Ceramah Master Cheng Yen: Mengukir Makna Kehidupan yang Nyata
Saat datang pagi tadi, saya naik dari lantai satu ke lantai lima. Dari sana, saya melihat proyek pembangunan gedung Da Ai TV yang baru. Saya berharap staf misi budaya humanis Tzu Chi dapat memiliki wawasan luas yang mencakup seluruh dunia. Kita harus dapat memahami berbagai hal dan berbagai bidang di dunia serta berbagi tentang berbagai kondisi di dunia. Semoga Da Ai TV dapat tersebar secara universal, bukan hanya namanya yang memuat kata "universal". Saya berharap kesungguhan dan ketulusan hendaknya benar-benar kita praktikkan. Di tempat yang dapat kita lihat, di sana ada cinta kasih. Kita juga harus berterima kasih kepada para relawan dokumentasi Tzu Chi. Tanpa mereka, sulit bagi kita untuk menjangkau dan merekam jejak cinta kasih di berbagai tempat yang jauh.
Keberadaan para relawan dokumentasi hendaknya kita syukuri. Tetes-tetes sumbangsih insan Tzu Chi membuat kita memiliki kekuatan besar. Semua ini tak habis diceritakan. Janganlah kita melupakan bencana gempa 21 September 1999 silam. Hari ini kita kembali mengenang gempa itu karena kita tak seharusnya melupakan itu. Sejak tahun lalu, saya meminta semua orang untuk tidak melupakan perjalanan yang telah dilalui. Para relawan senior Tzu Chi juga harus memutar otak dan ingatan agar kinerja otak kalian sedikit terlatih. Jika tidak, sel otak akan tertidur. Otak harus banyak beraktivitas agar ingatan selalu jernih.
Pascagempa 21 September 1999 silam, relawan Tzu Chi sejak awal segera menjalankan misi bantuan bencana. Bukankah saya pernah menggambarkan kondisi tahun itu seperti kisah pada Sutra Bunga Teratai?
Para Bodhisatwa berdatangan dari segala penjuru dan dari dalam bumi. Bukankah kondisi ini menyerupai kondisi pascagempa 21 September 1999?
Pemandangan di daerah bencana sungguh menyedihkan, tetapi juga mengharukan.
“Saat itu, saya sedang mengerjakan program dokumenter ‘Kehangatan Memenuhi Dunia’. Dengan bantuan para relawan, kami dengan cepat bisa tiba di Zhongliao. Setibanya di sana, kami melihat kondisi di sana bagaikan kota mati. Saya ingat hari itu, sesungguhnya sambil meliput, saya sambil menangis. Sejak saat itu, saya mulai memahami maksud dari pesan Master Cheng Yen agar kita menggenggam waktu, tempat, dan hubungan antarmanusia. Dengan mempertimbangkan tiga aspek ini, kita berusaha untuk menyebarkan kekuatan kebajikan secepat mungkin. Janganlah kita meremehkan kekuatan ini. Pengaruhnya mungkin melampaui apa yang kita bayangkan.” (sharing staf Pusat Misi Budaya Humanis Tzu Chi dalam acara ramah tamah).
Mendengar berbagai kisah yang dibagikan, saya sangat berterima kasih kepada para staf kita. Sebagian dari mereka sudah bergabung sejak 20 tahun lalu. Kita bisa melihat saat itu mereka masih muda. Kini mereka juga tidak terlihat tua, baru setengah baya. Jadi, waktu berlalu dengan sangat cepat. Saya sangat terharu karena mereka sangat dekat di hati saya dan terus mengikuti setiap langkah saya.
Saya juga pernah mengatakan kepada insan Tzu Chi bahwa langkah kaki saya sangat besar. Saat saya melangkah satu kali, kalian harus melangkah delapan kali. Saya selamanya akan berjalan di depan. Di belakang saya ada barisan panjang yang mengikuti. Kekuatan yang ada ini berasal dari orang-orang yang berjalan di belakang saya. Orang-orang di belakang saya ini menyumbangkan dana dan tenaga. Merekalah yang mengembangkan semangat dan badan misi Tzu Chi. Jadi, saya sangat bersyukur. Saya juga berterima kasih kepada Bapak Juan I-jong yang telah mengabadikan banyak momen.
“Saya tersentuh melihat para murid dan guru belajar di tenda saat sekolah mereka runtuh. Bagaimanapun kondisi lingkungannya, mereka tetap menunaikan kewajiban. Para guru tetap sungguh-sungguh mengajar, para murid tetap belajar. Kepala sekolah pun bisa merasa tenang. Mengapa? Karena tahu Tzu Chi akan membangun kembali sekolah mereka. Jadi, sejak penggalangan dana dimulai, saya merasa harus mengabadikan momen-momen sampai murid-murid angkatan pertama sekolah baru itu lulus. Inilah ikrar saya waktu itu. Setelah berikrar, saya sadar saya tidak mengukur kekuatan diri. Saat itu, Tzu Chi baru berencana untuk membangun dua puluhan sekolah. Setelah saya berikrar, seiring saya mengabadikan momen, jumlah sekolah yang Tzu Chi bangun bertambah hingga akhirnya berjumlah 50 sekolah,” kata Juan I-jong, fotografer.
Saya memiliki koleksi buku sebanyak 50 jilid yang berisi sejarah sekolah-sekolah itu. Terima kasih kepada komite pembangunan kita. Sebagian juga masih hadir saat ini. Saat itu, mereka mendampingi pembangunan setiap sekolah. Tiada bangunan sekolah yang kita bangun yang tidak berisi jejak langkah mereka. Saat itu ada Bapak Song, ada Kakek Li, ada pula tim dari Universitas Nasional Taiwan. Saya sungguh berterima kasih.
Ini adalah jejak langkah yang pernah kita ukir. Nilai kehidupan kita ditentukan oleh jejak langkah yang kita ukir. Tanpa karya nyata, kita tak akan dapat meninggalkan jejak. Kini kita juga tengah mengukir jejak sejarah. Buku ini adalah saksi sejarah bagi tahun 2019. Kita juga melihat Sikon Idai di Afrika Timur. Kita tahu warga di sana mulanya sudah sangat menderita. Kita juga mengetahui ada banyak negara tertinggal di Afrika. Kita sudah mengetahui dan mengenal semua ini. Namun, bencana Siklon Idai membuat kita menjejakkan kaki di sana. Kini kita tengah menghimpun kekuatan untuk membantu warga di Afrika Timur. Dengan kekuatan bersama, kita mungkin dapat mengubah kondisi kekurangan di sana menjadi kesejahteraan.
Saat dalam perjalanan di mobil, Stephen Huang bersama saya masih membahas bagaimana rencana bantuan kita selanjutnya, bagaimana kita membangun rumah di sana, berapa lahan dan unit rumah yang dibutuhkan. Pembahasan masih berlanjut di dalam mobil sepanjang perjalanan. Jadi, saya sering berkata bahwa dalam kehidupan ini saya tak punya penyesalan karena bagaimanapun, saya tak pernah menyimpang dari tujuan saya. Saya tidak pernah pergi ke mana-mana, tetapi Tzu Chi tidak pernah menyimpang.
Kini saya semakin harus meyerukan kepada semua orang untuk tidak menyia-nyiakan kehidupan ini. Saat kehidupan kita bermanfaat, barulah saat itu kita benar-benar hidup. Jika hanya bersenang-senang, berarti kita telah menyia-nyiakan kehidupan ini dan kehidupan menjadi tak bermakna. Singkat kata, kita semua harus membangkitkan niat untuk menciptakan berkah. Sebuah berkah dapat menghalau ribuan bencana. Biasanya saya berkata bahwa satu kebajikan dapat menghalau ribuan bencana. Sesungguhnya, satu kebajikan sama dengan satu berkah. Dengan menciptakan berkah, kita akan memiliki energi positif. Energi positif yang kuat akan dapat melenyapkan bencana.
Untuk itu, kita harus bersungguh hati. Kita harus melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia. Jadi, kalian masih memiliki waktu. Segeralah manfaatkan waktu dengan baik untuk hal-hal yang bermanfaat. Janganlah menyia-nyiakan sumber daya. Saya menanti para insan Tzu Chi membantu para warga di Afrika dan mengubah kondisi mereka yang kekurangan menjadi tenteram dan sejahtera. Semua ini mungkin untuk diwujudkan. Semoga kita semua bisa menjadi penyelamat bagi kehidupan orang lain.
Misi
budaya humanis mengamati seluruh dunia
Sungguh-sungguh
mewujudkan cinta kasih universal
Mengubah
kekurangan menjadi kesejahteraan
Menjalankan
praktik nyata untuk mengukir makna kehidupan
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 24 Juni 2019
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina
Ditayangkan tanggal 26 Juni 2019