Ceramah Master Cheng Yen: Mengubah Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan di Jalan Bodhisatwa
Saya sangat tersentuh. Kemarin, meski turun hujan, sekelompok Bodhisatwa yang kembali ke kampung halaman batin mengikuti ritual namaskara dengan tekun dan bersemangat. Dengan tekad yang teguh, mereka melakukan ritual namaskara dari luar ke dalam Griya Jing Si. Saya sangat tersentuh. Semoga hujan yang turun dapat membersihkan bumi dan mendatangkan kesejukan. Semoga setiap orang dapat sepenuh hati dan tekun melatih diri.
Mereka membangkitkan ketulusan hati dan bertindak secara nyata untuk menjalankan ikrar agung. Relawan yang kembali dengan kesatuan tekad berjumlah lebih dari seribu orang. Saya sangat bersyukur atas kesungguhan hati para relawan kita yang kembali dari tempat yang jauh. Saya juga bersyukur kepada para relawan dari Pingtung, Kaohsiung, dan Hualien yang mengemban tanggung jawab sebagai tuan rumah sehingga para Bodhisatwa yang kembali dari tempat yang jauh dapat mengikuti pelatihan dengan tenang. Saya sangat tersentuh.
Hati Bodhisatwa sangat berharga. Cinta kasih seperti ini disebut cinta kasih berkesadaran. Dari kehidupan ke kehidupan, Buddha melenyapkan noda dan kegelapan batin-Nya sedikit demi sedikit sedikit demi sedikit hingga kondisi batin-Nya jernih dan murni bagaikan cermin.
Buddha datang ke dunia ini sesuai jalinan jodoh. Saat kondisi batin-Nya menyatu dengan seluruh alam semesta, Buddha pun mencapai pencerahan. Buddha bisa memahami kebenaran tentang segala sesuatu di alam semesta. Buddha telah menunjukkan arah yang benar. Kita harus giat membentangkan jalan sesuai arah yang ditunjukkan Buddha. Jadi, kita harus menggenggam waktu untuk menapaki Jalan Bodhisatwa.
Saya sungguh sangat bersyukur. Di dunia ini, ada banyak hal yang tidak dipercaya oleh manusia awam karena tidak pernah melihat, menjangkau, atau merasakannya. Contohnya ketidakkekalan hidup. Sebelum mengalaminya, mereka tidak tahu arti ketidakkekalan.
Kita melihat sebuah keluarga yang semula hidup berkecukupan. Namun, suatu hari, kebocoran pipa gas memicu terjadinya ledakan yang mengakibatkan sang ayah dan ketiga anaknya mengalami luka bakar lebih dari 50 persen. Pengobatan mereka membutuhkan biaya yang sangat besar. Ini di luar kemampuan mereka. Jadi, mereka berada dalam kondisi yang sulit. Selain luka fisik dan masalah ekonomi, mereka juga mengalami trauma.
Setelah menerima kasus ini, insan Tzu Chi mulai memberi pendampingan, menenangkan batin mereka, dan membantu mereka menjalani terapi hingga hidup mereka kembali normal dan batin mereka kembali tenang. Relawan kita membimbing mereka untuk membuka pintu hati guna menerima bekas luka di tubuh dan wajah mereka. Relawan kita terus mendampingi mereka bagai psikolog dan fisioterapis. Jadi, relawan kita sungguh mengagumkan. Inilah Bodhisatwa dunia. Dengan kerja sama para relawan, kini keluarga tersebut telah bangkit kembali dan kehidupan mereka telah berubah.
“Ini adalah tanda terima donasi celengan bambu. Ini adalah tanda terima donasi bulan ini. Terima kasih,” kata Chen Ya-pei, relawan Tzu Chi. “Saya menerima bantuan besar dari kalian. Kini saya punya sedikit penghasilan. Sudah seharusnya saya membalas budi,” tutur Bapak Pan, penerima bantuan. “Meski tidak punya penghasilan, saya juga mau berdonasi. Jika punya 5 yuan untuk membeli sayuran, saya bisa membeli 4 yuan saja dan menyisihkan 1 yuan untuk bersumbangsih. Saya juga menerima bantuan dari kalian. Kini, menyisihkan 1 yuan setiap hari tidaklah banyak. Namun, saya juga ingin menolong sesama,” imbuh sang istri.
Dia juga menerima konsep cukup makan 80 persen kenyang. Dengan menyisihkan satu yuan setiap hari, dia juga bisa menolong sesama. Singkat kata, dengan mengubah pola pikir, tidak ada yang tidak bisa dicapai. Semua ini membutuhkan cinta kasih.
Kita juga melihat kasih sayang antara seorang ayah dan putrinya. Sang ibu meninggal dunia karena mengalami distosia dan sang ayah menderita polio sejak kecil. Sang ayah bersusah payah membesarkan putrinya. Namun, dia tidak pandai mengungkapkan perasaannya sehingga putrinya tidak memahami kasih sayangnya. Karena itu, hubungan antara ayah dan putri ini tidak dekat.
Insan Tzu Chi membimbing mereka hingga mereka bisa saling merangkul. Relawan kita bisa menghibur dan menenangkan batin orang-orang. Ini sungguh tidak mudah. Bukankah insan Tzu Chi di seluruh dunia menapaki Jalan Bodhisatwa bagai orang tua mengasihi anak sendiri? Bukankah kita juga mengasihi orang-orang yang lebih tua bagai orang tua sendiri? Bodhisatwa memandang semua orang sebagai satu keluarga.
Bodhisatwa sekalian, kita sungguh harus menggenggam waktu karena waktu kita sudah tidak cukup lagi. Kita harus memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk mengembangkan nilai hidup kita. Segala sesuatu tidak bisa dibawa pergi, hanya karma yang selalu mengikuti. Kita harus sadar dalam menciptakan karma dan mengubah kesadaran menjadi kebijaksanaan. Jangan dikendalikan oleh kekuatan karma. Kita harus menggunakan kesadaran untuk membedakan benar dan salah. Setelah menyerap Dharma, kita harus mengubah kesadaran menjadi kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan bertahan selamanya. Dengan memelihara kebiasaan menolong orang lain dengan gembira, kita bisa mengembangkan nilai hidup dan menjadi penyelamat bagi makhluk yang menderita.
Dari kehidupan ke kehidupan, kita harus menjadi penyelamat dalam hidup orang lain. Kita harus memelihara kebiasaan seperti ini. Dari kehidupan ke kehidupan, kita harus mengubah kesadaran menjadi kebijaksanaan di Jalan Bodhisatwa. Semoga kalian bisa memahami apa yang saya katakan sekarang.
Mengikuti ritual namaskara dengan teguh dan merasakan kesejukan
Buddha datang sesuai jalinan jodoh untuk membimbing ke jalan yang benar
Mendampingi penerima bantuan menjalani terapi dan menghibur batin mereka
Mendekatkan seorang ayah dengan putrinya
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 19 Juni 2018
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina
Ditayangkan tanggal 21 Juni 2018