kehidupan kali ini, saya tidak menyesal. Kini, saya sudah lanjut usia. Saya terus mengingatkan diri sendiri, "Ya, waktu saya tidak banyak lagi." Saya mengingatkan dan mendorong diri sendiri untuk tidak pernah menyia-nyiakan sedetik pun.

Tahun ini, Tzu Chi sudah berusia 55 tahun dan saya masih terus berusaha keras. Sebelumnya, saya berlatih berjalan di Griya Jing Si setiap hari agar bisa berjalan dengan mantap. Saya berlatih terus-menerus sehingga hari ini saya bisa hadir di sini untuk membagikan "angpau berkah dan kebijaksanaan" kepada kalian semua.

Saya melakukan hal ini setiap tahun untuk terus menjalin jalinan jodoh dengan kalian dan mengungkapkan terima kasih kepada kalian yang telah bersumbangsih dengan kesungguhan hati dan cinta kasih.   

Insan Tzu Chi memantulkan cahaya kecemerlangan bagi dunia
Giat menciptakan berkah tanpa memandang kebajikan sekecil apa pun
Menginventarisasi kehidupan dan menjalin cinta kasih
Senantiasa menghargai jalinan jodoh tanpa penyesalan

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 07 November 2021
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, Devi
Ditayangkan tanggal 09 November 2021
Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -