Ceramah Master Cheng Yen: Mengubah Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan untuk Menyelami Dharma

Dunia ini tak lepas dari waktu, ruang, dan hubungan antarmanusia. Setiap hal yang terjadi tak lepas dari tiga aspek ini. Kini, hal yang kita bahas saat ini adalah masa kelahiran Buddha, yaitu lebih dari dua ribu lima ratus tahun lalu. Ruang atau tempatnya adalah di India, saat itu disebut Kapilavastu. Seorang putra mahkota lahir di istana. Beliau sangat istimewa. Beliau lahir demi semua makhluk di dunia.

Sejak belia, Beliau sangat peduli terhadap hal-hal yang berlaku di dunia. Beliau juga menemukan berbagai kontradiksi. "Mengapa bisa ada kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian?" Banyak pula ketidaksetaraan di dunia. Beliau merenungkannya satu per satu. Bagi-Nya, kenikmatan dan pengetahuan di istana tidaklah cukup. Jadi, Beliau ingin mencari ke luar. Beliau terus mencari dan juga telah melalui petapaan keras. Pada akhirnya, di tengah lingkungan yang alami, di alam manusia ini, Buddha akhirnya membuka jalan pencerahan yang melampaui keduniawian.


Tanpa kesungguhan hati untuk menyelaminya dengan segenap jiwa raga, manusia tak akan mampu memahami jalan ini. Sesungguhnya, kita pun demikian. Kita juga telah berusaha memahami jalan ini dengan segenap jiwa raga, tetapi mengapa kita masih terjebak di dalam dunia ini? Kita terbelenggu oleh batasan waktu, ruang, dan hubungan antarmanusia. Hati dan hakikat kesadaran kita telah tertutup oleh berlapis-lapis keakuan. Jadi, kita telah terbelenggu. Tabiat buruk akibat keakuan telah membelenggu kita.

Dengan semangat melampaui keduniawian, Buddha akhirnya menemukan jalan pencerahan. Beliau bukan hanya keluar dari istana. Pada selang waktu itu, Beliau juga melihat berbagai fenomena di dunia dan menyadari hukum alam. Beliau telah sepenuhnya melepas dan memperoleh pemahaman menyeluruh. Beliau telah bebas dari ego dan keakuan. Beliau telah melepas keakuan. Dengan begitu, barulah Beliau dapat menyatu dengan kebenaran alam semesta; barulah Beliau dapat melampaui keduniawian dan menyatu dengan alam semesta.


Jika masih terdapat keakuan, kita tak dapat menyatu dengan alam semesta karena masih ada rintangan "aku" atau diri. Pikiran kita pada dasarnya tidak berwujud atau berbentuk. Kebenaran juga tidak berwujud atau berbentuk. Jika masih ada kemelekatan terhadap "aku", berarti kita menganggap ada wujud dan rupa. "Kamu adalah itu, saya adalah ini." Kita membedakan antara "dia", "kamu", "aku"; "pandanganmu", "pandangannya", "pandanganku". Ini adalah rintangan kemelekatan.

Jika keakuan ini tidak dilepaskan, maka kita tak bisa melihat kebenaran. Dengan begitu, kita merintangi diri sendiri dan orang lain. Kita menghalangi Dharma untuk masuk ke dalam hati. Kita juga menghalangi diri kita untuk menyatu dengan alam semesta. Ini berarti kita merintangi diri sendiri, sungguh disayangkan. Buddha telah menyatu dengan alam semesta. Beliau bebas dari konsep "aku". Beliau memikirkan semua makhluk dan penderitaan semuanya.


Dibutuhkan berbagai cara untuk menyelamatkan semua makhluk dari penderitaan. Dibutuhkan pula bantuan dari sesama makhluk hidup. Jadi, Buddha memiliki hati seluas alam semesta dan mampu merangkul semua makhluk. Apa pun bentuknya, dengan hati-Nya yang seluas angkasa, Beliau mampu merangkul semuanya. Semua makhluk hendaknya saling membimbing. Hanya saja, banyak makhluk  yang sulit dibimbing. Inilah masalahnya. Karena itu, Buddha perlu mengerahkan cinta kasih dan welas asih agung-Nya untuk mengamati daya tangkap semua makhluk dan menggunakan berbagai cara untuk membimbing mereka.

Di dunia ini, waktu bagaikan aliran sungai yang panjang tiada henti. Makhluk hidup yang berjodoh dapat menerima Dharma. Meski saya menyebut insan Tzu Chi sebagai Bodhisatwa dunia, tetapi apakah hakikat Dharma di hati mereka sudah tergugah? Sudahkah hakikat Dharma mereka tergugah? Hakikat Dharma ini mudah untuk tergugah, tetapi sulit bagi manusia untuk mempertahankannya. Kalaupun kita berusaha mempertahankannya, waktu tidak mengizinkan. Kehidupan jasmani yang berwujud ada batasnya. Lalu bagaimana?


Kita harus berusaha untuk mengembangkan jiwa kebijaksanaan yang tanpa batas. Usia kehidupan tak luput dari hukum alam. Kita harus mengubah kesadaran menjadi kebijaksanaan hidup. Dengan transformasi kesadaran ini, maka segala aktivitas kita menjadi murni sehingga kesadaran kedelapan kita akan dapat meneruskan tilasan-tilasan murni ini ke kehidupan mendatang. Inilah yang harus kita usahakan dan pahami sepenuh hati.

Jadi, Dharma bersifat abadi, tetapi kehidupan manusia ada batasnya. Hakikat kesadaran bersifat abadi, tetapi usia kehidupan jasmani ada batasnya. Jadi, kita harus menggunakan jiwa kebijaksanaan dari hakikat kesadaran ini agar tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Inilah yang selalu Buddha usahakan. Jadi, kita semua harus sangat bersungguh hati.

Buddha melampaui keduniawian dan memiliki pemahaman menyeluruh

Makhluk awam melekat pada keakuan yang menghalangi hakikat sejati

Buddha memberi ajaran sesuai daya tangkap semua makhluk

Mengubah kesadaran menjadi kebijaksanaan demi menyadari Dharma yang abadi

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 31 Maret 2018

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,

Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal 2 April 2018

Beriman hendaknya disertai kebijaksanaan, jangan hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain hingga membutakan mata hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -